Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Musik Akustik Mampir ke Kafe

Bandung dan Jakarta selama dua pekan dimeriahkan oleh parade musik akustik. Alternatif baru hiburan kafe atau pertanda kejenuhan terhadap musik elektrik?

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESTA musik itu berlangsung dua pekan lebih. Namun, tak ada ingar-bingar bunyi instrumen elektrik yang lazim mewarnai panggung pertunjukan. Yang tampil sebagai "tuan pesta" adalah sejumlah musisi ternama, sedangkan penonton diperlakukan sebagai undangan terhormat. "Hidangan"-nya adalah permainan musisi dari berbagai aliran—jazz, rock, pop, dan etnik. Para musisi itu bermain di sejumlah kafe di Jakarta dan Bandung. Masing-masing hadir dengan warna musik yang selama ini menjadi ciri khasnya. Adapun elemen yang menyatukan semua pertunjukan itu adalah ini: permainan musik akustik.

Bentoel Mildcoustic Festival, itulah judul parade musik akustik tersebut. Parade itu berlangsung dari 19 November hingga 7 Desember 1999. Acaranya diisi oleh sejumlah musisi tersohor dalam belantika permusikan nasional dan internasional. Ada Shakila, penyanyi jazz berkulit gelap dan menawan yang menghibur para pengunjung New York Café, Jakarta, dua pekan silam. Ada juga Tohpati & Friends, Nugie & Alv Band, Donnie Soehendra & Big City Band, serta penyanyi Rida-Sita-Dewi. Acara puncak di kafe-kafe Taman Ria Senayan, Sabtu lalu, juga telah menampilkan Harry Roesli & DKSB serta para musisi yang telah "beredar" dari kafe ke kafe selama dua pekan terakhir.

Pergelaran ini tampaknya memadukan banyak hal, dari warna musik hingga generasi musisi. Nugie & Alv Band, misalnya, adalah kelompok musisi muda yang memainkan musik pop rock dengan tema-tema lingkungan. Sementara itu, Harry Roesli menggelar nomor-nomor nostalgia. Dalam acara puncak, Harry & DKSB tampil dengan sentuhan musik gamelan berikut rebab. Lagu yang mereka bawakan, antara lain Sekar Jepun dan Jangga Wareng, sarat kritik sosial. Lagu-lagu ciptaan Harry pada era 1970-an itu disambut penonton dengan hangat.

Di Bandung, panggung-panggung kafe seakan tenggelam dalam permainan musik akustik. Ada Jadug Ferianto & Qua Ethnica, Gilang Ramadhan, Kiboud Maulana, Bill Saragih, serta Gigi, yang sebagian sudah manggung di sana sejak akhir November lalu. Acara puncak yang akan digelar pada Selasa, 7 Desember, berlangsung selama delapan jam. Sejumlah musisi—terutama beraliran jazz—akan mendominasi penutupan festival ini di Sasana Budaya Ganesha, di kawasan Taman Sari, Bandung.

Warna-warna jazz ini pula yang terdengar sepanjang Kamis malam pekan lalu, tatkala Indra Lesmana & Friends memainkan sejumlah nomor yang menyihir pendengarnya. Sekitar 100 penonton yang memenuhi Arden Pub di kawasan Sukaasih-Sukajadi—setengah dari kapasitas pengunjung—menikmati petikan gitar serta permainan piano dan drum akustik yang dibawakan Indra dan kawan-kawan. Suasana malam Bandung yang dingin menjadi riuh oleh tepuk tangan penonton.

Apa sebetulnya yang akan disampaikan para musisi dalam festival ini? Menurut Harry Roesli, musik akustik adalah musik rakyat yang sifatnya alami—dan ciri alami itulah yang justru menjadi kekuatan utamanya. Inilah yang membuat Nugie merasa tertantang. "Dalam musik akustik, kita harus benar-benar membuat aransemen yang pas agar lagu tidak kehilangan jiwa. Soal lain adalah kepraktisan. Selama senar gitar tidak putus, selama itu kita bisa memainkannya," ujar Nugie, yang mengaku amat mencintai musik akustik.

Pada umumnya, orang mudah jatuh hati pada musik akustik. Cikal-bakal musik ini berasal dari rakyat dan gampang dimainkan, tanpa banyak "embel-embel". Doc Watson, 76 tahun, legenda musik akustik asal Amerika, memainkan musik mulut serta banjo pada tahun-tahun awal karirnya sebagai musisi. Pemusik buta kelahiran Deep Gap, Carolina Utara, ini memainkan musik-musik rakyat hampir sepanjang hidupnya. Gitar akustik menjadi instrumen favorit peraih empat Grammy Award (1973 dan 1974) ini. Doc Watson adalah ikon musik akustik. Hampir seumur hidupnya ia memainkan musik akustik dengan alasan serupa: menaruh cinta pada instrumen musik akustik, yang dikenalnya sejak sebelum ia berusia sembilan tahun.

Musik akustik di Indonesia sempat marak, antara lain, dipicu oleh tayangan MTV Unplugged, sejak dua tahun lalu. Ia bukan trend baru, juga bukan menandakan kejenuhan terhadap musik elektrik. Penata musik Purwacaraka menyebutkan, ini hanya semacam alternatif lazim dalam dunia show biz, untuk keluar dari alur monoton musik hiburan. Dan bagi penikmat musik Jakarta dan Bandung, alternatif itu adalah denting musik akustik dari kafe ke kafe, setidaknya selama dua pekan terakhir menjelang penutup abad ke-20.

Hermien Y. Kleden, Rinny Srihartini (Bandung), Ardi Bramantyo, I G.G. Maha Adi, Ali Nur Yasin (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus