Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Kilometer Nol di Saka Tiga, Sintang

Di pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Melawi itu berdiri Kesultanan Sintang, Kalimantan Barat. Lambang kesultanan ini merupakan cikal bakal lambang negara.

23 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kilometer Nol di Saka Tiga, Sintang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ardi Winangun
Pendiri Komunitas Backpacker International

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dulu di sini ramai kapal hilir-mudik," ujar seorang pria sambil menunjuk Saka Tiga, pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Melawi, di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Ia bercerita, pertama datang ke Sintang dari Pontianak, Kalimantan Barat, pada 1980-an, dia naik perahu kayu dengan waktu tempuh selama tiga hari. "Sama lamanya dengan naik kapal dari Semarang, Jawa Tengah, ke Pontianak," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah pembangunan jalan darat gencar dilakukan, ditambah transportasi udara yang mulai ramai, angkutan sungai pun ditinggalkan masyarakat. "Padahal kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat semuanya berada di tepi sungai," ujarnya. "Kantor pemerintah kabupaten pun masih menghadap ke sungai."

Meski masyarakat banyak yang bepergian menggunakan sepeda motor, mobil, bus, dan truk, geliat kapal kayu, speed boat, tongkang, serta kapal tanker masih terlihat di Saka Tiga. Sarono, penduduk yang tinggal di tepi Saka Tiga, menyebutkan kapal-kapal berukuran sedang yang datang dari Pontianak mengangkut sembako. Sedangkan kapal dari Kabupaten Putussibau menuju ke Pontianak diisi hasil pertanian seperti karet dan ikan. Ia mengatakan perjalanan ke Pontianak dari Putussibau bisa mencapai sepekan. Perjalanan yang memakan waktu selama itu terjadi lantaran di beberapa titik ekonomi mereka singgah untuk menaikkan dan menurunkan barang serta memasak makanan.

Bila kita duduk atau berdiri di tepi Saka Tiga, kerap mata kita melihat sejumlah speed boat yang melaju kencang di sepanjang Sungai Kapuas atau mengarah ke Sungai Melawi. Menurut Sarono, masih digunakannya angkutan sungai untuk transportasi tersebut, sebab ada daerah-daerah yang tak bisa ditembus oleh angkutan darat. Ada pula alasan lain orang masih menggunakan angkutan sungai, karena jika naik sepeda motor atau mobil harus memutar. "Naik speed boat untuk jarak pendek cukup membayar Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu," ia mengungkapkan.

l l l

Kawasan Saka Tiga, Kabupaten Sintang, terbilang daerah yang ramai. Disebutkan bahwa Saka Tiga merupakan nol kilometer. Ke depannya disebutkan pula di tempat itu akan dibangun waterfront. Menyusul Pontianak yang sudah menata tepi Sungai Kapuas dengan model waterfront. Waterfront merupakan konsep pembangunan tempat wisata di tepi sungai yang sudah lama dilakukan di Kota Kuching, Sarawak, Malaysia. Waterfront Sungai Sarawak merupakan tempat tujuan wisata, bila orang pergi ke Kuching.

Di Saka Tiga tak hanya masih ada geliat angkutan sungai, tapi di tepian Sungai Kapuas juga masih banyak lanting, rumah kayu yang terapung di pinggir sungai, di mana rumah-rumah itu dijadikan tempat usaha seperti rumah makan, kafe, toko kelontong, dan penjualan bensin. Lanting menunjukkan budaya masyarakat yang tinggal di tepi sungai.

Keramaian Saka Tiga sesungguhnya bukan saat ini saja. Sejak abad IV, dengan berdirinya cikal bakal Kesultanan Melayu Sintang, kawasan itu menjadi pusat ekonomi dan pemerintahan.

Jejak Kesultanan Sintang terlihat dengan jelas dari bangunan Istana Al Mukarramah dan Masjid Jami' Sultan Nata. Menurut juru kunci Masjid Sultan Nata, Abdul Latif, masjid yang berdiri pada 1672 itu ada kaitannya dengan unsur-unsur penyebar agama Islam di Jawa. "Sembilan tiang masjid sebagai simbol Wali Songo, sampai saat ini tak berubah," ujarnya.

Simbol Wali Songo ada dalam bangunan yang didirikan oleh Sultan Sintang, Sultan Nata, sebab dua mubalig dari Kalimantan, yakni Mohammad Saman dan Somad, selepas naik haji, bertemu dengan Sunan Kalijaga di Demak, Jawi. Dalam pertemuan tersebut, Saman dan Somad diberi amanah untuk mengislamkan penduduk yang ada di Sintang.

Dikatakan bahwa Sunan Kalijaga tidak melakukan dakwah langsung ke Kalimantan sebab dia masih sibuk mengislamkan Jawa. Sebagai pendakwah di Sintang, selanjutnya Somad diangkat menjadi Menteri Agama Kesultanan Sintang sekaligus menjadi guru agama bagi anak-anak sultan.

Masjid yang sekujur bangunannya tersusun dari kayu besi atau ulian itu sampai saat ini masih berfungsi baik. "Saat salat lima waktu, anggota jemaahnya mencapai 50 orang," ujar Abdul Latif. Jemaah membeludak bila saat salat Jumat, tarawih, salat Id, dan Idul Adha. Seperti masjid-masjid kesultanan di Jawa, setiap hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Isra Mikraj, dan 1 Muharram, digelar ritual agama dan budaya.

Pada Mei 2018, bagian dalam masjid yang berukuran 20 x 20 meter itu tengah diperbaiki. "Atapnya bocor," ungkap Abdul Latif. Menurut dia, masjid yang sudah menjadi cagar budaya itu biaya perawatannya ditanggung oleh pemerintah daerah. "Ditambah saat salat Jumat, infak dari jemaah mencapai Rp 2 juta lebih," ia menuturkan.

Persis di sebelah Masjid Sultan Nata, yang dipisahkan oleh jalan seluas empat meteran, berdiri Istana Al Mukarramah, pusat pemerintahan Kesultanan Sintang dan kediaman sultan. Menurut juru pelihara, Masthur, istana yang memiliki luas bangunan 40 x 43 meter itu merupakan pembangunan tahap ketiga. "Dibangun pada 1937," ujarnya.

Bangunan yang menghadap Saka Tiga itu mempunyai tiga bangunan utama. Di tengah merupakan tempat tinggal sultan. Di sebelah kiri tempat tinggal sultan merupakan tempat menyimpan pusaka atau Museum Dara Juanti dan di sebelah kanan tempat tinggal sultan adalah Sekretariat Kesultanan, kantor Yayasan Kesultanan, dan dapur.

Menurut Masthur, Istana Al Mukarramah ramai dikunjungi masyarakat pada Sabtu, Minggu, dan hari libur. Mereka datang dari berbagai tempat di Kalimantan Barat bahkan sampai dari Sulu, Filipina. Sebagai salah satu Kesultanan Melayu, Kesultanan Sintang, menurut Masthur, selain sering dikunjungi para wisatawan, juga kerap disambangi oleh para calon kepala daerah, baik calon kepala daerah Sintang maupun Kalimantan Barat. "Mereka mencari dukungan ke Sultan," ujarnya.

Saat memasuki ruang Museum Dara Juanti, terlihat di dalam ada berbagai benda pusaka, foto keluarga, potongan meriam, potongan tanah Jawa Majapahit, seperangkat gamelan, dan lambang Kesultanan Sintang.

Bila terkait dengan Islam, Kesultanan Sintang mempunyai hubungan dengan Kesultanan Demak. Sedangkan ihwal perkawinan, kesultanan ini mempunyai hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Bukti hubungan Sintang dengan Majapahit bisa dilihat di museum itu berupa sebongkah tanah dan seperangkat gamelan. Menurut cerita, salah satu petinggi Majapahit, Patih Lohgender, meminang Putri Dara Juanti. Dara Juanti merupakan anggota keluarga dari Kesultanan Sintang. Untuk meminang Dara Juanti, Patih Lohgender memberikan mas kawin berupa seperangkat gamelan.

Peristiwa pernikahan itu terjadi pada 1400-an. Gamelan yang selanjutnya disebut Gending Lohgender itu kini sudah banyak yang rusak. Bonang, gong, dan saron demung, terlihat banyak yang berlubang. "Ya karena umurnya sudah ratusan tahun," ujar Masthur. Jejak Majapahit tak hanya seperangkat gamelan. Di museum itu juga ada sebongkah tanah Jawa Majapahit. Keistimewaannya adalah tanah itu mengeras seperti besi berwarna hitam.

Sultan yang sekarang bertakhta adalah Sultan Kesuma Negara V, Pangeran Ratu Sri Negara H.R.M. Ikhsan Perdana. Ia mengatakan pada masa lalu Kesultanan Sintang merupakan sebuah imperium di Kalimantan Barat. Wilayah kekuasaannya meliputi Sintang, Melawi, Kapuas Hulu, dan Sekadau. Sebagai kesultanan tertua di antara 12 kesultanan di Kalimantan Barat, Kesultanan Sintang mempunyai pengaruh besar.

Sultan Kesuma Negara V menceritakan dalam lambang Garuda Pancasila-disebut dalam sejarah resmi bahwa lambang Garuda Pancasila dirancang oleh Sultan Hamid II, Sultan Pontianak-sesungguhnya inspirasi rancangan itu berasal dari lambang Kesultanan Sintang. Dalam mencari bentuk lambang negara, Sultan Hamid II bertemu dengan pihak keluarga Sultan Sintang. "Sultan Hamid II terinspirasi dari lambang Kesultanan Sintang," ujarnya sambil tersenyum. "Jadi embrionya dari sini," kata dia. Sultan Kesuma Negara V mengatakan hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahui asal-usul lambang Garuda Pancasila.

Bukti dari apa yang disampaikan oleh Sultan Kesuma Negara V bisa dilihat di Museum Dara Juanti. Ada bentuk kerajinan tangan berupa seekor burung yang mengepakkan sayap dengan kepala burung memakai mahkota raja dengan posisi pandangan ke depan. Kakinya berdiri tegak seolah mencengkeram batu. Di bawah patung yang terbuat dari kayu itu, ada sketsa lambang burung Garuda Pancasila dari tahap pertama hingga bentuk sempurna seperti saat ini.

Dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa, kesultanan-kesultanan di Kalimantan Barat mempunyai peran besar dalam perlawanan terhadap penjajahan Jepang. Sebagai salah satu kekuatan di masyarakat, para sultan di Kalimantan Barat dan tokoh masyarakat dibantai oleh Jepang. Sebanyak 53 tokoh dicurigai oleh Jepang akan melakukan perlawanan sehingga mereka secara massal dibunuh pada 28 Juni 1944. Kejadian ini dikenal dengan Peristiwa Mandor, karena terjadi Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Salah satu korbannya adalah Sultan Sintang.

Sebagai salah satu kesultanan yang sampai saat ini eksis menjaga budaya Melayu dan menyebarkan Islam, Kesultanan Sintang sesekali waktu memberi gelar adat kepada orang-orang yang dianggap berjasa kepada bangsa dan negara. "Kesultanan ini harus mampu menjawab tantangan kekinian," ujar Sultan Kesuma Negara V.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus