Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Salah satu sektor pariwisata di Yogyakarta yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan tak lain MICE atau Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition atau pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontraktor berbagai pameran yang juga Ketua Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia (Asperapi) Yogyakarta Syamsun Hasani menuturkan menggeliat tidaknya sektor MICE, diakui bergantung pada kebijakan yang diambil pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Policy dari pemerintah akan berdampak pada menggeliatnya sektor MICE itu,” ujar Hasani Selasa 7 Januari 2020. Hasani menuturkan, jika pemerintah memfasilitasi sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM) untuk ajeg menggelar pameran tentu menjadi daya ungkit pergerakan MICE itu.
Sebaliknya jika tak ada bantuan pemerintah, industri kecil menengah tentu akan berpikir ulang untuk mengeluarkan modal besar demi pameran.
Hasani mengungkap pasang surut industri pameran di Yogyakarta yang paling mencolok bisa dicermati dari pameran komputer, yang sempat jadi ikon utama di Kota Gudeg satu dekade silam.
Ratu Denmark Margareth II (tengah) memilih batik pada stand pameran batik saat kunjungan di Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta, 24 Oktober 2015. TEMPO/Pius Erlangga
Saat itu, jika Yogyakarta menggelar pameran komputer yang seringnya dipusatkan di gedung Jogja Expo Center atau JEC, pengunjung yang datang bisa mencapai puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang.
Walau event pameran komputer saat itu digelar hampir sebulan sekali, pengunjung berbagai kota bisa dipastikan ikut berjubel demi berburu perangkat yang mereka cari.
Namun, Hasani mengakui, kurun beberapa tahun terakhir yang puncaknya terjadi sekitar 2018 silam, para pelaku industri pameran di Yogyakarta terus intens mengurangi kegiatan pamerannya. Saat ini, dalam sebulan bisa menggelar tiga kali pameran saja dinilai sudah capaian yang sangat bagus.
Hasani menggambarkan jika dulu saat sekali pameran pengunjungnya bisa 10.000 orang atau transaksi bisa mencapai Rp 2 miliar, saat ini kondisinya menurun jauh.
“Kemarin saja pas ada pameran property besar di Ambarrukmo bulan Desember 2019 kabarnya teman teman waduh, dadah lah (melambaikan tangan),” ujar Hasani menggambarkan sedikitnya pengunjung yang datang.
Penyebab utama pengurangan intensitas pameran itu tak lain turunnya peminat. Misalnya untuk pameran komputer atau sesuatu yang berbau teknologi informasi, Syamsun menduga peminatnya turun karena sudah terlalu banyak event serupa digelar di berbagai titik.
Selain itu faktor tren konsumen yang pasif dengan gempuran produk baru serta turunnya daya beli juga berpengaruh, “Hanya beberapa event yang bertahan karena peminatnya masih lumayan banyak, seperti otomotif,” ujarnya.
Ajang pameran otomotif di Yogyakarta memang masih menggeliat dan tak berfokus di satu titik meski JEC tetap jadi venue pilihan utama. Sebut saja, saban tahun atau dua tahun sekali ada Kustomfest, Indonesian Scooter Festival serta Jogja Volks Wagen Festival yang selalu dihelat di JEC.
Pengunjung melihat produk yang tampilkan dalam Pameran Jogja Istimewa di Kementerian Perindustrian, Jakarta, 17 April 2018. Pameran kerajinan sangat berpeluang digelar di Yogyakarta. Bahkan Yogyakarta bisa menjadi pusat pameran kerajinan dunia. TEMPO/Tony Hartawan
Lalu ada pula Hot Rod Diningrat, Indonesian Heritage Motorcycles, serta Jogja Antique Day yang kerap berpindah pindah venue. Maraknya event otomotif di Yogya, tak bisa dilepaskan banyaknya perajin industri otomotif terutama rumah modifikasi. Keberadaan komunitas otomotif yang ada dan tersebar juga memungkinkan pergelaran pameran otomotif kerap digelar.
“Untuk tahun 2020 ini kami belum bisa melihat apakah kondisinya akan lebih baik dari 2019 lalu, “ ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO