LAMA tenggelam dari perbincangan bisnis, Aburizal "Ical" Bakrie tiba- tiba nongol lagi. Pengusaha kondang ini tampak wara-wiri, mondar-mandir di kantor Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), pekan lalu. Tapi, tak seperti lazimnya, tampang Ical yang biasa sumringah itu kali ini tampak agak kucel. Senyum yang selalu mampir di bibirnya, kali ini, terbang entah ke mana.
Ada apa? Puyeng mengurus utang-utangnya yang macet di bank-bank pemerintah? Tampaknya bukan. Kalau cuma soal itu, alhamdulillah, sudah bisa diatasi. Akhir bulan lalu, Ical telah meneken surat sanggup untuk melunasi kewajiban. Dengan secarik surat ini, utang macet Rp 4,5 triliun lebih yang dijala belasan perusahaan miliknya bisalah untuk sementara dianggap beres.
Lalu, mengapa Ical Bakrie begitu kusut? Lagi menawar aset milik Salim yang kini tengah dilego melalui BPPN? Agaknya tidak juga. Banyak yang tak menduga, Ical sedang mengurus pelunasan utang perusahaan Grup Bakrie kepada Bank Nusa Nasional alias BNN. Menurut seorang pejabat Departemen Keuangan, kewajiban yang harus segera dilunasi Bakrie kepada BNN diperkirakan mencapai Rp 4,8 triliun sampai Rp 5,3 triliun.
Celakanya, tak seperti tunggakan ke bank-bank BUMN yang "bisa diatur", baik bunga maupun masa pelunasannya, tagihan dari BNN ini amat mendesak. "Utang triliunan rupiah ini mesti dilunasi dalam empat tahun," kata seorang pejabat di lingkungan Departemen Keuangan. Jika Ical tak mampu atau tak menampakkan keseriusan dalam melunasi tagihan ini, ia cuma punya dua pilihan: digebuk beban bunga supertinggi (diperkirakan 30 persen setahun) atau diproses di Kejaksaan Agung sebagai tersangka penggelapan uang negara.
Segawat itukah? Bukankah BNN semula milik keluarga Bakrie? Betul, tapi sejak pertengahan Maret, kepemilikan BNN sudah beralih ke tangan pemerintah. BNN merupakan salah satu bank yang tak lulus "ujian" masuk program injeksi modal alias rekapitalisasi bank. Kendati para pemegang saham BNN siap menyuntikkan tambahan modal, menurut hasil uji tuntas (due diligence) yang digelar auditor asing, proyeksi usaha BNN memprihatinkan. Diperkirakan, modal BNN akan terus merosot karena kualitas asetnya begitu buruk.
Pada akhir tahun 2001, tingkat kecukupan modal (dihitung dari rasio antara modal dan aset-aset yang berisiko) BNN diperkirakan mencapai minus 7,4 persen. Padahal, batas minimal rasio kecukupan modal yang disyaratkan ketika itu harus plus 8 persen. Dengan proyeksi yang demikian buruk, tim auditor menyimpulkan, peluang BNN memperbaiki kualitas asetnya amat tipis. Kemampuannya melunasi kasbon Bank Indonesia (yang jumlahnya sudah mencapai Rp 3,9 triliun) juga diragukan. Atas pertimbangan ini, BNN tak diloloskan ikut program rekapitalisasi.
Beruntunglah Bakrie, banknya tak ditutup. Tak seperti 38 bank lain yang dibredel izinnya karena tak lolos saringan rekapitalisasi, BNN tetap dibolehkan hidup. Dengan alasan terlalu besar untuk ditutup, bank amburadul itu malah diambil alih dan dipelihara oleh pemerintah.
Keputusan ini, tentu, amat melegakan Bakrie. Dengan menyerahkan BNN, Bakrie seperti melemparkan beban tanggung jawab bank payah itu kepada negara. Tak seperti bankir lain yang banknya ditutup, Bakrie tak perlu pusing membayar dana nasabah, melunasi utang BNN ke bank lain, dan mengembalikan pinjaman BNN kepada bank sentral. Yang dibebankan kepada Bakrie hanyalah mengembalikan uang yang diambilnya dari BNN, yang jumlahnya telah melebihi batas. Sebuah kewajiban yang sudah semestinya.…
Sudah menjadi rahasia umum, banyak bank di Indonesia yang fungsinya cuma sebagai alat penyedot. Bank-bank itu menjala tabungan dan deposito dari masyarakat, lalu memakai dananya untuk menduiti proyek-proyek pemilik bank. Bakrie, agaknya, bukan suatu pengecualian.
Dan celakanya lagi, BNN adalah vacuum cleaner yang amat kuat. Menurut data dari Departemen Keuangan, BNN menghabiskan sekitar Rp 5 triliun, atau 83 persen dari Rp 6 triliun asetnya, untuk mendanai proyek-proyek milik Bakrie dan konco-konconya. Dengan catatan seperti itu, "Bakrie termasuk paling rakus menggangsir banknya sendiri," kata sumber TEMPO di Departemen Keuangan.
Ia lalu memberikan contoh-contoh. Enam bankir lain yang nasibnya sama dengan Bakrie (banknya diambil alih pemerintah sebagaimana BNN) punya kewajiban tak sebesar Bakrie. Konglomerat Ibrahim Risjad dengan Liem Sioe Liong, misalnya, cuma berutang Rp 1,4 triliun atau 50 persen dari total aset Bank Risjad Salim Internasional.
Atang Latief dan kawan-kawan juga cuma berutang Rp 1,4 triliun atau sekitar 37 persen dari aset Bank Tamara. Sedangkan Pieter Sondakh dari Rajawali Group malah cuma mencairkan sekitar Rp 800 miliar dari Bank Pos. Dan tiga pemilik bank yang lain (Bank Duta, Bank Jaya, dan Bank Rama) "justru lebih kecil lagi, tak sampai Rp 500 miliar," katanya (lihat tabel).
Persoalannya: apakah bankir-bankir itu punya duit atau kekayaan untuk melunasi tunggakannya? Itulah soalnya. Menurut Sekretaris BPPN, Christovita Wiloto, dari surat tagihan yang sudah dikirim kepada para pemilik bank, cuma satu yang sudah memberikan hasil. Ibrahim Risjad dan Salim telah menjaminkan asetnya senilai Rp 1,4 triliun kepada BPPN.
Yang lain? Belum ada kabar. Bakrie memang sudah mondar-mandir ke BPPN, tapi baru menegosiasikan jangka waktu dan syarat-syarat pembayaran. Tapi, pagi-pagi, seorang bankir senior sudah meragukan kemauan Bakrie untuk segera melunasi tagihan ini.
Katanya, harta pribadi keluarga Bakrie memang masih berjibun, terserak di mana-mana. Salah satu yang nilainya paling besar saat ini adalah penyertaan saham di perusahaan minyak Bakrie Minarak Energy. Diperkirakan, nilai perusahaan yang baru menemukan minyak di Yaman itu kini mencapai lebih dari US$ 1 miliar.
Tapi bankir ini sangsi apa betul Bakrie mau mengorbankan Minarak hanya untuk melunasi kewajibannya kepada BNN. Soalnya, angsa emas inilah yang bakal menjadi tulang punggung bisnis keluarga Bakrie di masa depan. Setelah hampir semua anak perusahaannya diserahkan kepada para kreditur sebagai pengganti utang, keluarga Bakrie kini sedang merintis berdirinya "The New Bakrie" dengan basis industri sumber daya alam. Kalau melihat besarnya niat ini, "Saya cenderung menduga Bakrie akan mencari cara untuk membatalkan tagihan ini," katanya.
Caranya? Entahlah. Yang pasti, Bakrie memang punya keberatan terhadap tagihan BPPN itu. Kewajiban yang kini harus mereka tanggung di BNN tak semuanya mereka nikmati sendiri. Menurut seorang sumber di Bakrie, sebagian kredit BNN itu jatuh ke pemilik lama Bank Perniagaan (yang kemudian dibeli dan dilebur Bakrie ke dalam BNN). Sebagian lagi mengalir ke konco-konco lama yang kini tak punya lagi hubungan afiliasi usaha dengan Bakrie. "Untuk utang yang tak kami nikmati, mengapa mesti kami yang menanggung?" katanya.
Jadi? Apa pun yang terjadi, tarik-ulur Bakrie-BPPN agaknya akan melelahkan. Seorang analis perbankan di pasar modal menuding pemerintah sebagai biang keladi persoalan ini. Baginya, segala kerumitan ini cuma salah satu buntut tak sedap dari keputusan pemerintah yang dengan sembrono menyelamatkan BNN. Selain berurusan dengan utang-piutang yang belum tentu bisa dibereskan, pemerintah masih pula harus menanggung ongkos penyehatan BNN, yang tak sedikit.
Kalau memang BNN tak layak ikut rekapitalisasi karena proyeksi usahanya begitu buruk, katanya, mengapa harus diambil segala? "Tutup saja seperti bank yang lain," katanya.
Dwi Setyo, Agus Hidayat
MENGGANGSIR BANK SENDIRI Perkiraan Kewajiban Tujuh Bankir yang Banknya Diambil Alih Pemerintah | Nama Bank | Pemilik | Kewajiban |
Bank Nusa Nasional Bank Risjad Salim Bank Tamara Bank Pos Nusantara Bank Duta Bank Jaya Bank Rama | Aburizal Bakrie Ibrahim Risjad, Salim Atang Latief dkk. Pieter Sondakh Yayasan Soeharto Ciputra, Pemda DKI Kel. Gondobintoro | Rp 5 triliun Rp 1,4 triliun Rp 1,4 triliun Rp 800 miliar Rp 400 miliar Rp 350 miliar Rp 50 miliar |
Total | Rp 9,4 triliun |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini