Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Ini Syarat Memainkan Liang Liong, untuk Meredam Emosi "Naga"

Proses pensucian dilakukan di kelenteng. Liang Liong akan 'diisi' dengan energi positif.

16 Februari 2018 | 18.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Grup Liang liong memberi penghormatan di hall utama Klenteng Sampokong Semarang, 13 Agustus 2015. Setiap peringatan kedatangan Laksaamana Chengho, Klenteng ini dipenuhi peziarah maupun pengunjung yang ingin melihat berbagai macam pertunjukan kesenian etnis Tionghoa. TEMPO/Budi Purwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Yogyakarta – Ketika memainkan tarian naga Liang Liong, penari tak hanya membutuhkan tenaga yang kuat untuk mengangkat dan meliukkan tubuh boneka berkepala naga yang berat dan panjang. Maklum, kepala Liang Liong bisa mencapai berat 30 kilogram dan panjang tubuhnya bisa lebih dari 25 meter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti sejumlah kepala Liang Liong yang pernah dimainkan tim dari Perkumpulan Budi Abadi (Hoo Hao Hwe) dan kini disimpan di kantornya di Bintaran, Kota Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Harus melewati prosesi mensucikan dulu. Baik pemain maupun Liang Liongnya,” kata Ketua Perkumpulan Budi Abadi, Tandean Harry Setyo Subagyo, 58 tahun saat ditemui Tempo saat mempersiapkan sembahyang untuk leluhur menjelang perayaan Tahun Baru Imlek di kantornya, Kamis, 15 Februari 2018.

Harry menjelaskan proses pensucian dilakukan di kelenteng. Liang Liong akan ‘diisi’ dengan energi positif. “Bukan diisi ruh lho ya,” kata Harry menegaskan.

Para pemain pun diharuskan puasa makan daging sehari sebelum pementasan. Filosofinya adalah untuk meredam emosi. “Memainkan Liong kan berat. Penuh dengan emosi. Perlu diredam. Biar naganya terkontrol, tidak liar,” kata Harry.

Saat di kelenteng, tubuh Liang Liong akan diangkat oleh 12 pengurus perkumpulan dengan menggunakan tongkat yang diselipkan di sela-sela tubuh Liang Liong. Satu orang memegang kepala, 10 orang memegang tongkat di sepanjang badan hingga ekor Liang Liong. Dan satu orang memegang kemala atau bola berapi yang diberi tongkat yang nantinya akan dikejar Liang Liong saat ditarikan.

Cara memainkan pun dengan menggerakkan tongkat-tongkat tersebut. Berbeda dengan permainan Barongsai atau Samsi (tarian singa) yang hanya membutuhkan dua orang penari. Satu orang di bagian kepala dan seorang lagi di bagian pangkalnya. “Yang memegang kepala Liong harus ketua. Itu berat,” kata Harry.

Namun saat dimainkan diserahkan kepada 12 pemain yang muda-muda. Harry mengakui, dibutuhkan tenaga ekstra untuk memainkannya. Selain juga kekompakan dan kedisiplinan. Satu Liang Liong bisa dimainkan 100 orang secara bergantian.

Rupanya tak hanya pemain dan Liang Liongnya yang mesti disucikan. Pembuat Liang Liong pun harus melakukan puasa makan daging selama 40 hari. Angka tersebut sekaligus batasan waktu untuk membuat seekor Liang Liong. “Kalau merampungkan kurang dari 40 hari boleh. Tapi tak boleh lebih,” kata pembuat Liang Liong, Daldiyono, 63 tahun.

Daldiyono telah berkecimpung dalam dunia pembuatan Liang Liong dan Barongsai sejak 1990. Dia mendapat tugas khusus membuat kepala dan ekornya. Sedangkan bagian badan diserahkan kepada temannya. Lantaran pembuatan kepala melalui ritual pengucapan sumpah di kelenteng. “Disumpah, mampu atau tidak. Sejauh ini, saya belum menemukan pengganti saya,” kata Daldiyono.

Selama membuat Liang Liong, sederet kisah mistis pernah dialaminya. Seperti saat pembuatan Liang Liong pada 1996, Daldiyono hanya membutuhkan waktu sepekan untuk menyelesaikan. Liang Liong akan dipergunakan untuk pementasan festival di Semarang. Saat dibawa ke kelenteng, kepala Liang Liong tidak mau menunduk, melainkan menengadah. Begitu pun saat dimainkan untuk latihan, moncong kepala naga terus menyasar bokong perempuan yang menontonnya.

“Liongnya jadi liar. Orang yang memainkan kepala Liong tidak menyadari itu,” kata Daldiyono yang mengaku ‘kurang bersih’ saat itu tanpa mau menjelaskan maksudnya.

Liang Liong itu pun kemudian dibakar. Daldiyono juga melakukan ritual memohon maaf melalui Harry di kelenteng. Lantaran masih ada waktu, Daldiyono pun membuat Liang Liong yang baru.

PITO AGUSTIN RUDIANA

Pito Agustin Rudiana

Pito Agustin Rudiana

Koresponden Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus