Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Delapan pendaki hilang ketika seusai mengibarkan bendera merah putih HUT RI ke-76 di puncak Gunung Bawakaraeng. Mereka berangkat pada 14 Agustus 2021, dan tiga pendaki ditemukan pada 18 Agustus 2021 dalam kondisi tidak bernyawa diduga mengalai hipotermia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gunung yang terletak di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan ini menjadi tumpuan penting daerah sekitar karena sebagai sumber penyimpan air bagi beberapa kabupaten di sekitar Gowa seperti Makassar, Bantaeng, Bulukumba, dan Sinjai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gunung Bawakaraeng memiliki ketinggian 2.845 mdpl, banyak diminati para pendaki. Namun tak sedikit menelan korban, terutama saat musim hujan karena cuaca menjadi sangat dingin. Selain itu, pada 26 Maret 2004, gunung ini pernah mengalami longsor hebat.
Longsor tersebut tepatnya di Kecamatan Tinggimoncong, tepat di kaki gunung dan menewaskan 30 warga serta menimbun area sawah dan perkebunan. Akibat dari longsoran tersebut membuat daerah aliran sungai (DAS) menjadi labil. Saat musim hujan lumpur ikut terbawa arus ke sungai sumber air warga melalui Bendungan Bilibili dan masuk ke Sungai Jeneberang.
Daerah gunung rasanya tak lengkap jika tak ada mitosnya.Gunung Bawakaraeng ini diartikan Gunung Mulut Tuhan oleh masyarakat sekitar. Masyarakat setempat meyakini bahwa gunung ini merupakan tempat pertemuan para wali yang naik ke puncak pada bulan Dzulhijjah tepatnya tanggal 10. Mereka juga melakukan salat Idul Adha di sana atau Puncak Gunung Lompobattang.
Kisah mistis turut mewarnai perjalanan para pendaki, yaitu pasar setan. Konon setiap gunung memiliki pasar gaib, termasuk Gunung Bawakaraeng ini. Pasar setan disini dikenal dengan istilah Pasar Anjaya.
Pasar Anjaya terletak di antara Bawakaraeng dan Lompobattang. Lokasi ini terlihat mencolok karena pada titik yang ini tidak terdapat pohon sama sekali. Pohon-pohon besar hanya tumbuh di sekelilingnya. Juga para pendaki disarankan untuk tidak memasang tenda di sini,
Satu lagi, terdapat kisah hantu Noni di pos 3. Hantu ini dikenal sebagai hantu perempuan dengan paras cantik dan kisahnya menyebar di daerah Kampung Lembanna di kaki Gunung Bawakaraeng. Banyak versi mengenai asal mula hantu Noni ini, namun yang paling popular Noni ini adalah pendaki yang rutin mendaki gunung ini bersama kekasihnya sekitar 1970 atau 1980-an.
Naasnya, pada pendakiannya untuk kesekian kali, ia tak datang bersama kekasihnya. Dari mitos yang menyebar, Noni tersebut gantung diri karena sakit hati dengan kekasihnya. Pada saat itu tubuhnya ditemukan tergantung di pohon yang hingga saat ini masih berdiri di pos 3.
Meskipun sebagian orang percaya bahwa ini kisah nyata, sebagian lain hanya menganggap ini mitos yang bertahan hingga sekarang. Tak jarang pula pendaki yang hilang dikaitkan dengan kisah mistis.
Terlepas dari mitos klenik hilangnya pendaki di Gunung Bawakaraeng, bentang alam gunung dan kondisi alam yang ekstrem turut andil. Kondisi cuaca juga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan mental para pendaki seperti yang disebutkan saat ketiga pendaki hilang suhu di sana ekstrem dan sedang ditutup.
TATA FERLIANA