Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Menikmati Kopi Gayo Langsung di Takengon

Rasanya jarak saya dan kopi hanya sejengkal, aroma bunga dan buahnya terasa begitu dekat.

3 Desember 2018 | 12.13 WIB

Image of Tempo
Perbesar
ilustrasi kopi (pixabay.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Konon, kopi adalah sahabat penulis. Bersama seduhan air panas menghamburkan kafein ke tenggorokan, darah, syaraf lalu otak. Mencairkan ide membeku dan membuat karya mengalir lancar Itulah mengapa saya, yang blogger ini mencintai kopi. Namun saya tak ingin terlarut  dalam filosofi kopi yang kadang sulit dipahami.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan ke Takengon kali ini kembali mendekatkan diri pada  emas hitam yang mampu membuat bangsa Eropa berlayar jutaan kilometer menuju tanah Gayo. Rasanya jarak saya dan kopi hanya sejengkal, aroma bunga dan buahnya terasa begitu dekat. Bagai hati dan cinta. Apakah benar-benar jiwa ini mencintai kopi, bukan sekedar romantisme sesaat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yuni, rekan asal Takengon memberikan kejutan kecil hari ini. Tanpa rencana, wanita berdarah Gayo-Jawa mengajak kami mengunjungi pabrik kopi di kampung Mongal, Bebesen.

pabrik kopi

Sesampai di Kampung Mongal lalu memasuki pabrik Oro Coffe Gayo. Menilik bangunannya lebih mirip gudang dengan tanah lapang. Biji kopi dihamparkan di lantai semen bermandikan sinar matahari. Beberapa pria terlihat sibuk meratakan lalu membalik gundukan biji berwarna hijau terang.

Biji  Kelas Tiga
Ada tiga bangunan utama. Bangunan besar di sisi kanan merupakan gudang penyimpanan. Tempat karung-karung besar berjajar.  Satu per satu kopi dalam karung dimasukkan ke ayakan mesin yang digerakkan oleh  motor. Kisi-kisinya memisahkan bulir tak sempurna. Biji kopi pecah dan kulit ari kering secara otomatis terkumpul masuk ke saluran khusus. Ini bukan limbah tak terpakai karena nantinya akan diolah menjadi kopi instan untuk pasar lokal.

“Jadi … kopi yang biasa saya minum selama ini bukan biji kopi terbaik tapi sisa sortir.” Rasanya tak percaya kopi yang biasa dinikmati sebagian besar orang Indonesia itu biji kelas tiga.  Padahal negeri kita penghasil kopi terbesar ketiga setelah Brazil dan Kolombia.

“Ya begitulah kira-kira.” Seorang operator mesin menjawab sambil tesenyum masam membuat hati ini makin kecut.

“Apakah rasa biji kopi bulat sempurna lebih enak dibandingkan remah-remah ini?”

“Silakan saja dibandingkan di dalam…” Tangan lelaki menunjuk bangunan dua lantai di luar, kantor Oro Gayo Coffe. Rasa semakin penasaran menikmati biji-biji kopi terbaik Gayo yang konon hanya dinikmati oleh pecinta kopi mancanegara. 

Gudang kopi

Pemilah Biji Kopi
Jika bangunan pertama didominasi kaum pria, bangunan kedua hampir semuanya wanita. Mereka duduk mengelilingi meja panjang.

Biji kopi yang tidak memenuhi standar kembali disortir secara manual. Jari jemari lincah bergerak memilah kopi berdasarkan bentuknya. Sedikit saja ada cacat, biji kopi langsung dipisahkan. Dan lagi-lagi hanya dijual untuk pasar lokal bukan untuk ekspor.

Wanita pemilah biji kopi. 

Gericik  biji kopi menggelinding  terdengar di antara obrolan santai para wanita dan tawa anak kecil. Meski bekerja para wanita tetap bisa mengawasi anak-anak mereka, bermain di sekitar pabrik. Anak-anak pun tak kalah sibuk , sambil bermain mereka belajar menghitung jumlah biji kopi yang berhamburan di atas meja.

Buaian sarung tergantung di teralis jendela , ujungnya terkait pegas bergerak pelan mengantar batita ke dalam mimpi . Suara gaduh tak mengganggu tidurnya. Saya mengintip ke dalamnya.

“Wah nyenyak sekali tidurnya kakak. Apakah ini aman…?”

“Tidak apa-apa … sudah biasa.” Wanita berambut panjang menjawab tangannya tetap sibuk bergulat dengan biji kopi

Pemandangan ini mengingatkan saya akan jutaan pekerjaan wanita di negeri ini. Alangkah beruntungnya wanita-wanita ini. Mereka tetap bisa bekerja menghasilkan pendapatan  keluarga sekaligus mengawasi sang buah hati. Tak banyak pekerjaan yang memberikan keleluasaan ini.

Seorang wanita berujar, pekerjaan ini salah satu cara untuk bersantai dan meredakan ketegangan. Usai mengerjakan tugas rumah tangga, mereka berkumpul  saling berbagi cerita dan informasi di pabrik. Aih dasar ibu-ibu selalu ada alasan bergosip.

Aneka Kopi
Mata Lisa – rekan asal Medan –  tak berkedip menyaksikan deretan toples besar berisi biji-biji kopi. Bukan jumlahnya yang membuatnya terkagum tapi nama-nama yang tertulis di toples. Salah satu tertulis Syauta Bland , dengan keterangan “campuran berbagai tipe kopi , menghasilkan rasa yang komplek, woody & floral”.

Ada juga kopi luwak dengan keterangan : “sweet caramel, fruity orange, fine apple like”. Seorang petugas menjelaskan kopi di dalam toples ini merupakan contoh. Untuk meyakinkan pembeli biasanya biji kopi luwak yang diperdagangkan masih dalam bentuk gumpalan kotoran luwak. Ah saya jadi kehilangan selera setelah melihat “bentuk asli” kopi luwak.

Yang membuat  saya makin terkagum    tertulis juga kopi dari seluruh nusantara  seperti Toraja, Flores dan Lampung. Duh bangganya kopi tanah kelahiran saya ada di sini *narsis mode on*.

“Jadi mau dibikinin kopi apa Mas”.

Tanpa ragu saya menunjuk kopi Longberry. Pada bagian toples tertulis “chocolate, bakers, smoky. Kopi exclusive untuk para roaster Jepang”. Beberapa genggam biji kopi dimasukan ke dalam roaster. Suara desingan motor berpendar bersama aroma kopi. Tanpa menunggu lama biji kopi pilihan menjadi minuman nikmat memikat.

Cara Terbaik Menikmati Kopi Terbaik
Ritual minum kopi pun dimulai. Kami duduk mengelilingi  meja segi empat. Kopi panas baru saja dituang, uapnya mengepul dari cangkir-cangkir kecil berwarna putih. Sebelum meminumnya dengan hikmat cecap aromanya dalam-dalam memenuhi rongga mulut dan hidung.

Tanpa meminumnya rasa kopi  menari-nari di imajinasi begitu menggoda. Pelan-pelan nikmati seruput kopi sambil memejamkan mata. Sensasi kedua ini  jelas menuntaskan imajinasi. Tanpa gula rasa pahit mengantar ke cita rasa tertinggi. Biarkan rasa dan aroma kembali mengalir…. Terakhir, tuntaskan dengan sejumput gula kelapa.

Bagaimana dengan cara ngopi kamu?

Tulisan ini sudah tayang di Dananwahyu

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus