ADA yang tidak berkembang dalam dunia lawak kita selama ini. 20
Januai lalu, pada malam final Festival Lawak Nasional I
(diselenggarakan Direktorat Pengembangan Kesenian P & K, di
Taman Mini Indonesia Indah), terlihat satu hal yang mengingatkan
orang pada kemungkinan yang selama ini terlupa masuknya unsur
pantomim. Ini memang sangat jarang atau hampir tak pernah
dilaksanakan para badut Indonesia -- kecuali pelawak seperti
misalnya Gino dari Yogya.
Malam itu sebuah grup yang juga dari Yogya, tampil meraih
kejuaraan dengan menggali kelucuan yang tak habis-habis darl
gubahan yang memang asli. Mereka bikin adegan "mengetik". Satu
per satu ketiga orang itu menjepit tutup gelas dengan dua jari
kaki (dijepit pada tomioi tutup yang kecil itu),
diketuk-ketukkan ke lantai untuk suara mesin. Mesin itu sendiri
tak ada, hanya diwakili gerakan -- tapi gelas yang ditarok di
meja, pada saat-saat yang tepat dipukul dengan sendok untuk
mendapat bunyi "ting! " Pekerjaan itu, yang dilakukan dengan
berbagai variasi --misalnya sampai tubuh terputar-putar dan
mesin tiba-tiba menjadi " besar" -- dicampur pula dengan
omongan.
Mengingatkan pada pantomim Eropa, bukan? Tapi baiklah Mereka
terhitung membawa "pola baru", seperti juga dikatakan Arwah
Setiawan, seorang juri, meskipun belum begitu bersih. Belum
efisien dan terfokus, sedang ulah tubuh maupun mimik kelihatan
helum dianggap penting.
Meski begitu cukup menarik bahwa mereka, yang kemudian menjadi
juara I untuk kelompok (terdiri dari Tri Sudarsono dari IKIP
Sastra Inggeris, Eko Sutrisno dari Teknik Sipil UGM dan Teguh
Constantinus dari F.konomi IKIP Sanata Dharma), mengaku punya
pengalaman main drama. Juga mereka datang ke Jakarta siap dengan
empat naskah lawak -- yang sudah pula dicoba di depan beberapa
pelawak Yogya. Singkatnya, mereka kira-kira "pelawak
kontemporer" -- yang diidamkan oleh para penggerak lawak
sebangsa Arwah Setiawan atau kalangan DKJ atau P & K.
Sebab memang, dunia lawak selama ini seperti hanya diisi dengan
permainan putar balik kata-kata, di samping faktor sosok yang
aneh (dan lucu) dari sang badut. Tak jarang sosok tubuh itu
sediri digunakan sebagai obyek "ejekan" dalam badutan. Grup
Prambors kemudian mencoba membaharui dengan unsur cerita yang
lebih baik, yang mengandung kritik bahkan pornografi. Sedang DKJ
membuka lomba naskah lawak -- yang di dunia Barat misalnya
merupakan bahan sangat pokok bagi badutan yang segar.
Charlia Chaplin
Dengan naskah, beberapa keuntungan terlihat. Jalan cerita maupun
kalimatkalimat yang kocak namun arif misalnya, bisa diberi
ancar-ancar lebih dulu Juga satu hal negatif terhindar jatuhnya
lawakan (yang berbahasa Indonesia) ke dalam dialek dan bahkan
bahasa daerah -- dalam kadar yang keterlaluan, seperti banyak
terjadi selama ini. Itu pula barangkali sebabnya mengapa final
festival nasional ini juga menilai unsur 'penggunaan Bahasa
Indonesia yang baik'.
Terasa tidak relevan, bukan? Tapi Lukman Ali, dari Lembaga
Bahasa Nasional yang ditugasi mujurii bidang ini, menerangkan
yang dimaksud ialah balasa Indonesia yang tidak mengobrak abrik
tata bahasa, tapi dikaitkan dengan humor, dan bukan bahasa buku.
Dengan kata lain bahasa sehari-hari yang akrab dan lucu, boleh
juga memasukkan aksen daerah, tapi kelihatan bahwa yang
mmakainya tahu berbahasa Indonesia dengan bagus. Di sini
kelihatan bahwa badut seperti Joni Gudel misalnya, tak akan
masuk. Apa boleh buat.
Sebab, "selama ini ada anggapan, lawakan hanya bisa lucu kalau
memakai bahasa atau logat daerah. Maka ini merupakan eksperimen
menarik, yang akan terlihat keperluannya nanti," kata Arwah.
Tapi bagaimana dengan Joni Gudel tadi, atau pelawak sebangsanya
yang masih aktif? Ternyatalah, festival ini jadinya bertujuan
untuk mengurangi tendensi bahasa daerah yang belebihan, dan
bukan menyeragamkan jenis seluruh badut. Meskipun orang masih
bisa berkata: melihat saratnya bahasa Jawa dalam lawakan kita
(lihat misalnya di TVRI), soalnya sebenarnya ialah tambahlah
lawakan dengan bahasa daerah yang lain.
Tapi kegiatan ini diikuti 17 propinsi -- dengan 7 perseorangan
dan 15 kelompok. Tentulah tidak harus dicari juri dari daerah
masing-masin g-- agar bisa menangkap nilai humornya berdasar
"citarasa daerah."
Jadi, sadar atau tak sadar, "standar nasional" untuk tujuan
seperti itu diperlukan. Dan faktor bahasa selalu menimbulkan
problim memang, di mana-mana. Tapi di sinilah tiba-tiba kita
teringat kembali keampuhan pantomim -- yang jangkauannya tidak
hanya nasional. Bukankah Charlie Chaplin itu cukup universil?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini