PERGURUAN Taman Siswa bukan sekolah favorit. Lembaga pendidikan
yang akan genap berusia 59 tahun (Juli nanti) itu, bagi
anak-anak sekarang termasuk pilihan ketiga -- sesudah sekolah
negeri dan sekolah swasta yang populer.
Di zaman Belanda Perguruan Taman Siswa (PTS), yang merupakan
sekolah kalangan nasionalis satu-satunya, memang menawarkan satu
pendidikan yang seirama dengan perjuangan waktu itu Misalnya
menekankan pelajaran sejarah pada Indonesia (atau Nusantara) di
masa prakolonial. Kesenian yang Barat, dijauhkan dari
kurikulumnya. Kesenian daerah ditekankan. Juga bahasa daerah.
Karena waktu itu pribumi begitu susah masuk sekolah Belanda, PTS
menjadi pilihan.
Kini, lembaga yang menerapkan kurikulum 1975 sebagai kurikulum
resmi itu, apa boleh buat, rak berbeda dengan sekolah lain.
Bahkan kemudian, dilihat dari segi fisik, "ibarat perlombaan,
Taman Siswa tak secepat sekolah lain - Muhammadiyah, atau
Katolik misalnya," kata Ki Suprapto, 68 tahun, Wakil Ketua
Majelis Luhur Taman Siswa. Dan yang pertama ditunjuk sebagai
penyebabnya PTS tak mudah mencari dana. "Sampai kini keuangan
diperoleh dari uang sekolah dan bantuan pemerintah yang tak
banyak tapi tak mengikat itu," kata Ki Hariadi, anggota Majelis
Luhur.
Tahun ajaran 1980/81 ini misalnya, PTS menerima Rp 85 juta dari
Dep. P & K -- sementara anggarannya per tahun minimal sekitar Rp
2 milyar. Bantuan itu -- berbeda dengan untuk sekolah-sekolah
lain -- tidak mengikat. Dan itu sebabnya PTS tetap terhitung
'tidak bersubsidi': tidak menerima misalnya bantuan guru negeri.
Agaknya memang ada yang diusahakan dipertahankan.
"Sekolah itu baiknya ya, jangan hanya berwujud 'gedung kosong,"
kata Ki Sarino Mangunpranoto, 71 tahun, salah seorang Pinisepuh
Taman Siswa yang juga pendiri Sekolah Farming Menengah Atas di
Ungaran -- sekolah yang sistem dasarnya mirip PTS, dengan
sekitar 150 siswa. Bagi PTS yang ideal gedung sekolah itu juga
merupakan tempat tinggal pimpinan beserta guru-gurunya -- hingga
mereka bisa ditemui siswanya setiap saat. Hubungan tersebut
diharap memunculkan ikatan kekeluargaan: guru tak hanya
memberikan pengetahuan tapi juga hal-hal yang berkaitan dengan
fungsinya sebagai teladan. Pendidikan watak diinginkan bisa
lebih mantap diberikan. Juga dengan begitu fasilitas sekolah
terbuka setiap saat.
Masalahnya, sistem yang oleh Ki Hadjar Dewantara diakui diambil
dari sistem asrama atau pondok pesantren ini, rupanya kini tak
begitu mudah diterapkan. Dengan peledakan jumlah anak sekolah,
perguruan ini tak luput dari akibat. Jumlah siswanya kini jauh
lebih besar -- meski jumlah sekolah tak sebanyak di tahun 1940.
Tahun dulu itu ada 204 sekolah dengan siswa sekitar 13,5 ribu.
Kini, dengan hanya 127 sekolah, jumlah siswa mencapai sekitar 80
ribu. Berarti lebih banyak lokal harus disediakan -- dan memberi
tempat tinggal para guru pun lantas susah.
Seperti di Jakarta. Dari 26 guru Taman Madya (SMA PTS) dan Taman
Karya Madya Ekonomi (SMEA), hanya 4 orang tinggal di kompleks
Jl. Garuda itu. Maklum para guru itu punya "kesibukan lain,"
seperti kata Djayen Sudiri, pimpinan kedua sekolah itu.
Ada lagi satu hal yang di aman sebelum Kemerdekaan menyebabkan
PTS digandrungi dan kini justru nampak menjadikannya redup
pamornya. Ialah pasal kesederhanaan. "Karena kita bersandar
pada kemampuan diri sendiri, maka cara hidup kita haruslah
sederhana," tulis Ki Hadjar Dewantara, 1922.
Unaha berdikari itu kini seperti justru mengesankan kemelaratan.
PTS cabang Surabaya punya gedung di tepi Sungai Kalimas. Nampak
suram, di sana-sini ada tambalan papan -- guna menutup lubang
agar bau sungai tak masuk. Juga di cabang-cabang yang lain.
Bahkan di Yogya, pusat PTS, gedung sekolah termasuk yang tak
menawan.
Dan bapak atau ibu gurunya? Meski cabang diberi wewenang
menentukan sendiri besar gaji mereka, agaknya memang tak bisa
lebih dari ketentuan pusat tertinggi Rp 80 ribu, terendah Rp 15
ribu. Gaji Ketua Majelis Luhur sendiri Rp 100 ribu, tambah
tunjangan Rp 25 ribu.
Memang ada perkecualian PTS cabang Padang, yang berdiri tahun
30-an. Di tahun 60-an, menurut cerita Husmar Hasti, 48 tahun,
Panitra Majelis Cabang PTS Padang, terasa benar PTS ketinggalan.
Waktu itu mulai terpikir untuk menerima saja subsidi. Alasan:
dari kemerdekaan hasil jerih payah kita sendiri, memetik hasil
perjuangan sendiri antara lain dengan menerima subsidi
pemerintah -- adalah sah.
Setelah berdebat seru akhirnya Majelis Luhur di Pusat
mengizinkan -- sejak 1965. "Tapi untuk eksperimen saja bagaimana
nanti hasilnya," kata Ki Suratman, Ketua Majelis Luhur di Hotel
Indonesia pekan lalu. Tapi sampai kini belum ada penilaian.
Yang jelas, PTS Padang agaknya paling mentereng. Ada 4 unit
gedung (3 bertingkat dua, yang satu segera menyusul dengan 70
lokal, ruang perpustakaan, laboratorium berdiri di tanah seluas
5.288 m2. Dari 181 pengajar, sekitar 50 orang guru subsidi
pemerintah. Dari Taman Muda (SD PTS) sampai Taman Madya dan
Taman Karya Madya Teknik, siswa seluruhnya berjumlah 3.050. Dan
barangkali karena menyelaraskan diri dengan lingkungan,
pelajaran pertama di kelas selalu diawali doa dan pembacaan Al
Fatihah bersama. Sebelum pulang membaca Surat Al Ashr. Ada pula
pelajaran ekstra yang wajib diikuti: Bahasa Arab dan membaca Al
Qur'an.
Sekolah PTS memang tampak tak lagi jauh berbeda dengan yang
lain. Apalagi uang sekolahnya pun tak berbeda: Rp 500 - Rp
3.000. Kecuali, memang PTS punya satu pelajaran wajib yang khas
Ketamansiswaan. Dan itulah yan oleh para pamong diandalkan
sebagai "salah satu tapi pokok," guna mendidik watak.
Antara lain terdiri dari sejarah perjuangan PTS. Sejarah pribadi
dan perjuangan Ki Hadjar Dewantara beserta ajarannya. Serta budi
pekerti. "Pokoknya sekitar sikap mental, misalnya jangan
tergantung orang lain, korupsi itu jelek, dan sebagainya," turur
Ketua Majelis Luhur. Pelajaran ini diberikan sejak Taman Indria
sampai Sarjana Wiyasa - perguruan tinggi PTS yang baru
satu-satunya, di Pusat.
Sebetulnya, ada satu unsur -- yang bukan hal baru -- yang
disebutkan Ki Sarino sebagai kekurangan besar PTS. Soal guru.
"Setelah revolusi seperti tak ada kelanjutan guru-guru yang
dulu. Yang baru, belum bisa mengembang kan prinsip
ketamansiswaan. Itulah yang kini membuat kami mawas diri,"
katanya. Hal itu pun diakui Pak Swantoro misalnya, Kepala Bagian
Pendidikan PTS cabang Turen, Malang. "(uru yang
berketamansiswaan," katanya.
Itu bisa berarti, menciptakan guru menurut ajaran Taman Siswa
ternyata tak begitu mudah. Mungkin karena tuntutan sebenarnya
sudah berubah lingkungan, bahkan siapa tahu juga "konSumen"
Taman Siswa sendiri. Sedang waktu agaknya sudah menjadi "terlalu
sedikit" bagi para pimpinan untuk memikirkan kembali semuanya.
Memang mengembangkan biasanya lebih sukar dibanding memelihara
warisan -- dengan penyusutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini