Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kampung Ketandan merupakan nama kampung di Yogyakarta, tepatnya di daerah Malioboro, utara Pasar Beringharjo. Kampung Ketandan menjadi salah satu sentra perdagangan dan destinasi wisata di Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kampung Ketandan di Yogyakarta ini menyimpan keunikan sejarah dan arsitektur khas Cina. Arsitektur bangunan di kampung ini didominasi dengan nuansa tempo dulu. Rumah-rumah di Ketandan kebanyakan dibangun memanjang ke belakang dan digunakan sebagai toko oleh para pemiliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketandan menjadi saksi sejarah akulturasi antara budaya Tionghoa, Jawa, dan kolonial. Sejak 2006, setiap menyambut Tahun Baru Imlek, Pemerintah Kota Yogyakarta menggelar Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta di Kampung Ketandan.
Sejarah Kampung Ketandan
Asal mula berdirinya Kampung Ketandan berkaitan dengan keberadaan etnis Tionghoa sebagai salah satu penggerak perekonomian di Yogyakarta. Di Yogyakarta, etnis Tionghoa mulai diakui sejak abad ke-19, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII. Dulunya, wilayah Ketandan merupakan kawasan pusat permukiman pecinan pada zaman Belanda.
Ketandan sendiri berasal dari kata Tondo yang berarti ungkapan bagi pejabat penarik pajak atau pejabat Tondo, yang oleh Sultan diberi wewenang langsung kepada etnis Tionghoa. Dari situ, etnis Tionghoa memegang peranan penting dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan Yogyakarta.
Tan Jin Sing
Keberadaan Kampung Ketandan tidak lepas dari salah satu tokoh bernama Tan Jin Sing (1760-1831). Ia adalah seorang Kapiten Tionghoa. Menurut T.S. Werdaya dalam Tan Jin Sing: Dari Kapitan Tionghoa Sampai Bupati Yogyakarta, Tan Jin Sing merupakan putra dari seorang bangsawan Jawa.
Ayahnya adalah Demang Kalibeber di Wonosobo, sedangkan ibunya masih keturunan Sultan Amangkurat dari Mataram, yang bernama Raden Ayu Patrawijaya.
Ketika Tan Jin Sing masih bayi, ayahnya meninggal dunia. Lalu, ada saudagar Tionghoa bernama Oie The Long yang merasa kasihan padanya dan memutuskan untuk mengadopsinya.
Tan Jin Sing tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan pandai. Ia mampu menguasai 3 bahasa, yakni Hokkien, Mandarin, dan Inggris. Ketika beranjak dewasa, ia pun berteman dekat dengan Raffles, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda saat itu.
Kemudian Tan Jin Sing menjadi penghubung antara Sri Sultan Hamengku Buwono III dengan Gubernur Jenderal Raffles. Melansir dari Historia, karena jasanya itu, Sri Sultan HB III mengangkatnya sebagai bupati dan diberi gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat.
Selain itu, Sri Sultan HB III juga menghadiahi tanah serta mengizinkan etnis Tionghoa untuk tinggal di sana.
Kawasan Pecinan
Oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, Kampung Ketandan ditetapkan sebagai kawasan Pecinan. Di kawasan ini terdapat banyak bangunan berarsitektur Tionghoa dan rencananya akan dikembangkan lebih lanjut.
Sekarang, kawasan Ketandan banyak dihuni oleh warga Tionghoa yang mayoritas menjadi pedagang. Melansir dari laman visitingjogja.com, menjelang tahun 1950-an banyak warga Tionghoa yang menjalankan usaha toko emas. Sebelum itu, mereka membuka usaha toko kelontong, toko kebutuhan pokok, dan toko jamu obat tradisional.
Sebagai kawasan pecinan di Yogyakarta, Kampung Ketandan menawarkan daya tarik tersendiri. Terdapat banyak hal yang menarik yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah berfoto pada bangunan dengan gaya arsitektur dari tiga kebudayaan, yakni Tionghoa, Jawa, dan kolonial.
Selain itu, pengunjung dapat mencicipi sejumlah kuliner yang menyajikan menu beragam. Misalnya, babi, bakmi, bakcang, dan kuliner halal dapat ditemukan di Kampung Ketandan.
Salah satu rekomendasi tempat kuliner di kawasan Kampung Pecinan Ketandan ini adalah Toko Roti Djoen. Toko roti ini sudah berusia hampir 100 tahun. Kue bantalnya yang legendaris merupakan salah satu makanan yang perlu dicoba ketika berkunjung di Kampung Ketandan.
M. RIZQI AKBAR