Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Misbar yang hilang

Di banjarmasin ada bioskop bernama misbar (gerimis bubar). bioskop itu pernah distop atas keberatan dprd. kini, mau dihidupkan kembali oleh koperasi kepolisian. (hb)

13 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA tahun lalu di Banjarmasin orang sedang getol-getolnya mencicipi bioskop "Gerimis Bubar". Hiburan ketengan yang cukup disebut "misbar'ini, menjadikan 43.000 penduduk Banjarbaru penasaran juga. Para warga kota tidak hanya yang berkantong tipis, tetapi juga yang suka variasi mengemukakan betapa pentingnya bioskop anti hujan itu didirikan. Muncullah seorang perwira Deplat yang berusaha menjelmakan impian yang sederhana itu. Dipilihkan lokasinya di sebuah pojok yang sangat sepi di dekat bekas PBBl Sungai Paring. Barangkali untuk menaikkan harkatnya yang miskin, dan tempatnya yang meminggir, dipilihlah sebuah kata sebagai alat menaikkan gengsi. Maka misbar itupun bernama: Mutiara. Walikota tampaknya mengerti akan kebutuhan sederhana ini. Tanpa banyak urusan izinpun lancar keluarnya. Tapi malang tak dapat ditolak. Tak sampai sebulan pojok yang sunyi itu menawarkan tontonan di bawah langit terbuka. karena DPRD kabupaten Banjar mulai menyatakan keberatannya. Mutiara Yang Hilang Alasannya: dikhawatirkan kegiatan misbar akan menimbulkan kerepotan yang tidak diinginkan, mengingat banyaknya belukar yang masih perawan di sekitar tempat itu. Meskipun tidak ada bukti-bukti yang dapat diajukan secara resmi, ditakutkan akan terjadinya banyak hal-hal yang "negatif' Padahal walikota. sebelum mengeluarkan izin bukannya tidak memperhatikan segala kemungkinan yang gawat itu. Hanya saja ia mencoba berfikir luas: bahwasanya soal negatif begituan -- tak jelas begituan itu apa -- di mana-manapun bisa terjadi. Misalnya ambillah mereka yang datang ke bioskop biasa yang bernama Dirganthara atau bioskop lain di Martapura. Kalau-kalau mereka ingin berbuat lain daripada nonton bioskop, 'kan bisa saja mereka berpasangan menyimpang ke tempat lain yang mereka mau. Tapi rupa-rupanya kelogisan saja tidak cukup. Keberatan DPRD juga mendapat dukungan dari Danres 1302 BTB waktu itu. Dengan alasan demi ketertiban dan keamanan, Mutiara yang baru lahir itu dipaksa untuk mati. Lalu semak-semak yang diharapkan supaya tetap sepi kembali itupun, memang kembali menjadi milik ular dan binatang-binatang melata lainnya. Sementara itu Balaikota yang tidak perlu dirahasiakan sangat minus pendapatannya, terpaksa pula melepas sejumlah keuntungan yang pernah ditelorkan dari Mutiara yang hilang itu. Belakangan ini entah kenapa, penduduk teringat kembali pada misbarnya yang hilang. Bahkan Walikota menjelaskan bahwa yang mengambil inisiatip untuk membangun kembali kegiatan tersebut, adalah koperasi primer kepolisian Banjarbaru. Bersamaan dengan ini, sudah dapat pula terlihat sebuah bangunan di dekat lapangan Murjadi. Tampaknya akan dipergunakan sebagai ruang proyektor. Coraknya yang mengambil motif rumah adat Banjar tampak kukuh terbuat dari kayu ulin dengan atap sirap, Tapi berkata Walikota: "Izin HO-nya belum ada. Itu izin dari walikota yang terdahulu. Tapi dari segi keamanan tidak ada kesulitan pengamanannya sebab ia diselenggarakan oleh karyawan keamanan sendiri". Sex & Sadisme Penduduk kelihatannya tak sabar menunggu. Di samping itu cemas juga. palagi H. Abdul Muis -- Walikota mereka tampaknya agak berpikir juga perihal operasi misbar itu bila sudah memulai membuka layar peraknya. Ia mengkhawatirkan kebersihan, lantaran lokasinya kini berada di pusat kantor-kantor. Malahan di hidung jalan yang menuju ke kantor gubernur lama. Untuk sebuah bioskop saja, letak di tempat terhormat itu dianggap tak senonoh apalagi untuk jenis misbar. Maka walikota gelagatnya akan mengirimkan banyak surat ke kantor-kantor di sekitar gedung misbar itu. Kalau tidak ada yang berkeberatan, misbar akan dipersilakan terus. Kegandrungan misbar Banjarbaru ini agak berbeda dengan keinginan penduduk Lombok Barat. Masih di sekitar persoalan "gambar hidup", di sana pun terbukti pula bahwa bioskop sudah besar jasanya dalam menghibur wargakota. Maklumlah hiburan lain baik berupa kesenian daerah, musik atau sandiwara amat langkanya. Tapi yang jadi persoalan bukan bagaimana supaya film-film dapat ditonton dengan biaya murah. Padahal film yang diputar di sana terbilang mahal, karena termasuk film-film yang sedang rame dipropagandakan ko- ran-koran ibukota. Rupanya yang lebih ngebet untuk mereka, adalah penjagaan pintu bioskop yang lebih ketat, sehingga film-film berdarah dan penuh nafsu tidak diobral pada penonton-penonton yang belia. Pada masa ini bioskop sana tampaknya sedang dikuasai oleh film-film Mandarin yang menonjolkan sex dan sadisme. Celakanya pencintanya -- menurut intipan pembantu TEMPO --sejumlah besar dari kalangan pelajar SMP dan SD. Tak heranlah kalau kalangan pendidik khawatir dan minta supaya batasan umur diindahkan. Mereka tampaknya tidak menyalahkan penonton-penonton muda itu, tetapi menyesali sikap pengusaha bioskop. Bayangkan seandainya ada misbar di Lombok Barat, dengan batasan umur yang longgar dapat dibayangkan para pendidik itu akan lebih ketakutan lagi. Di Banjarbaru sampai saat ini tidak terdengar ada persoalan dalam soal batasan umur. Entahlah kalau misbarnya sudah jalan dengan gencar apa persoalan ini bakal muncul Juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus