Dialog dan adegan harunya memang dapat. Dan banyak. Salah satunya nih, adegan ketika si Abah bilang, “Kalian semua tanggung jawab Abah!” Lalu Euis dengan air mata menimpali, “Kalau kami semua tanggung jawab Abah, Abah tanggung jawab siapa?” Terus Emak, Euis, dan Abah berpelukan. Adegan pelukan ini pun lama. Bikin iman runtuh. Makanya banyak yang mewek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Film Keluarga Cemara sukses mengobral cerita sedih keluarga yang jatuh miskin. Melupakan detail-detail yang bermakna. Itu kesanku usai duduk selama kurang lebih dua jam di dalam bioskop.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wanita di sampingku kutahu beberapa kali meneteskan air mata. Wong dia senderan di bahuku. Heheu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi yang hilang menurutku adalah makna di balik semuanya. Aku tak merasa adegan-adegan itu sebagai satu kesatuan. Seperti terpisah. Sehingga di akhir film, bingung mau memetik apa pesannya.
Kalau mau disebut pesannya adalah keluarga sebagai sumber kebahagiaan, bukan harta, atau menghargai kerja keras ayah, atau teman yang saling mendukung. Ini terlalu umum, kan. Makan kita sehari-hari ini. Tak perlu difilmkan. Kita kan ingin mendapat sesuatu yang lebih.
Coba nih aku sebutin beberapa hal yang mengganjal yang kuingat.
Lebam di wajah Kang Fajar sama sekali kelihatan bohongan. Ini seperti menunjukkan Film Keluarga Cemara ini tidak serius digarap. Maaf lo ya. Maksudku itu detail yang penting. Meski hanya tampil beberapa detik, ya tetap harus all out.
Kedua, ketika Abah jatuh saat bekerja bangunan dan Emak memberi tahu dia hamil. Lalu tiba-tiba banget hamilnya udah kayak 6 bulan. Yang tidak masuk akalnya adalah, kaki si Abah masih diperban seperti saat pertama kali diperban usai jatuh sementara hamil si Emak sudah mencapai bulanan.
Emang kaki si Abah segitu parahnya sehingga berbulan-bulan belum sembuh? Kalau memang iya separah itu, kenapa setelah jatuh tidak dilarikan ke rumah sakit, kok hanya dikompres di rumah. Maksudku tidak ada adegan atau dialog yang menunjukkan itu sangat parah. Ini juga detail yang terlupakan.
Lalu, sejak perut si Emak tiba-tiba kayak udah enam bulan, jarak ke kelahiran begitu lama. Sehingga tidak proporsional pembagian waktunya. Tidak masuk akal. Kayak lo tiba-tiba sedang makan tapi gak selesai-selesai berjam-jam.
Ketiga, si Teteh Euis anak yang sangat dewasa. Orang kota lalu tinggal di desa. Euis tidak mudah menjalani adaptasi ini. Kelihatan betul penggambarannya. Tapi akhirnya ia mau berjualan opak. Untuk ini, aku salut.
Yang kukritik adalah sikap marah-marah Abah pada Euis, seperti menolak Euis ketemu teman-temannya. Sebagai kepala keluarga yang sudah pernah tinggal di kota, punya pengalaman, dan mungkin juga dia berpendidikan karena sebelumnya ia punya perusahaan di kota, mustahil rasanya punya sikap seperti itu.
Sehingga sikap marah-marahnya pada Euis itu tidak berdasar. Kecuali ia dikisahkan sebagai ayah yang akhirnya mengalami gangguan mental setelah bangkrut. Ini detail yang juga dilupakan sehingga karakter Abah menjadi kurang kuat.
Terus tiba-tiba si Abah beli motor. Ini juga ujug-ujug gitu. Nggak ada adegan atau dialog yang menunjukkan kalau dia masih punya uang untuk membeli motor. Apakah itu belinya kredit atau tunai, tetap aja berasa ujug-ujug.
Selanjutnya soal adegan gerobak dorong saat Emak mau melahirkan. Aku lupa namanya, panggil aja si Mas, yang membantu mendorong. Itu adegan lucu tak berkelas.
Tak mungkinlah begitu. Apalagi di desa. Rasanya tidak ada orang desa seperti itu. Masa lagi mendorong gerobak berisi ibu hamil yang mau melahirkan malah jatuh kelelahan. Manja sekali. Jatuh kelelahannya itu pun, ya kayak main-main.
Karena melahirkan itu kan sesuatu yang serius, ya. Kecuali ini film komedi, ya sah-sah saja. Detail yang diremehkan kalau ini.
Lalu pemilihan Bogor sebagai tempat pindah setelah bangkrut. Kok rasanya kurang jauh ya dari Jakarta. Okelah itu rumah warisan. Tapi kurang greget ketika jatuh miskin lalu pindahnya ke Bogor yang jaraknya hanya seupil dari Jakarta. Coba pindahnya lebih jauhlah dari Jakarta, misalnya ke Purbalingga atau Medan sekalian. Hehe.
Kalau penulis novel Indonesia Leila S. Chudori pernah bilang, “Semua tindakan tokoh, seperti kalimat yang diucapkan, keputusan yang diambil, pakaian yang dikenakan, harus mendukung karakter si tokoh dan memiliki relevansi dengan bangunan keseluruhan cerita.” Ini yang kurang di film ini.
Selama hampir dua jam di bioskop, aku banyak tertawa dan senyum. Gemas melihat aksi Ara. Film ini juga sarat humor tingkat tinggi. Dan akting para pemeran tak usah diragukanlah. Terus adem ayem banget dong mendengar suara Bunga Citra Lestari, pengisi soundtracknya.
Jadi, ya begitulah. Film ini sukses mengobral kesedihan hidup keluarga miskin.
Oh ya, mungkin karena aku lahir di keluarga miskin, jadinya melihat film ini dari sudut pandang orang yang pernah hidup susah. Film ini mungkin ingin menceritakan bagaimana orang kaya membayangkan hidup orang miskin.
Tulisan ini sudah tayang di Martinrambe