DUA tahun lalu di Banjarmasin orang sedang getol-getolnya
mencicipi bioskop "Gerimis Bubar". Hiburan ketengan yang cukup
disebut "misbar'ini, menjadikan 43.000 penduduk Banjarbaru
penasaran juga. Para warga kota tidak hanya yang berkantong
tipis, tetapi juga yang suka variasi mengemukakan betapa
pentingnya bioskop anti hujan itu didirikan. Muncullah seorang
perwira Deplat yang berusaha menjelmakan impian yang sederhana
itu. Dipilihkan lokasinya di sebuah pojok yang sangat sepi di
dekat bekas PBBl Sungai Paring. Barangkali untuk menaikkan
harkatnya yang miskin, dan tempatnya yang meminggir, dipilihlah
sebuah kata sebagai alat menaikkan gengsi. Maka misbar itupun
bernama: Mutiara. Walikota tampaknya mengerti akan kebutuhan
sederhana ini. Tanpa banyak urusan izinpun lancar keluarnya.
Tapi malang tak dapat ditolak. Tak sampai sebulan pojok yang
sunyi itu menawarkan tontonan di bawah langit terbuka. karena
DPRD kabupaten Banjar mulai menyatakan keberatannya.
Mutiara Yang Hilang
Alasannya: dikhawatirkan kegiatan misbar akan menimbulkan
kerepotan yang tidak diinginkan, mengingat banyaknya belukar
yang masih perawan di sekitar tempat itu. Meskipun tidak ada
bukti-bukti yang dapat diajukan secara resmi, ditakutkan akan
terjadinya banyak hal-hal yang "negatif' Padahal walikota.
sebelum mengeluarkan izin bukannya tidak memperhatikan segala
kemungkinan yang gawat itu. Hanya saja ia mencoba berfikir luas:
bahwasanya soal negatif begituan -- tak jelas begituan itu apa
-- di mana-manapun bisa terjadi. Misalnya ambillah mereka yang
datang ke bioskop biasa yang bernama Dirganthara atau bioskop
lain di Martapura. Kalau-kalau mereka ingin berbuat lain
daripada nonton bioskop, 'kan bisa saja mereka berpasangan
menyimpang ke tempat lain yang mereka mau.
Tapi rupa-rupanya kelogisan saja tidak cukup. Keberatan DPRD
juga mendapat dukungan dari Danres 1302 BTB waktu itu. Dengan
alasan demi ketertiban dan keamanan, Mutiara yang baru lahir
itu dipaksa untuk mati. Lalu semak-semak yang diharapkan supaya
tetap sepi kembali itupun, memang kembali menjadi milik ular dan
binatang-binatang melata lainnya. Sementara itu Balaikota yang
tidak perlu dirahasiakan sangat minus pendapatannya, terpaksa
pula melepas sejumlah keuntungan yang pernah ditelorkan dari
Mutiara yang hilang itu.
Belakangan ini entah kenapa, penduduk teringat kembali pada
misbarnya yang hilang. Bahkan Walikota menjelaskan bahwa yang
mengambil inisiatip untuk membangun kembali kegiatan tersebut,
adalah koperasi primer kepolisian Banjarbaru. Bersamaan dengan
ini, sudah dapat pula terlihat sebuah bangunan di dekat lapangan
Murjadi. Tampaknya akan dipergunakan sebagai ruang proyektor.
Coraknya yang mengambil motif rumah adat Banjar tampak kukuh
terbuat dari kayu ulin dengan atap sirap, Tapi berkata Walikota:
"Izin HO-nya belum ada. Itu izin dari walikota yang terdahulu.
Tapi dari segi keamanan tidak ada kesulitan pengamanannya sebab
ia diselenggarakan oleh karyawan keamanan sendiri".
Sex & Sadisme
Penduduk kelihatannya tak sabar menunggu. Di samping itu cemas
juga. palagi H. Abdul Muis -- Walikota mereka tampaknya agak
berpikir juga perihal operasi misbar itu bila sudah memulai
membuka layar peraknya. Ia mengkhawatirkan kebersihan, lantaran
lokasinya kini berada di pusat kantor-kantor. Malahan di hidung
jalan yang menuju ke kantor gubernur lama. Untuk sebuah bioskop
saja, letak di tempat terhormat itu dianggap tak senonoh apalagi
untuk jenis misbar. Maka walikota gelagatnya akan mengirimkan
banyak surat ke kantor-kantor di sekitar gedung misbar itu.
Kalau tidak ada yang berkeberatan, misbar akan dipersilakan
terus.
Kegandrungan misbar Banjarbaru ini agak berbeda dengan keinginan
penduduk Lombok Barat. Masih di sekitar persoalan "gambar
hidup", di sana pun terbukti pula bahwa bioskop sudah besar
jasanya dalam menghibur wargakota. Maklumlah hiburan lain baik
berupa kesenian daerah, musik atau sandiwara amat langkanya.
Tapi yang jadi persoalan bukan bagaimana supaya film-film dapat
ditonton dengan biaya murah. Padahal film yang diputar di sana
terbilang mahal, karena termasuk film-film yang sedang rame
dipropagandakan ko- ran-koran ibukota. Rupanya yang lebih ngebet
untuk mereka, adalah penjagaan pintu bioskop yang lebih ketat,
sehingga film-film berdarah dan penuh nafsu tidak diobral pada
penonton-penonton yang belia. Pada masa ini bioskop sana
tampaknya sedang dikuasai oleh film-film Mandarin yang
menonjolkan sex dan sadisme. Celakanya pencintanya -- menurut
intipan pembantu TEMPO --sejumlah besar dari kalangan pelajar
SMP dan SD. Tak heranlah kalau kalangan pendidik khawatir dan
minta supaya batasan umur diindahkan. Mereka tampaknya tidak
menyalahkan penonton-penonton muda itu, tetapi menyesali sikap
pengusaha bioskop. Bayangkan seandainya ada misbar di Lombok
Barat, dengan batasan umur yang longgar dapat dibayangkan para
pendidik itu akan lebih ketakutan lagi. Di Banjarbaru sampai
saat ini tidak terdengar ada persoalan dalam soal batasan umur.
Entahlah kalau misbarnya sudah jalan dengan gencar apa persoalan
ini bakal muncul Juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini