Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akhirnya, Latief Tersangka

Mantan Menaker Abdul Latief diperiksa Kejaksaan Tinggi dalam kasus "aman" perihal dana Jamsostek. Kasus besar lainnya tak disentuh. Jaksa cuma buang-buang waktu?

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABDUL Latief tampak santai saat keluar dari ruang pemeriksaan di Kejaksaan Tinggi, Rabu pekan lalu. "Negara tidak dirugikan," katanya pasti kepada pers yang menunggunya lebih dari delapan jam. Mantan Menteri Tenaga Kerja yang dikenai status tersangka ini bahkan menyebut kasus penyelewengan dana Jamsostek yang dituduhkan telah dipolitisasi. "Jadinya panjang begini," kata Latief sambil menuju mobil Range Rover hijau toska yang membawanya pulang. Wajar jika bos Pasaraya ini merasa lega. Sebab, dari berbagai dugaan penyelewengan dana Jamsostek, tim jaksa hanya berkutat pada masalah uang sebesar Rp 2,3 miliar untuk penyusunan RUUK (Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan). Padahal, penggunaan dana itu sendiri oleh BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan) disebut "bisa dipertanggungjawabkan". Dana yang diambil Latief dari kantong Jamsostek itu dipakainya menjamu anggota DPR saat menyusun RUUK, pada pertengahan 1997. Masalah ini muncul ke permukaan dalam sebuah rapat dengar pendapat Komisi V DPR dengan Jamsostek, pada 18 November 1997. Saat itu beredar fotokopi surat bertanggal 21 Juli 1997 yang diteken Yudo Swasono, pejabat Sekjen Depnaker. Surat atas nama Menteri Tenaga Kerja itu ditujukan ke Direktur Utama Jamsostek. Intinya, untuk keperluan penyusunan RUUK, Jamsostek dimintai tambahan dana Rp 2 miliar lagi. Padahal, sebelumnya Jamsostek telah mengucurkan Rp 5,1 miliar untuk keperluan yang sama. Surat lainnya, 25 Juli, berisi persetujuan pihak komisaris atas tambahan dana itu. Jadi, total semuanya Rp 7,1 miliar. Dari fotokopi, masalah merebak dan menjadi sorotan masyarakat. BPKP pun turun dan mengaudit pemakaian dana yang cukup besar untuk sebuah rencana undang-undang saja. Menurut laporan BPKP, dana yang bisa dipertanggungjawabkan oleh Departemen Tenaga Kerja hanya Rp 2,3 miliar. Sisanya? Latief mengaku menggantinya dari kocek sendiri. Kasus ini kembali sepi setelah Soeharto, yang saat itu masih menjadi presiden, berjanji akan menyelesaikannya. Belum lagi dibawa ke persidangan, pembelaan sudah datang dari Ackmal Husin. Presiden Direktur PT Jamsostek ini menyebut pembiayaan RUUK bukanlah dari uang peserta Jamsostek, melainkan dari dana milik pemerintah yang dititipkan ke PT Jamsostek. Dana itu menurut Ackmal berasal dari penyisihan bagian laba PT Jamsostek setiap tahun yang dihimpun dalam program DPKP (dana peningkatan kesejahteraan peserta). Status anggaran DPKP ini, kata Ackmal, adalah nonaset. Berarti, pembukuannya dilaksanakan secara terpisah dari pembukuan Jamsostek. Namun, penggunaannya harus dipertanggungjawabkan kepada tim auditor BPKP. Dana inilah yang dipakai untuk pe-nyusunan RUUK tadi. "Artinya, penggunaan dana untuk RUUK sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah," Ackmal dengan mudah menyimpulkan. Anehnya, penggunaan dana yang sudah disetujui BPKP itu malah diungkit-ungkit dalam pemeriksaan kejaksaan, Rabu lalu. Kepala Humas Kejaksaan Tinggi pun membuat pembelaan. "Kita melihat prosedurnya. Kan anggota BPKP sudah berganti orangnya," kata Darwis Lubai. Kalau akhirnya mentah? "Kita lihat perkembangannya," Darwis berkilah. Menurut Darwis, Kejaksaan Tinggi memfokuskan pada dana DPKP itu karena banyak mendapat sorotan masyarakat. Padahal, dari data yang dimiliki ICW (Indonesian Corruption Watch), setidaknya ada 18 kasus yang bisa menyeret Latief ke meja hijau. Tak urung, Teten Masduki menyayangkan tindakan kejaksaan. "Padahal, ada penyelewengan dana Jamsostek lainnya," kata Koordinator ICW ini. Setidaknya, lanjut Teten, penyelewengan itu bisa dipilah menjadi tiga macam. Pertama, investasi yang merugi, di antaranya untuk Gedung Menara Proteksi dan penempatan dana dalam bentuk commercial paper yang tidak menguntungkan. Kedua, penggunaan dana Jamsostek untuk kepentingan pribadi Latief, misalnya dengan mendanai pertemuan tokoh-tokoh Minang di rumahnya, mark-up pembangunan Menara Jamsostek, serta mencarter pesawat untuk kepentingan pribadi. Sedangkan yang ketiga berupa bantuan untuk Fraksi Karya Pembangunan yang dibagi-bagi untuk biaya mudik lebaran. Nah, jika kejaksaan berkeras untuk hanya masalah RUUK, bukan tidak mungkin pemeriksaan itu akan berakhir dengan sia-sia. "Kita sudah bisa meramalkan jauh-jauh hari bahwa Pak Latief akan bebas," kata Hotma Sitompul, yakin. Dan keyakinan itu pun terpancar dari wajah Latief saat keluar dari Gedung Kejaksaan Tinggi. Agung Rulianto, Hendriko L. Wiremmer, Adi Prasetya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus