Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
French Deli, Naomi Fish’n Chips, Claudia’s New Strip, Tiramisu, dan Supermodel Split adalah beberapa di antara menu harian Fashion Cafe yang memikat lidah. Namun, pekan lalu, daya tarik kedai makan kelas atas ini, agaknya, berpindah dari pinggan makanan ke atas panggung musik.
Penyanyi Memes, lengkap dengan "Pesawat"-nya, melantunkan suaranya yang jernih merdu, membelah malam Jakarta. Penyanyi Melly Goeslaw ganti naik panggung, meraung-raung dengan baju yang bersimbah darah untuk menampilkan kesan ia habis disiksa pacar, seperti yang ditampilkan dalam videoklip lagu Diam. Ada juga Karenina, model pendukung terbaik, yang gemerlap dengan tato di punggung dan tangan, dan bergaya acuh tak acuh menerima penghargaan "artis pendukung videoklip terbaik".
Inilah ingar-bingar yang mewarnai Grand Final Video Musik Indonesia (VMI) Periode VI, 1998/1999. Acara ini digelar di Fashion Cafe beberapa waktu silam. Tersedia gelar "terbaik" untuk 15 kategori. Videoklip terbaik dimenangkan Sujiwo Tejo lewat klip berjudul Pada Suatu Ketika karya Riri Riza, produksi Miles Production. Nama lama, seperti Rizal Mantovani, kembali memborong tujuh penghargaan lewat rumah produksinya, Avant Garde.
Hasil VMI yang diumumkan itu adalah hasil akhir lomba sepanjang tahun acara yang ditayangkan di stasiun RCTI . Sekali sepekan, acara Video Musik Indonesia ditayangkan, dan setiap bulan para juri bulanan akan memilih para finalis yang kelak bertanding dalam acara final setahun sekali.
Ada sejumlah hal baru dalam penyerahan Piala Visia--piala Grand Final VMI--tahun ini. Misalnya, penghargaan dari Music Television Asia untuk kategori videoklip alternatif untuk videoklip yang dinilai memberi terobosan visual dalam penggarapan. Krisdayanti, lewat videoklip Ku Tak Sanggup--produksi Avant Garde--adalah artis pertama yang meraih penghargaan ini.
Perkembangan videoklip di Indonesia boleh dikata muncul bersamaan dengan televisi swasta. Melalui media elektronik inilah, videoklip Indonesia mulai menemukan bentuk. Videoklip sebagai sebuah kesenian memang memiliki bentuk yang unik. Tujuan awal pembuatan sebuah videoklip adalah sebagai alat promosi, tetapi setelah promosi selesai, dia menjelma menjadi salah satu bentuk pop art. Perkembangan videoklip tak bisa dipisahkan dari perkembangan industri musik. Penyanyi Michael Jackson dan Madonna, antara lain, adalah yang memelopori videoklip sebagai bentuk rekaman promosi yang tak sekadar memperlihatkan artis yang berputar-putar di atas panggung, tetapi memiliki skenario dan storyboard dengan adegan sinematik yang mengagumkan.
Pada awal karir musiknya, Madonna, dengan album Like A Virgin, atau Michael Jackson, dengan videoklip Thriller atau Man in a Mirror, mengejutkan dunia musik Indonesia karena videoklipnya yang membawa penonton ke sebuah dunia dongeng. Dan, tampaknya, meski lagu itu juga ikut berpengaruh, videoklip yang bagus itu memengaruhi meledaknya penjualan kaset kedua penyanyi ini.
Bagaimanapun, sutradara Garin Nugroho--yang sudah memproduksi sekitar 12 videoklip--mengatakan sifat utama dari videoklip adalah media pencitraan, bukan media promosi. Videoklip muncul pertama di Eropa dan Amerika, dan tumbuh pesat dengan adanya saluran multikanal seperti MTV. Menurut Garin, kemajuan teknologi televisi--antara lain remote control--membuat media audio visual ini menjadi lebih terpotong-potong, serba selintas. Dalam tiga menit, misalnya, orang sudah bisa menonton tokoh, tari, arsitektur, dan koreografi. Sehingga, sebagai bisnis, videoklip memberi karakter televisi yang serba melintas. Inilah yang menyebabkan videoklip bisa tumbuh menjadi bisnis tersendiri. Sujiwo Tejo, misalnya, sadar betul akan "sifat" kesenian ini ketika ia memutuskan mulai bervideoklip. "Dalam dunia posmodernisme, tidak ada yang ditampilkan dalam satu tema sentral. Bentuknya lebih pada lintasan, semua pesan jadi satu, tapi sepertinya banyak pesan. Dan videoklip cocok untuk itu," ujarnya kepada TEMPO.
Alhasil, para kreator videoklip tertantang memadukan kedua unsur bisnis dan citra--sesuatu yang belum mampu dilakukan semua sutradara, seperti yang diakui Rizal Mantovani. Sebagai bentuk kesenian pop, videoklip memang tak bisa sepenuhnya bebas dari ambivalensi seni dan bisnis. Dan betapapun luasnya kebebasan seorang kreator, klip musik tetaplah sebuah commercial art, yang tak bisa melupakan perhitungan untung rugi.
Hermien Y. Kleden, I G.G. Maha Adi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo