Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Taman siswa, bertahan dalam penyusutan

Taman siswa tak lagi menonjol, tapi berjasa. hari lahir pendirinya dijadikan hari pendidikan nasional. di jakarta diadakan temu karya taman siswa. (pdk)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERGURUAN Taman Siswa bukan sekolah favorit. Lembaga pendidikan yang akan genap berusia 59 tahun (Juli nanti) itu, bagi anak-anak sekarang termasuk pilihan ketiga -- sesudah sekolah negeri dan sekolah swasta yang populer. Di zaman Belanda Perguruan Taman Siswa (PTS), yang merupakan sekolah kalangan nasionalis satu-satunya, memang menawarkan satu pendidikan yang seirama dengan perjuangan waktu itu Misalnya menekankan pelajaran sejarah pada Indonesia (atau Nusantara) di masa prakolonial. Kesenian yang Barat, dijauhkan dari kurikulumnya. Kesenian daerah ditekankan. Juga bahasa daerah. Karena waktu itu pribumi begitu susah masuk sekolah Belanda, PTS menjadi pilihan. Kini, lembaga yang menerapkan kurikulum 1975 sebagai kurikulum resmi itu, apa boleh buat, rak berbeda dengan sekolah lain. Bahkan kemudian, dilihat dari segi fisik, "ibarat perlombaan, Taman Siswa tak secepat sekolah lain - Muhammadiyah, atau Katolik misalnya," kata Ki Suprapto, 68 tahun, Wakil Ketua Majelis Luhur Taman Siswa. Dan yang pertama ditunjuk sebagai penyebabnya PTS tak mudah mencari dana. "Sampai kini keuangan diperoleh dari uang sekolah dan bantuan pemerintah yang tak banyak tapi tak mengikat itu," kata Ki Hariadi, anggota Majelis Luhur. Tahun ajaran 1980/81 ini misalnya, PTS menerima Rp 85 juta dari Dep. P & K -- sementara anggarannya per tahun minimal sekitar Rp 2 milyar. Bantuan itu -- berbeda dengan untuk sekolah-sekolah lain -- tidak mengikat. Dan itu sebabnya PTS tetap terhitung 'tidak bersubsidi': tidak menerima misalnya bantuan guru negeri. Agaknya memang ada yang diusahakan dipertahankan. "Sekolah itu baiknya ya, jangan hanya berwujud 'gedung kosong," kata Ki Sarino Mangunpranoto, 71 tahun, salah seorang Pinisepuh Taman Siswa yang juga pendiri Sekolah Farming Menengah Atas di Ungaran -- sekolah yang sistem dasarnya mirip PTS, dengan sekitar 150 siswa. Bagi PTS yang ideal gedung sekolah itu juga merupakan tempat tinggal pimpinan beserta guru-gurunya -- hingga mereka bisa ditemui siswanya setiap saat. Hubungan tersebut diharap memunculkan ikatan kekeluargaan: guru tak hanya memberikan pengetahuan tapi juga hal-hal yang berkaitan dengan fungsinya sebagai teladan. Pendidikan watak diinginkan bisa lebih mantap diberikan. Juga dengan begitu fasilitas sekolah terbuka setiap saat. Masalahnya, sistem yang oleh Ki Hadjar Dewantara diakui diambil dari sistem asrama atau pondok pesantren ini, rupanya kini tak begitu mudah diterapkan. Dengan peledakan jumlah anak sekolah, perguruan ini tak luput dari akibat. Jumlah siswanya kini jauh lebih besar -- meski jumlah sekolah tak sebanyak di tahun 1940. Tahun dulu itu ada 204 sekolah dengan siswa sekitar 13,5 ribu. Kini, dengan hanya 127 sekolah, jumlah siswa mencapai sekitar 80 ribu. Berarti lebih banyak lokal harus disediakan -- dan memberi tempat tinggal para guru pun lantas susah. Seperti di Jakarta. Dari 26 guru Taman Madya (SMA PTS) dan Taman Karya Madya Ekonomi (SMEA), hanya 4 orang tinggal di kompleks Jl. Garuda itu. Maklum para guru itu punya "kesibukan lain," seperti kata Djayen Sudiri, pimpinan kedua sekolah itu. Ada lagi satu hal yang di aman sebelum Kemerdekaan menyebabkan PTS digandrungi dan kini justru nampak menjadikannya redup pamornya. Ialah pasal kesederhanaan. "Karena kita bersandar pada kemampuan diri sendiri, maka cara hidup kita haruslah sederhana," tulis Ki Hadjar Dewantara, 1922. Unaha berdikari itu kini seperti justru mengesankan kemelaratan. PTS cabang Surabaya punya gedung di tepi Sungai Kalimas. Nampak suram, di sana-sini ada tambalan papan -- guna menutup lubang agar bau sungai tak masuk. Juga di cabang-cabang yang lain. Bahkan di Yogya, pusat PTS, gedung sekolah termasuk yang tak menawan. Dan bapak atau ibu gurunya? Meski cabang diberi wewenang menentukan sendiri besar gaji mereka, agaknya memang tak bisa lebih dari ketentuan pusat tertinggi Rp 80 ribu, terendah Rp 15 ribu. Gaji Ketua Majelis Luhur sendiri Rp 100 ribu, tambah tunjangan Rp 25 ribu. Memang ada perkecualian PTS cabang Padang, yang berdiri tahun 30-an. Di tahun 60-an, menurut cerita Husmar Hasti, 48 tahun, Panitra Majelis Cabang PTS Padang, terasa benar PTS ketinggalan. Waktu itu mulai terpikir untuk menerima saja subsidi. Alasan: dari kemerdekaan hasil jerih payah kita sendiri, memetik hasil perjuangan sendiri antara lain dengan menerima subsidi pemerintah -- adalah sah. Setelah berdebat seru akhirnya Majelis Luhur di Pusat mengizinkan -- sejak 1965. "Tapi untuk eksperimen saja bagaimana nanti hasilnya," kata Ki Suratman, Ketua Majelis Luhur di Hotel Indonesia pekan lalu. Tapi sampai kini belum ada penilaian. Yang jelas, PTS Padang agaknya paling mentereng. Ada 4 unit gedung (3 bertingkat dua, yang satu segera menyusul dengan 70 lokal, ruang perpustakaan, laboratorium berdiri di tanah seluas 5.288 m2. Dari 181 pengajar, sekitar 50 orang guru subsidi pemerintah. Dari Taman Muda (SD PTS) sampai Taman Madya dan Taman Karya Madya Teknik, siswa seluruhnya berjumlah 3.050. Dan barangkali karena menyelaraskan diri dengan lingkungan, pelajaran pertama di kelas selalu diawali doa dan pembacaan Al Fatihah bersama. Sebelum pulang membaca Surat Al Ashr. Ada pula pelajaran ekstra yang wajib diikuti: Bahasa Arab dan membaca Al Qur'an. Sekolah PTS memang tampak tak lagi jauh berbeda dengan yang lain. Apalagi uang sekolahnya pun tak berbeda: Rp 500 - Rp 3.000. Kecuali, memang PTS punya satu pelajaran wajib yang khas Ketamansiswaan. Dan itulah yan oleh para pamong diandalkan sebagai "salah satu tapi pokok," guna mendidik watak. Antara lain terdiri dari sejarah perjuangan PTS. Sejarah pribadi dan perjuangan Ki Hadjar Dewantara beserta ajarannya. Serta budi pekerti. "Pokoknya sekitar sikap mental, misalnya jangan tergantung orang lain, korupsi itu jelek, dan sebagainya," turur Ketua Majelis Luhur. Pelajaran ini diberikan sejak Taman Indria sampai Sarjana Wiyasa - perguruan tinggi PTS yang baru satu-satunya, di Pusat. Sebetulnya, ada satu unsur -- yang bukan hal baru -- yang disebutkan Ki Sarino sebagai kekurangan besar PTS. Soal guru. "Setelah revolusi seperti tak ada kelanjutan guru-guru yang dulu. Yang baru, belum bisa mengembang kan prinsip ketamansiswaan. Itulah yang kini membuat kami mawas diri," katanya. Hal itu pun diakui Pak Swantoro misalnya, Kepala Bagian Pendidikan PTS cabang Turen, Malang. "(uru yang berketamansiswaan," katanya. Itu bisa berarti, menciptakan guru menurut ajaran Taman Siswa ternyata tak begitu mudah. Mungkin karena tuntutan sebenarnya sudah berubah lingkungan, bahkan siapa tahu juga "konSumen" Taman Siswa sendiri. Sedang waktu agaknya sudah menjadi "terlalu sedikit" bagi para pimpinan untuk memikirkan kembali semuanya. Memang mengembangkan biasanya lebih sukar dibanding memelihara warisan -- dengan penyusutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus