Seberkas surat melayang ke meja redaksi kami. Pengirimnya anonim, tapi jelas dia (atau kelompok itu) sangat tahu isi perut PT Indosat, perusahaan telekomunikasi milik negara yang dikenal dengan kode sambung 001 itu. Isinya mengejutkan: Herman Simandjuntak, Direktur Keuangan Indosat, dituding memindahkan bunga deposito Indosat ke rekening pribadi.
Lo, bunga apa itu? Ternyata, itu bunga yang dipanen dari deposito senilai Rp 112,74 miliar. Nah, deposito sebesar itu adalah pembayaran dividen Indosat ke negara sebagai pemilik BUMN tersebut. Deposito yang seharusnya langsung disetorkan ke kas negara itu ternyata "diinapkan" dulu di rekening Herman Simandjuntak di BDN selama tiga bulan dan berbunga Rp 17,5 miliar.
Langsung saja Indonesian Corruption Watch (ICW), pekan lalu, meminta pemerintah mengusut tuntas kasus ini. Para petinggi Indosat juga panik akibat soal bocornya berita bunga itu.
Karyawan Indosat jelas resah. Untuk meredamnya, digelarlah telekonferensi yang melibatkan karyawan Indosat di Jakarta, Medan, dan Surabaya. Dalam kesempatan itu Tjahjono Soerjodibroto, Direktur Utama Indosat, menyangkal kebenaran skandal bunga deposito ini. Nomor rekening deposito dividen memang mirip dengan milik Herman, beda satu nomor belakang. "Jadi, uang itu tetap masuk rekening Indosat, bukan rekening Pak Herman," kata Tjahjono.
Herman menjelaskan bahwa kondisi waktu itu tak menentu. Pada Mei 1998 negara di ambang pergantian kekuasaan, pemerintahan kacau-balau. "Kami tak tahu harus setor ke mana," kata Herman. Itulah sebabnya, deposito dipasang untuk waktu singkat supaya dana gampang dialihkan. "Hanya dua minggu," katanya. Herman tak memberi alasan mengapa deposito yang berbunga 53 persen setahun ini terus di-rollover selama tiga bulan. Padahal, kabinet Habibie cepat terbentuk, dan dividen itu harusnya bisa segera dikirim.
Belum putus soal deposito, kalangan pers di Jakarta menerima surat lagi dari pengirim tak dikenal—kelihatannya juga sangat menguasai "jeroan" Indosat. Isinya sebuah matriks yang mengungkap ketidakprofesionalan manajemen. Di situ diungkapkan daftar investasi yang sembrono dan merugikan.
Untuk Menara Jakarta, misalnya, Indosat menanam Rp 10 miliar untuk 20 persen saham. Sialnya, akhir 1997, megaproyek berfasilitas multimedia ini dihentikan gara-gara krisis ekonomi. Di AlphaNet Telecom Inc., Indosat membeli 14,5 persen saham. Beberapa bulan lalu, perusahaan telekomunikasi Kanada ini gulung tikar dan Indosat merugi Rp 32 miliar. Di Jepang, Indosat menanam Rp 6 miliar untuk 5 persen saham Suginami Cable Television, dan dijual murah belakangan ini. Rugi lagi.
Lebih parah lagi soal investasi di PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia. Indosat membeli obligasi TPI itu seharga Rp 150 miliar. Imbalannya, TPI wajib membayar bunga 7 persen per tahun dan saat jatuh tempo tahun 2002, 35 persen saham TPI menjadi milik Indosat. Investasi saat krisis ini dinilai terlalu berani. Padahal, perolehan iklan televisi sangat anjlok waktu itu. Buktinya, kinerja TPI tak kunjung membaik, hasil iklannya terburuk dari lima stasiun swasta. Akibatnya, tahun ini kewajiban bunga (Rp 5,5 miliar tiap enam bulan) tidak terbayar dan TPI berupaya membayar bunga dengan barter iklan.
Tjahjono menyatakan ia telah menyewa jasa konsultan Price & Water-house sebelum membeli obligasi. Hasilnya, TPI dinilai punya masa depan bagus dan klop dengan strategi Indosat untuk melebarkan sayap ke bisnis multimedia. Ia juga sepakat dengan rencana TPI juga melakukan pembenahan, termasuk dengan merekrut Ishadi S.K., tokoh terkenal di bisnis televisi. TPI waktu itu dianggap punya aset penting: Siti Hardiyanti "Tutut" Rukmana, yang punya 93 persen saham TPI bersama tiga anaknya. Pada masa Soeharto berkuasa, deretan nama Cendana tentulah aset "berharga".
Laksono Widodo, analis ING Baring di Indonesia, membenarkan Tjahjono. Alasannya, Indosat telah melengkapi perjanjian dengan proteksi yang cukup bagus. Bila TPI tidak bisa meraih aktiva Rp 546 miliar, bunga yang wajib dibayarkan TPI ke Indosat membengkak jadi 26 persen dan pinjaman pokok dikembalikan penuh saat jatuh tempo.
Sayang, TPI tidak bersedia membeberkan berapa aktivanya sekarang. Indosat pun tampak lunak. Untuk menuntut keterlambatan bunga saja enggan, apalagi menuntut pailit TPI ke pengadilan niaga. Penyebabnya bisa dua hal. Mungkin urusan Rp 150 miliar dianggap terlalu kecil untuk Indosat, yang tahun lalu berlaba bersih Rp 1,1 triliun.
Atau ini: sosok Tutut ternyata masih "menawan". Dengar saja kata orang TPI ini. "Ibu kan sudah menyatakan komitmennya," kata Wahyu Wijayadi, Manajer Indosat yang juga Direktur Pengembangan TPI, tanpa menyebut langkah apa yang akan ditempuhnya. "Ibu" itu siapa? Ya, siapa lagi kalau bukan Tutut. Oh, begitu to jelasnya.
Mardiyah Chamim, Dewi Rina Cahyani, Taufiqurohman, Wens Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini