Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Binatang Purba di Kedalaman Gua

Tasikmalaya menyimpan kekayaan alam berupa gua-gua tersembunyi. Liang-liang alami itu pun menyimpan misteri dan pesona tersendiri. Salah satunya keberadaan binatang purba.

30 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gua Sarongge Jompong di Kampung Jompong, Desa Mertajaya, Kecamatan Bojongasih, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, 13 Mei 2020. FOTO-FOTO: ROMMY ROOSYANA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rommy Roosyana
Kontributor Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan langkah perlahan, kami menyusuri pematang persawahan yang tak berpadi. Kami kemudian berjalan melewati lahan berilalang setinggi badan orang dewasa. Setelah menempuh jarak sekitar 500 meter, perjalanan kami berhenti di ujung sebuah tebing. Di sana kami disambut suara bergemuruh yang memekakkan telinga. Suara itu rupanya berasal dari aliran air dari dalam Gua Sarongge Jompong yang mengalir ke beberapa arah melalui sejumlah sungai kecil. Suara gemuruh sungai ditingkahi gesekan rumpun bambu yang berderit-derit ditiup angin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gua Sarongge Jompong berada di Kampung Jompong, Desa Mertajaya, Kecamatan Bojongasih, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam perjalanan pada pertengahan Mei lalu itu, saya ditemani seorang rekan fotografer kantor berita nasional dan dipandu oleh sejumlah pengurus Caves Society, sebuah komunitas penelusur gua asal Tasikmalaya. Tapi, sebelum kami semua masuk ke gua, Ketua Caves Society, Aris Rifki Mubarok, mengajak rekannya, Arga Adriansyah dan seorang anggota lainnya, menyurvei gua lebih dulu.

Setelah merapikan wearpack masing-masing, mereka bertiga memanjat tebing setinggi sekitar 5 meter. Ketiganya masuk ke sebuah lubang dengan diameter sekitar 90 sentimeter.

Berselang sepuluh menit kemudian, ketiganya keluar. "Aman, hanya sedikit pengap karena sirkulasi oksigen kurang bagus. Mungkin karena lubang gua terhalang pepohonan yang begitu lebat," kata Aris kepada saya.

Aris dan Arga lalu mengajak saya menjajal memasuki gua. Petualangan pun dimulai. Kami memanjat tebing dengan menggapai pepohonan. Memasuki mulut gua, kami semua menyalakan senter yang menempel di helm. Untuk masuk ke Gua Sarongge Jompong tak bisa sambil berdiri. Kami mesti merangkak dengan mendahulukan kaki. Di dalam gua, dengan sedikit menunduk, kami berjalan perlahan menelusuri sisi kiri gua. Di sisi kanan kami terdapat sungai bawah tanah dengan aliran air yang jernih.

Belum jauh melangkah, tampaklah panorama yang begitu mengesankan: Tetesan air yang jatuh dari stalaktit (kapur yang tumbuh dari atap gua) dan menimpa stalagmit (batu di lantai gua yang terbentuk oleh cucuran material) terlihat berkilauan tersorot cahaya lampu senter. Udara pengap mulai terasa setelah meninggalkan mulut gua lebih dari 5 meter. Sambil berpegang ke dinding gua, kami berjalan perlahan menuju sebuah lubang besar yang dihiasi stalaktit berwarna kecokelatan berukuran jumbo.

Arga begitu cepat memanjat. Gerakannya lincah meski sepatu botnya beberapa kali terlihat terpeleset. Ia merangkak naik ke sebuah ruang di bagian atas gua. Lima lampu menyorot Arga yang menunjukkan sebuah lubang kecil yang tembus ke luar gua. Ia kemudian bergerak turun dengan mencengkeram dinding-dinding gua yang meneteskan bulir-bulir air. Ia bergerak ke kiri, lalu merayap horizontal sekitar 2 meter. Dia lalu turun menuju sebuah ruang sempit yang terdapat genangan air setinggi paha. Di sana, ia kembali naik ke sebuah ruang kecil di sisi kiri.

Beberapa menit kemudian, Arga turun ke ruang utama gua. Ia memperlihatkan potret dua ekor binatang berwarna merah jambu di layar telepon selulernya. "Yang terlihat (udang purba) dua ekor. Mungkin yang lainnya sembunyi karena tadi airnya tidak sengaja tersentuh saat naik. Mereka sangat sensitif," Arga menjelaskan. Inilah pesona lain Gua Sarongge Jompong: udang purba (Stenasellus sp.), spesies isopoda yang menjadi endemik gua-gua di Pulau Jawa. Hewan langka ini diketahui hanya hidup di genangan air yang berasal dari tetesan dan rembesan air di lorong gua.

Tidak semua gua bisa menjadi habitat udang purba. Apalagi gua yang telah menjadi tempat wisata. Aktivitas penelusuran gua juga menjadi satu di antara banyak ancaman serius habitat spesies itu lantaran genangan di lantai gua kerap dipijak para penelusur gua. "Tidak banyak informasi biologi yang menjelaskan spesies ini. Makanya, kami menjaga semua gua yang menjadi ekosistem mikroorganisme langka," tutur Arga.

Aris lalu mengajak saya naik ke ruang-ruang kecil di bagian atas gua untuk melihat ornamen-ornamen langka. Di sana ia menunjukkan butiran-butiran kecil yang mengkilap ketika tersorot lampu senter. Butiran-butiran kecil itu dia sebut mutiara gua. Ornamen alami ini terbentuk dari konkresi (berupa butiran berbagai bentuk, ukuran, warna, dan kekerasan) yang terbentuk dalam kolam air di gua tapi tidak melekat pada permukaan lantai. Mutiara gua, Aris menjelaskan, terbentuk dari tetesan air yang cukup deras ke kolam jenuh air tapi tidak membentuk stalagmit. "Karena sebuah reaksi, terbentuk butiran kalsit menjadi mutiara gua ini."

Aris menjelaskan, selain memelihara ekosistem mikroorganisme, para pegiat susur gua yang tergabung dalam Caves Society berusaha menjaga keutuhan ornamen-ornamen gua. Jika menemukan gua baru, mereka akan melakukan eksplorasi dengan membuat pemetaan, identifikasi organisme, kontur, ornamen, hingga satwa-satwa yang menjadi penghuni gua tersebut.

Sejauh ini mereka sudah mengidentifikasi 492 gua di seluruh Kabupaten dan Kota Tasikmalaya. Tapi baru sekitar 120 gua yang sudah dieksplorasi. "Yang sudah terpetakan detailnya baru Gua Safawardi di Pamijahan."

Keberadaan gua di Tasikmalaya umumnya berada dalam satu blok. Jika ditemukan satu gua di satu titik, dipastikan ada gua lainnya. Seperti Gua Sarongge Jompong yang masih satu blok dengan gua di Bantarkalong dan Pamijahan. Gua di kawasan Pamijahan pun jumlahnya sangat banyak. Selain Gua Safarwadi, ada Gua Kafir, dan lain-lain. Hal ini terjadi, menurut Aris, karena Tasikmalaya terdiri atas jajaran perbukitan karst dengan total luas sekitar 30 ribu hektare. Sebagian bentangan Karst Tasikmalaya berada di wilayah Kota Tasikmalaya dan mengular ke arah selatan Kabupaten Tasikmalaya.

Kawasan karst terluas berada di Kabupaten Tasikmalaya bagian selatan, di antaranya Sukaraja, Parungponteng, Cipatujah, Salopa, Sodonghilir, Karangnunggal, Culamega, Bantarkalong, Bojongasih, Bojonggambir Puspahiang, hingga Taraju. Berdasarkan hasil riset para peneliti, jutaan tahun silam, daerah selatan Tasikmalaya merupakan laut dangkal yang kemudian terangkat menjadi perbukitan kapur. Di Kota Tasikmalaya, ada gua karst di Kampung Nanjungsari, Kelurahan Urug, Kecamatan Kawalu. Nama guanya hampir sama, Sarongge.

Sayangnya, kata Aris, masyarakat belum banyak yang tahu jika terjadi perusakan kawasan karst dan gua bisa memicu peningkatan intensitas banjir dan longsor. Jika terjadi, kondisi tersebut juga bisa memicu berbagai persoalan sosial. "Kami selalu berusaha mengampanyekan pentingnya melindungi kawasan karst dan gua. Selain bisa menjaga sumber-sumber air, bisa menjaga kelestarian ekosistem binatang-binatang langka yang hampir punah."

● ● ●

Tak terasa, jarum jam menunjukkan pukul 15.20 WIB. Saatnya kami pulang. Pengapnya gua membuat kami mandi keringat. Sepatu bot juga dipenuhi air lantaran beberapa kali kami harus melintas di aliran sungai bawah tanah dengan air setinggi lutut. Menjelang pukul 4 petang, kami keluar dari mulut gua, tempat dimulainya penelusuran tadi. Meski kelelahan mulai mendera, kami turun menyusuri sungai kecil disambung pematang persawahan yang tak ditumbuhi padi. Sesampainya di pinggir jalan tempat memarkir kendaraan, kami bersih-bersih. Sepatu bot dan wearpack yang penuh lumpur kami cuci di sungai kecil yang airnya mengalir deras.

Sebelum berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing, Aris mengatakan gua tergolong lingkungan unik dan rentan lantaran pembentukannya membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan ribu tahun. Selain fisik gua itu sendiri, kata Aris, flora dan faunanya harus dilindungi. "Sekarang permasalahan gua adalah banyaknya penelusur yang tidak mengetahui aturan dan cara pelestarian gua. Permasalahan yang banyak terjadi adalah vandalisme," tutur dia.

Beberapa aksi vandalisme yang kerap terjadi di sejumlah gua di Tasikmalaya adalah perburuan sarang burung walet serta penggalian mineral dan kapur yang banyak terkandung di dalam gua.

Selain itu, ada aksi vandalisme berupa perusakan, polusi air, corat-coret, pengambilan speleothem, pengotoran gua, dan gangguan ekologis lainnya. "Yang lebih mengerikan lagi, eksploitasi kandungan kalsit untuk bahan baku semen dan wisata gua yang akan berdampak pada hilangnya keaslian dan kealamian gua."

Menurut Aris, Indonesia memiliki kawasan karst dengan total luas sekitar 154 ribu km persegi. Sebanyak 15 persen dari kawasan itu (sekitar 22 ribu km persegi) merupakan kawasan konservasi yang dilindungi. Dari seluruh kawasan karst di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kawasan karst terbanyak, yaitu 44 kawasan. Kawasan karst itu terbentang di sejumlah pulau di Indonesia, termasuk di Tasikmalaya.

● ● ●

Gua Sarongge Jompong ditemukan pertama kali pada 2014 oleh para penelusur gua yang tergabung dalam Tasikmalaya Caving Community (TCC). Menurut pengurus Tasikmalaya Caving Community (TCC), Ridwan Nasrullah, Gua Sarongge Jompong memiliki total panjang 607,37 meter. Di luar gua, terdapat beragam jenis fauna. Dari kelelawar pemakan serangga, kelelawar pemakan biji, berang-berang, babi hutan, tupai tanah, elang, hingga ikan sidat alias moa.

Sedangkan di dalam gua, tidak begitu banyak ditemukan biota. Penemuan udang purba, kata Ridwan, diketahui pertama kali pada 2015. Kala itu timnya tengah mengidentifikasi gua dan ekosistem di dalamnya. "Pertama menemukan satu ekor. Kemudian, dalam penelusuran berikutnya, lima ekor. Bahkan kami pernah melihat mereka bergerombol lebih dari 15 ekor," Ridwan bercerita kepada saya beberapa hari setelah kunjungan saya ke gua itu.

Udang purba merupakan kelompok anggota krustasea dari kelompok isopoda yang termasuk golongan primitif lantaran nenek moyangnya hingga saat ini hidup di perairan asin. Beberapa spesies udang khas gua ini telah mengalami adaptasi yang begitu ekstrem untuk hidup di air tawar. Karena berhabitat pada genangan air di lantai atau atap gua, mereka rentan terhadap ancaman dan gangguan. Ancaman itu bisa datang dari luar maupun dalam gua akibat aktivitas manusia. Stenasellus saat ini hanya ditemukan di beberapa daerah di Jawa.

Selain isopoda tersebut, menurut Ridwan, di Gua Sarongge Jompong ditemukan laba-laba gua dan kala cuka atau ketonggeng (theliphonyda). Disebut kala cuka lantaran ketika merasa terancam, mereka akan menyemprotkan cairan gabungan dari asam asetat dan asam oktanoat yang menimbulkan bau seperti cuka. "Binatang ini tidak menggigit atau berbisa, hanya bisa mencapit dan menyemprotkan cairan bau cuka. Enggak bahaya," kata Ridwan.

Adapun udang purba pertama kali ditemukan di Gua Cikarae di kawasan Jagabaya Karst, Desa Leuwi Karet, Kecamatan Kelapa Nunggal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada 2004. Penemunya adalah peneliti di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga Presiden Indonesian Speleological Society, Cahyo Rahmadi. Dua tahun setelah itu, Cahyo bersama seorang peneliti asal Prancis, Doktor Guy Magniez, memberi nama isopoda itu Stenasellus javanicus. Untuk memastikan jenis spesies yang ada di Gua Sarongge Jompong, Ridwan sudah mengirim sampelnya ke Bogor. "Kami rasa (udang purba dari Sarongge Jompong) sama dengan yang ada di Cikarae," ujar dia.

Adapun Cahyo mengatakan Stenasellus sp. (Stenasellidae, isopoda) yang berada di Pulau Jawa sudah terdeskripsi sebagai Stenasellus javanicus. Habitat mereka terdapat di Gua Cikarae dan beberapa gua di Kelapa Nunggal, Kabupaten Bogor. "Tapi, kalau yang di Tasikmalaya dan tempat lain, saya yakin berbeda," ujar Cahyo kepada saya. Ia menegaskan, hingga saat ini masih ada beberapa jenis Stenasellus di luar Kelapa Nunggal yang belum terdeskripsikan. "Di Indonesia belum ada ahli yang bisa mengidentifikasi."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus