SETELAH hampir setahun dikabarkan lenyap ke luar negeri, Lesmana Basuki, Rabu pekan lalu, duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bersama anaknya, Johni Basuki, dia dipersalahkan karena melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dari bank milik mereka, PT Sejahtera Bank Umum (SBU), kepada PT Samurindo Swadaya Sejahtera (SSS), yang juga milik mereka.
Pembobolan yang dilakukan kedua orang ini sangat dimungkinkan karena mereka berbagi jabatan di kedua perusahaan tersebut. Di PT SBU, Lesmana duduk sebagai presiden direktur, sedangkan anaknya menjabat wakil presiden komisaris. Sementara itu, di PT SSS, Johni duduk sebagi direktur utama dan bapaknya duduk sebagai komisaris.
Nah, pada pertengahan Mei 1996, aksi mulai dijalankan. Johni sebagai Direktur Utama PT SSS meminta agar Lesmana, si Presiden Direktur PT SBU, menerbitkan garansi bank senilai Rp 1,25 miliar. Garansi bank itu dipakai Johni untuk menjamin transaksi jual-beli tanah seharga Rp 15 miliar. Lima bulan kemudian, ganti Lesmana sebagai Presiden Direktur PT SBU dengan persetujuan Johni sebagai wakil presiden komisarisnya menerbitkan dua corporate guarantee senilai US$ 40,59 juta. Kedua corporate guarantee ini diberikan kepada PT Bank Bumi Daya (BBD) Cabang Imam Bonjol dan diterbitkan untuk menjamin fasilitas kredit yang diberikan PT BBD kepada PT SSS.
Ternyata garansi bank itu sejak 26 Desember 1996 tak lagi dicatat dan dilaporkan ke Bank Indonesia (BI). Corporate guarantee juga tak pernah dicatat dalam pembukuan serta tidak dilaporkan ke BI. Bahkan, untuk yang terakhir ini, pembuatannya hanya diketahui antara bapak dan anak, tanpa diberitahukan kepada staf administrasi PT SBU.
Keluarnya garansi bank dan corporate guarantee inilah yang dianggap menyalahi BMPK. Sebab, modal PT SBU per Desember 1996 sekitar Rp 107 miliar. Jika mengacu pada BMPK, mereka hanya berhak mengucurkan dana ke perusahaan dalam grupnya sebesar 10 persen atau Rp 10,7 miliar. Sedangkan jumlah corporate guarantee dan garansi bank ini—dalam kurs Rp 2.000 per dolar AS—mencapai Rp 82,4 miliar.
Namun, Johni masih juga berkelit. Dia ngotot bahwa garansi bank yang dikeluarkan selalu dilaporkan ke BI. Sedangkan soal corporate guarantee, dia menolak pernah mengeluarkannya. Kedua tuduhan itu, menurut dia, terlalu dicari-cari, setelah likuidasi PT SBU, sehingga, "Tidak peduli salah apa, yang penting salah," katanya kesal. Soal jumlah yang menyalahi BMPK? "Itu angka dari mana?" Johni malah balik bertanya.
Diseretnya Johni dan Lesmana ke meja hijau barulah sebagian kecil dari daftar pelanggar BMPK yang pernah dipanggil kepolisian hingga pertengahan tahun lalu. Setidaknya saat itu Kepala Dinas Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian RI mencatat 41 nama bankir yang diperiksa.
Menurut sumber TEMPO di Kejaksaan Tinggi Jakarta, tidak lama lagi kasus pelanggaran BMPK yang melibatkan Endang Utari Mokodompit segera dilimpahkan ke pengadilan. Putri Ibnu Soetowo ini bersama Andrian Herling Woworuntu didakwa melakukan korupsi senilai Rp 36 miliar atas penerbitan commercial paper "aspal" dari Bank Pasifik kepada Jamsostek. Selain itu, mereka dianggap melanggar BMPK dari bank miliknya sebesar Rp 60 miliar untuk Pacific International Finance. "Kasus ini tinggal menunggu pemeriksaan dua orang saksi terakhir sebelum dilimpahkan ke pengadilan," kata sumber tadi.
Sementara itu, kasus BMPK yang melibatkan Syamsul Nursalim dari Bank Dagang Negara Indonesia, Samadikun Hartono pemilik Bank Modern, serta Bob Hasan dan Kaharudin Ongko dengan Bank Umum Nasionalnya, hingga kini, masih tertahan di kepolisian. Telatnya penyelesaian ketiga kasus ini karena Mabes Polri tak segera menyerahkan berkas perkara ketiga bank tersebut ke kejaksaan.
Bahkan, surat kejaksaan kepada Mabes Polri yang meminta pelimpahan berkas, pada 26 Juli 1999, dijawab bahwa penyidikan terhadap ketiga bank tersebut ditunda karena adanya surat dari Gubernur BI. Surat Syahril Sabirin yang hanya berupa secarik kertas itu menyebut hasil rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara pada 27 Agustus 1998 dan dilanjutkan pada 22 September 1998.
Isinya, Syahril meminta agar pemeriksaan terhadap ketiga bank tersebut menunggu keputusan Tim Penyidikan Gabungan yang terdiri atas Kejaksaan Agung, kepolisian, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Nah, surat inilah yang membuat ketiga kasus pelanggaran BMPK ini masih terkatung-katung di Mabes Polri, kata sumber tadi. Intervensi Gubernur BI ini tentu saja mengundang tanda tanya.
Agung Rulianto, Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini