Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menikmati indahnya liburan di Jakarta tak harus ke mal. Begitulah kalimat yang kerap diujarkan para pegiat walking tour atau penikmat wisata kota dengan jalan kaki. Salah satunya diucapkan oleh Ira Latief, penggagas Wisata Kreatif Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agustus lalu, Ira merekomendasikan beberapa tempat di Ibu Kota kepada Tempo yang bisa disambangi selagi libur. Ia mencontohkan kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta Utara. Pelabuhan Sunda Kelapa ialah pelabuhan yang berjaya pada masa VOC. Keberadaannya menjadi warisan yang kini masih dihidupi oleh para penggemar sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak khayal, pelabuhan ini amat terbuka bagi tamu wisatawan. Mereka diperkenankan datang sekadar untuk mengenang cerita masa lampau atau untuk berfoto. Ya, sejak hobi fotografi menjamur, Pelabuhan Sunda Kelapa turut menjadi spot foto yang ideal bagi fotografer.
Tempo menyambangi Pelabuhan Sunda Kelapa pada Rabu, 3 Oktober lalu, bersama sekawanan fotografer asal Jakarta. Dua di antaranya Doddy Wiraseto dan Indrawan Ibonk. Menurut Doddy dan Ibonk, fotografer yang mengkhususkan diri di bidang panorama, waktu terbaik untuk menyambangi Pelabuhan Sunda Kelapa adalah sore hari.
"Setelah pukul 15.00 WIB," ujar Doddy melalui pesan pendek sebelum kami bergegas menuju lokasi. Alasannya, pada sore hari, debu-debu pelabuhan mulai tak ganas. Sebab, angin kian surut. Tidak seperti saat siang hari ketika angin masih kencang. Selain itu, langit kemerahan akan memberi nuansa dramatis pada lanskap pelabuhan berusia ratusan tahun itu.
Kami lantas menyambangi Pelabuhan dengan menunggang sepeda motor. Dari Monas, Pelabuhan Sunda Kelapa bisa ditempuh dalam waktu lebih-kurang 20 menit. Itu pun dalam kondisi lancar. Bila macet, bisa sampai 45 menit.
Pelabuhan Sunda Kelapa tak jauh jaraknya dari kawasan Kota Tua. Kira-kira 2 kilometer ke arah utara. Pelabuhan ini berada di tepi kampung Luar Batang dan tepat berdampingan dengan Museum Bahari.
Tidak ada biaya atau retrubusi masuk bila wisatawan menyambangi pelabuhan itu. Motor pun tidak dikenakan duit parkir. Hanya, harus berhati-hati lantaran banyak orang tak dikenal berlalu-lalang.
Tiba di pelabuhan, ada pemandangan tak biasa, yang tak bisa ditemukan di pelabuhan-pelabuhan pada umumnya. Pelabuhan Sunda Kelapa bergaya kuno. Arsitekturnya sekilas mirip dengan Pelabuhan Rotterdam di Belanda.
Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal logistik dari Sumatera. Ciri-ciri kapal tersebut mirip kapal jung Melayu yang memiliki layar. Namun dalam versi yang lebih kecil.
Adapun du belakang kapal, tampak latar belakang berula menara gedung-gedung pencakar langit.
Ada hal yang khas dari kegiatan di pelabuhan itu, yakni aktivitas para tukang kopi. Mereka ke sana-kemari menjajakan kopi kelilingnya sambil bersepeda. Para tukang kopi itu mendatangi satu-satu awak kapal yang tengah menurunkan logistik. Aktivitas yang tertampil di sini adalah surga bagi penggemar street photography.
Kami lantas berjalan menuju sisi utara. Jalan beton yang kami susuri ini penuh truk tronton terparkir. Sedangkan di sisi kanan tampak bertumpuk-tumpuk container warna-warni.
"Naik sampan, Mbak, Mas." Seseorang tiba-tiba memanggil kami. Suaranya dari sela-sela kapal itu. Ada seorang bapak separuh baya menepi ke dermaga sambil mendayung sampan. Baru setelah mengobrol kami tahu bapak itu bernama Nurdin. Ia berusia hampir 70 tahun. Nurdin adalah warga Suku Bajo dari Bone, Sulawesi Selatan, yang menikah dengan perempuan Sunda. Ia hidup puluhan tahun di kampung Luar Batang.
Nurdin salah satu penyedia jasa naik sampan. Ia akan mengantarkan wisatawan hingga mendekati laut lepas dan menyusuri dermaga Sunda Kelapa yang panjang. Kami menerima tawarannya dengan negosiasi harga sewa kapal Rp 50 ribu untuk satu kapal.
Kapal itu cukup untuk 7-8 orang. Lebarnya hanya 1 meter. Saat kapal jalan, kami harus benar-benar menyeimbangan badan. Artinya, tak boleh bergerak terlalu berlebihan.
Kapal itu bergoyang ketika memecah gelombang. Sedikit ngeri rasanya. Kami berpikir, wisatawan yang naik sampan kudu jago berenang atau paling tidak punya nyali. Sebab, tak ada jaket pelampung di kapal tersebut.
Sepanjang menyusuri dermaga raksasa Sunda Kelapa, kami menyaksikan berderet kapal-kapal parkir. Juga, kampung-kampung nelayan yang habis terdampak relokasi oleh eks Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Matahari sore juga dapat dilihat jelas. Pelan-pelan ia luruh di antara gedung gergasi di tepi pelabuhan. Langit Sunda Kelapa pun memerah. Cahaya yang memantul ke laut memberi efek keemasan.Mirdan, salah seorang awak kapalsedang menjemur pakaiannya yang basah di kapalnya yang sedang sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa, Rabu, 3 Oktober 2018. Tempo/Francisca Christy Rosana
Puas 30 menit keliling dengan kapal sampan, kami lantas dibawa menuju tepi dermaga lagi. Namun, sebelum sampai, ada seorang nakhoda kapal menawari kami mampir ke kapalnya. Dia adalah Mirdan. Mirdan membawa kapal dari Riau menuju Jakarta. Kapalnya berisi sagu dan semen.
Di kapal Mirdan, kami dibiarkan keliling memasuki ruang kemudi, deck awak kapal, hingga ruang mesin. "Sini saya ajari navigasi," kata Mirdan. Ia menuntun menuju ruang kemudi. Diambilnya alat serupa teropong. Teropong itu berjarak pandang 7 kilometer. Di laut lepas, kapal lain dapat dipantau dengan alat tersebut.
Mirdan sudah sepekan menepi di Jakarta. Esok ia akan kembali ke Riau mengangkut logistik. Menjelang malam, kami pamit. Juga dengan Nurdin yang telah sudi mengajak kami keliling sisi perairan pelabuhan. Sore jelang malam, Sunda Kelapa terpotret rapi dalam ingatan, juga lensa-lensa kami.