Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kawalu bisa dibilang sebagai hari raya nyepi orang Baduy. Fokus mereka hanya pada keheningan.
Kawalu menekankan pada sistem monoteisme kuno melalui kekuasaan tertinggi Sang Hyang Kersa.
Suasana Nyepi di Baduy berbeda sekali dengan Nyepi umat Hindu di Bali.
Jelaga pekat menyelimuti rumah berdinding bambu dan beratap daun kirai kering pada siang bermendung kelabu. Bara kayu terbakar menyala-nyala dari bawah tungku, menyangga ceret yang seluruh permukaannya menghitam. Jakri, tokoh masyarakat adat Baduy Dalam, menjerang air. Bubuk kopi dalam potongan bambu yang berbaris siap diseduh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaring kusut dari kayu teureup untuk memerangkap kancil dan rusa tertambat pada langit-langit rumah berpantang paku. Mengenakan setelan baju berkelir putih kusam dan kain hitam setinggi lutut, delapan lelaki Baduy Dalam meriung di amben bambu. Mereka ronda menjaga rumah puun—pemimpin adat tertinggi Baduy—dari berbagai gangguan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga memasang palang bambu di depan rumah puun sebagai tanda larangan orang masuk atau lewat. “Puun sedang semadi dan menyepi,” kata Jakri saat ditemui Tempo di Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, Selasa, 27 Februari 2024.
Kampung Cibeo berjarak sekitar 12 kilometer dari Terminal Ciboleger, Bojong Menteng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Ini merupakan pintu masuk ke kampung Baduy. Saya tiba di Kampung Cibeo setelah menyusuri pekatnya hutan Baduy selama tujuh jam bersama Sardi, warga Baduy Luar yang memandu perjalanan.
Warga Baduy kini sedang menjalani Kawalu—ritual penyucian diri paling sakral pada masyarakat adat tersebut—sebagai perwujudan rasa syukur atas hasil panen pertanian. Kawalu bisa dibilang sebagai hari raya nyepi orang Baduy. Fokus mereka hanya pada keheningan. Di luar Kawalu, banyak orang Baduy ataupun luar Baduy menemui puun untuk meminta nasihat dan doa.
Selama tiga bulan mereka berpuasa seharian satu kali setiap bulan. Mereka pantang berperilaku buruk selama menjalani ibadah puasa. Tidak boleh makan telur, tidak menyembelih ayam, menahan diri dari bepergian ke luar teritori Baduy, dan menjalani berbagai pantangan adat. Setiap bulan dalam sepekan, mereka berburu rusa dan kancil serta menjebak bajing atau buut.
Suasana perkampungan saat hari suci Kawalu di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, 27 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Kawalu merupakan bagian dari kepercayaan Sunda Wiwitan yang menekankan pada sistem monoteisme kuno melalui kekuasaan tertinggi Sang Hyang Kersa. Kepercayaan itu menekankan pada ajaran saling menghormati antara alam dan manusia. Orang Baduy melarang manusia merusak hutan, sungai, dan gunung. Mereka mempercayai kekuatan gaib roh nenek moyang yang disebut karuhun atau leluhur. Sejak remaja, mereka belajar membaca mantra-mantra Sunda yang berhubungan dengan rezeki, pengobatan, dan penolak hujan saat hajatan.
Mereka juga memberikan penghormatan kepada Nyi Pohaci atau dewi padi. Menanam padi pun tak boleh sembarangan. Orang Baduy menggunakan mitologi sebagai simbol penghormatan terhadap alam. Contohnya, padi disimbolkan sebagai Dewi Sri atau Nyi Pohaci. Dewi Sri adalah dewi yang mengubah dirinya menjadi padi dan memiliki tempat istimewa dalam sistem kepercayaan Baduy.
Ritual Kawalu lekat dengan harapan masyarakat Baduy agar mereka aman, tenteram, makmur, selamat, dan terhindar dari berbagai bencana. Untuk menjaga kekhusyukan, sepanjang perayaan Kawalu yang tahun ini berlangsung pada 13 Februari hingga 13 Mei 2024, kawasan Baduy Dalam ditutup untuk semua kunjungan wisatawan.
Pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke perkampungan Baduy Luar atau sekitar Terminal Ciboleger. Saya beruntung bisa masuk ke Baduy Dalam karena bukan sebagai wisatawan, melainkan hendak menulis soal Baduy. Namun saya tidak bisa menginap di sana alias harus langsung balik ke Baduy Luar.
Suku Baduy terbagi menjadi dua, yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam menutup diri dari pengaruh dunia luar. Secara ketat mereka menjaga alam dan menjalani cara hidup tradisional. Mereka terlarang menggunakan kendaraan serta produk-produk modern, seperti telepon seluler, sandal, sepatu, televisi, radio, sabun, sampo, pasta gigi, dan detergen.
Ciri khas suku Baduy Dalam adalah mengenakan setelan pakaian berwarna putih dengan ikat kepala putih yang menyimbolkan kesucian dan kain yang menyerupai rok berwarna hitam. Adapun penduduk Baduy Luar memakai setelan baju berwarna hitam serta ikat kepala berwarna biru.
Sebanyak 1.500 jiwa menghuni tiga kampung Baduy Dalam, yakni Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Wilayah adat Baduy seluas 5.101 hektare, terdiri atas permukiman, ladang, perkebunan, dan pertanian.
Suku Baduy Luar lebih terbuka terhadap pengaruh modernisasi. Sebagian besar mahir mengoperasikan ponsel; menjual cendera mata secara online; menggunakan sandal; bebas naik kendaraan; serta bermain TikTok, Facebook, dan YouTube bagi kalangan muda. Mereka mendiami 65 kampung dengan total jumlah penduduk sebanyak 16 ribu jiwa.
Setelah membuat kopi, Jakri menawarkannya kepada kami. Tak lupa ia menyuguhkan durian yang baru dipetik dari pohon yang tumbuh liar di hutan.
Suasana Desa Kanekes saat hari suci Kawalu di Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, 27 Februari 2024 TEMPO/Shinta Maharani
Duduk di bebatuan beranda rumah, sepasang mata saya tertuju pada kaki, wajah, dan postur tubuh para lelaki Baduy. Kaki-kaki mereka tampak mekar, menebal hampir di semua bagian kulit telapak kaki. Urat-urat hijau terlihat menonjol, bahkan seperti hampir mencuat dari kulit kaki dan tangan. Rahang mereka besar-besar dengan gigi-gigi kemerahan karena mengunyah sirih dan pinang. Tubuh mereka kukuh dan tegap.
Bentuk kaki mereka kontras dengan telapak kaki rata-rata manusia yang memakai sandal dan sepatu. Bisa dibilang ketebalan telapak kaki mereka dua kali lipat dibanding kaki pada umumnya. Kaki yang keras dan menebal biasanya hanya pada tumit.
Ketebalan itu terjadi karena orang Baduy Dalam bepergian dengan bertelanjang kaki. Jakri dan Talib—duo Baduy Dalam yang sering berjalan kaki ke Jakarta—memenuhi undangan acara-acara diskusi soal budaya Baduy. “Sering linu setelah berjalan jauh,” kata Talib.
Kaki-kaki yang mekar itu mengingatkan saya pada lukisan-lukisan karya perupa maestro Hendra Gunawan. Dia banyak melukis manusia, khususnya perempuan dengan kaki-kaki yang mekar, penggambaran rakyat jelata.
Sembari menyesap kopi dari gelas bambu, kami berbincang seputar aktivitas orang Baduy menjalani ritual Kawalu. Kami juga menyantap durian yang berdaging tebal. Jakri bercerita, selama Kawalu, orang Baduy secara berkelompok berburu kancil, rusa, dan bajing dalam sepekan berturut-turut. Hasil buruan dibagi-bagikan secara merata kepada tetangga kanan dan kiri.
Mereka merebus daging binatang buruan itu sebagai menu utama buka puasa. Daging-daging itu disajikan bersama nasi dan sayuran. Jakri menceritakan lezatnya daging-daging itu yang membuat saya penasaran ingin mencobanya. Daging kancil dan rusa bercita rasa seperti daging sapi. Daging bajing empuk dengan tekstur mirip daging kelinci. Setelah itu mereka mengunyah sirih dan pinang atau dalam bahasa Baduy disebut ngepah. “Itu semua hidangan wajib Kawalu,” ujar Jakri.
Ibadah puasa berlangsung tanggal 17-18 setiap bulan penanggalan khusus mereka. Puasa pertama pada tanggal 17 bulan Kasa, puasa kedua pada 18 bulan Karo, dan puasa ketiga pada 17 bulan Katilu.
Semua warga Baduy Dalam dan Luar wajib menunaikan puasa, kecuali anak-anak, orang yang sakit, dan perempuan hamil. Selama beribadah puasa, mereka tidak makan dan minum seharian. Saat buka puasa, tokoh adat biasa berkumpul di balai untuk mendengarkan puun mendaraskan doa keselamatan sembari menikmati nasi, lauk, dan sayur-mayur.
Warga Baduy Luar harus mengikuti semua ketentuan ritual Kawalu Baduy Dalam. Saat hari-hari puasa, mereka berjalan menyusuri hutan, menuju kampung Baduy Dalam, dan berbuka bersama. Sehari sebelum menjalani tirakat, warga Baduy wajib menyucikan tubuhnya dengan cara mandi di sungai. Mereka menggunakan daun kicaang dan honje atau kecombrang sebagai sabun sekaligus sampo. Bentuk daun kicaang mirip daun jambu dan tidak beraroma.
Ritual penyucian diri juga dilengkapi dengan kegiatan bersih-bersih kampung sehari sebelum hari puasa tiba. Setiap keluarga bergotong-royong menyapu halaman rumah dan membersihkan kolong rumah panggung. Mereka mengangkuti sampah-sampah yang menumpuk di wadah bambu.
Tetua Adat Baduy dan Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija, menjelaskan, selama Kawalu, selain berpuasa wajib, puun menganjurkan warga menjalani puasa sunah yang sifatnya tidak wajib, yakni puasa mutih atau hanya makan nasi, puasa tujuh hari, dan puasa 40 hari. Tujuan utama Kawalu, menurut Jaro Saija, adalah berfokus pada ketenangan batin sehingga warga lebih banyak berdiam diri di rumah dan merenung. “Kawalu, hari raya nyepi kami,” kata Saija.
Tapi nyepi Baduy berbeda dengan Nyepi umat Hindu di Bali. Di Pulau Dewata itu, umat Hindu menyepi selama 24 jam sejak pukul 06.00 hingga 06.00 keesokan harinya. Mereka menjalani amati geni atau tidak boleh menyalakan api, termasuk lampu.
Selanjutnya mereka menjalani amati karya atau tidak boleh melakukan kegiatan apa pun, termasuk makan dan minum. Ritual lainnya adalah amati lelungan, yang berarti tidak boleh bepergian dan ke luar rumah. Umat Hindu juga pantang bersenang-senang, seperti menonton televisi ataupun bermain game.
Di Baduy, selama Kawalu, warga Baduy Dalam hanya dibatasi tidak boleh keluar dari kawasan Baduy. Pada malam hari saat berpuasa, mereka boleh menyalakan lampu minyak. Warga Baduy Luar juga masih boleh mengoperasikan ponsel.
Di Kampung Kadu Ketug 3, sebagian anak muda bahkan masih aktif bermain TikTok. Perempuan muda Baduy, Dewi, merupakan salah satu yang populer. Dia kerap membuat konten TikTok, menggambarkan kehidupan sehari-hari, misalnya memasak, menenun, dan berkebun.
Di perkampungan Baduy Luar ataupun Baduy Dalam, warga tak boleh memasang sambungan listrik. Bila malam tiba, mereka hanya menggunakan lampu penerangan dari lampu minyak dan lampu aki. Jika hendak mengisi baterai ponsel, mereka harus berjalan menuju pos Terminal Ciboleger, 1 kilometer dari kampung Baduy Luar.
Suasana perkampungan saat hari suci Kawaludi di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, 27 Februari 2024 TEMPO/Shinta Maharani
Sardi, pemuda warga Baduy Luar, juga aktif mengoperasikan ponsel untuk berkomunikasi dengan wisatawan. Pemuda yang tinggal di Kampung Kadu Ketug 1 ini sering memandu wisatawan berkeliling Baduy. Dia bersama istrinya, Ana, menjual berbagai buah tangan, seperti tenun, gelang, tas, gantungan kunci, dan madu. Ponsel membantunya terhubung dengan dunia luar dan menambah pemasukan selain berladang.
Tapi ketentuan adat di Baduy Dalam berbeda. Semua warga Baduy Dalam di tiga kampung pantang memiliki ponsel. Tapi, menurut Sardi dan sejumlah peneliti Baduy, ada sejumlah warga Baduy Dalam yang sembunyi-sembunyi menggunakan ponsel karena tidak tahan akan pengaruh peranti modern itu. Mereka berkomunikasi dengan orang luar Baduy dengan cara menitipkan ponselnya di perkampungan Baduy Luar. “Yang ketahuan ya dapat hukuman adat,” kata Sardi.
Maraknya penggunaan ponsel bahkan pernah membuat para tetua adat Baduy meminta Pemerintah Kabupaten Lebak memutus jaringan Internet agar masyarakat Baduy tidak terpengaruh konten yang bertentangan dengan adat. Tetua adat mengirim surat kepada Bupati Lebak agar memutus sinyal Internet pada 1 Juni 2023.
Selain soal ponsel, Baduy Dalam menerapkan aturan ketat bila mereka menjumpai warga yang menggunakan sepeda motor atau kendaraan. Tetua adat memberikan sanksi peringatan bila ada warga yang terbukti memiliki kendaraan. Bila warga ada yang ketahuan memiliki sepeda motor, yang bersangkutan harus segera menjualnya. Jika peringatan itu tidak dijalankan, tetua adat dan warga berhak membakar kendaraan tersebut sebagai sanksi keras.
Setelah rampung menjalani puasa setiap bulan, warga Baduy memanen padi-padi varietas lokal sebagai bahan membuat laksa atau tepung beras pada perayaan tradisi ngalaksa setelah panen padi huma atau ladang tadah hujan. Sebulan lagi, mereka akan berpesta karena padi berlimpah.
Upacara adat itu merupakan bagian dari ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas panenan pertanian padi huma. Perayaan tradisi ngalaksa setiap tahun dipusatkan di rumah tetua adat Baduy. Ritual itu diiringi doa-doa dengan harapan hasil pertanian selanjutnya lebih baik. Puncaknya adalah upacara adat Seren Taun atau Seba.
Dalam upacara itu, warga Baduy berjalan kaki membawa hasil bumi ke kantor bupati dan gubernur. Panenan warga meliputi gula aren, kacang, talas, pisang, dan berbagai sayur lalapan. Mereka memberikan hasil bumi kepada bupati dan gubernur sebagai bagian dari silaturahmi.
Selain itu, hasil bumi yang melimpah menunjukkan cara warga Baduy menjaga alamnya. Mereka berharap pemerintah ikut menjaga kelestarian alam Baduy lewat kebijakan yang tidak merusak gunung dan hutan sebagai sumber kehidupan utama. “Mengingatkan pemerintah supaya ikut menjaga alam,” kata Saija.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo