Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Jadilah Cerdas, Kelola Sampah Dimulai dari Diri Sendiri

Sebenarnya ada solusi untuk meminimalkan masalah, yaitu dengan mengolah sampah di setiap rumah dan gedung.

10 Desember 2018 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sampah plastik dan styrofoam yang terbawa arus memenuhi di Kali Banjir Kanal Barat, Jakarta Barat, Senin, 3 Desember 2018. TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Masalah sampah masih menjadi polemik antara Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dan Kabupaten Bekasi. Persoalan ini hampir membuat masyarakat Jakarta kebingungan di mana mereka bisa membuang sampah jika ancaman Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk menghalangi truk berisi sampah dari Jakarta mendarat di TPA Bantargebang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perbedaan pendapat ini berakhir manis, karena Jakarta masih bisa membuang sampah ke Bantargebang di Bekasi. Tapi, meski masalah ini selesai, sebenarnya problem utama dari sampah Jakarta atau daerah-daerah lain belum selesai. Membuang sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) sebenarnya hanya memindahkan masalah.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita selama ini menganggap, jika sampah di depan rumah kita sudah diangkut, masalah selesai. Padahal, masalahnya hanya berpindah. Dari depan rumah kita ke tempat pembuangan sementara, dari TPS ke TPA. Tapi, sampah tetap sampah. Di depan rumah kita atau di Bantargebang atau di manapun, sampah akan tetap menjadi masalah.

Sebenarnya ada solusi untuk meminimalkan masalah, yaitu dengan mengolahnya di setiap rumah dan gedung. Setiap rumah dan gedung, misalnya, tidak boleh membuang sampah basah (bekas makanan) dan sampah yang bisa didaur ulang (kemasan plastik, kardus, kertas, dll). Sampah yang boleh diangkut ke TPS dan TPA hanyalah sampah yang memang tidak bisa diproses lagi. Dengan demikian, bisa dipastikan, sampah jakarta yang 9.000 ton per hari itu akan turun drastis. Mungkin hanya tinggal 20 persennya.  

Sayangnya hal ini tidak serius dilakukan oleh sebagian besar pemerintah daerah. Di Jakarta, misalnya. Dari zaman Ali Sadikin, sampai Jokowi, Ahok, dan Anies, masalah ini tidak diselesaikan dengan serius. Kita hanya memindahkan sampah dari Jakarta ke tempat lain.

Padahal, hal ini bisa sangat mudah dilakukan. Tidak ribet, tidak menyusahkan. Sangat sederhana. Tidak butuh biaya, bahkan bisa mendatangkan penghasilan bagi setiap rumah atau gedung.

Saya sudah melakukannya dan kami sekeluarga tidak pernah merasa kerepotan. Mulai saja dulu dengan yang paling mudah, nanti bisa meningkat ke tahap yang lebih baik.

Ikuti saja sejumlah langkah ini:

  1. Pisahkan sampah yang bisa didaur ulang dengan yang tidak. Ada banyak sampah-sampah yang bisa dikasih ke pemulung. Misalnya, wadah plastik dalam bentuk apapun, kardus, kertas bekas (koran, majalah, koran, dll). Kumpulkan di satu tempat yang tidak terkena hujan.

Kalau bisa, semuanya sudah dibersihkan dari sisa makanan. Awalnya memang terasa repot membersihkan kardus susu atau yang lainnya, tapi kini sudah biasa. Tinggal dikocok dengan air bersih, beres.

  1. Makanan sisa jangan buang ke tempat sampah. Saya menyediakan tempat di sisi tempat cuci piring untuk mengumpulkan semua bekas makanan. Apa saja. Mau sisa bagian bahan makanan yang tidak dimasak (seperti akar kangkung) atau sisa makanan yang tidak habis.

Dari sana, sisa makanan itu akan dikumpulkan menjadi kompos. Caranya sangat mudah. Tinggal tanam tong kecil yang sudah diberi sejumlah lubang kecil di sisinya dan bawahnya. Kenapa harus dilubangi? Agar proses menjadi kompos lebih cepat, karena mikroba dan cacing dari dalam tanah akan dipersilahkan bekerja.

Kalau bisa dibuat dua. Fungsinya adalah, agar saat yang satu penuh, kita bisa memakai tempat kedua, sambil menunggu sampah di tempat pertama benar-benar menjadi tanah kembali.

Di rumah saya, butuh waktu enam bulan hingga satu tong penuh. Setelah itu tinggal tunggu 1-2 bulan (tergantung cuaca) hingga benar-benar jadi tanah.

Hasilnya bisa jadi pupuk. Enggak bau sama sekali. Benar-benar seperti tanah.

  1. Mengurangi sumber sampah.

Saya sengaja meletakkan nomor satu di akhir, karena ini adalah hal terpenting, tapi sedikit memberatkan bagi yang tidak biasa. Jadi, apapun yang kita lakukan di atas tidak akan bermanfaat kalau kita tidak mengubah gaya hidup.

Jadi, kita tidak akan bisa mengurangi sampah kalau kita masih memasukkan banyak benda yang bakal jadi sampah ke dalam rumah. Misal, belanja baju setiap pekan, gonta ganti sepatu padahal yang lama masih ada, dll.

Ada sejumlah hal yang perlu kita ketahui untuk mengurangi sumber sampah:

  1. Diet kresek/kantong plastik. Kita bisa menggantinya dengan tas kain yang kita buat sendiri atau hadiah dari banyak acara. Masalahnya, kita sering lupa bawa. Supaya tidak lupa, taruh di mobil atau motor beberapa tas kain. Kalaupun lupa, pilih untuk tidak menerima tas plastik kalau cuma beli 1-3 barang. Kalau banyak, pakai saja kardus.
  2. Hal kedua yang bisa dilakukan adalah mengurangi belanja online. Bungkus plastik dari belanja online itu kebanyakan tidak bisa didaur ulang dan berlebihan (untuk menjaga kualitas barang).
  3. Bawa botol minum sendiri, hingga tidak perlu beli minuman dalam botol. Awalnya akan terasa merepotkan, tapi lama kelamaan kami terbiasa untuk membawnya ke mana-mana.
  4. Taruh peralatan makan di mobil, jadi tidak perlu pakai bungkus plastik atau bahkan stereofoam saat beli bubur ayam dll.

Ada banyak tips lain, tapi mungkin kita bisa mulai dengan niat dulu. Niat untuk membuat bumi ini lebih bersih, niat untuk tidak menyengsarakan orang Bekasi dan Bantargebang. Dan, niat itu untuk mempermudah pekerjaan tukang sampah hingga sampah yang mereka angkut tidak terlalu bau.

 

Tulisan ini sudah tayang di Almuslim

Qaris Tajudin

Qaris Tajudin

Wartawan Tempo. Sarjana hadis dari Universitas Al Azhar Kairo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus