Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Negeri Dongeng Hallstatt

Memasuki Hallstatt yang dikelilingi pegunungan Dachstein, Austria, seakan-akan memasuki dunia Alice in Wonderland. Rumah-rumah warna-warni dan danau luas bak karpet hitam terbentang.

29 Juni 2019 | 00.00 WIB

Danau Hallstatt di Austria. Foto: Dok. Sabra Sathilla
Perbesar
Danau Hallstatt di Austria. Foto: Dok. Sabra Sathilla

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sabra Shatilla
Penikmat Perjalanan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Hari masih gelap. Rasanya sungguh nyaman bergelung dalam lelap. Tapi saya harus segera bergegas keluar hostel di Salzburg, Austria, pukul 06.00 pagi itu. Di hawa dingin musim gugur, saya segera naik bus nomor 150 menuju kota kecil bernama Bad Ischl. Tapi bukan kota itu yang menjadi tujuan akhir perjalanan saya. Saya masih harus berganti naik kereta sekali lagi menuju Stasiun Hallstatt. Ya, inilah desa di pinggir danau yang keelokannya bak negeri dongeng di Austria.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Berselang 2,5 jam kemudian, dengan mengeluarkan ongkos 13 euro untuk naik bus dan 6 euro untuk tiket kereta one way, sampailah saya di destinasi pelesiran di Eropa Tengah yang tengah melambung itu. Ratusan turis memadati Hallsatt setiap hari, terutama para turis Asia asal Korea Selatan dan Tiongkok. Sekitar 800 ribu wisatawan mengunjungi Hallstatt setiap tahun.

Mereka terpesona alam Hallsatt yang memukau bak lukisan karya seniman ternama. Keelokan desa di tepi danau yang dikelilingi pegunungan Dachstein menjadi magnet para turis. Arsitektur rumah klasik Austria di Hallstatt pun menambah unsur picturesque dan Instagrammable yang kini semakin dicari para pelancong. Sebagai bukti kondangnya Desa Hallstatt, sebuah pengembang perumahan di Tiongkok bahkan nekat membuat replika Hallstatt di Boluo County, Luoyang. Manuver itu konon memicu amarah warga Hallstatt yang merasa tak dimintai izin saat pengembang Cina itu memutuskan menjiplak habis-habisan desa kebanggaan mereka tersebut.

Demi menghindari gelombang turis yang kebanyakan datang pada siang hari, saya rela bangun pagi demi bisa menikmati Hallstatt seorang diri. Menjelang pukul 09.00, kereta api tiba di Stasiun Hallstatt yang mungil. Tapi perjalanan belum usai. Masih ada satu jenis transportasi lagi sebelum tiba di Desa Hallstatt, yakni kapal feri dengan tiket seharga 2,5 euro. Feri ini membelah danau berair hitam pekat menuju desa mungil elok di Austria itu.

Para wisatawan kemudian bergegas menyebar di berbagai penjuru desa. Saya melangkah ke market square atau alun-alun desa. Di sepanjang jalan itu, rasanya seperti memasuki dunia Alice in Wonderland. Rumah-rumah imut berwarna pastel, bak kue jahe yang sering dibuat sebagai dekorasi Natal, mengelilingi. Rasanya sulit untuk percaya bahwa tempat itu merupakan desa nyata yang dihuni penduduk sejak ribuan tahun silam. Bagaimana mungkin orang tinggal di rumah yang mirip dengan rumah negeri dongeng di buku cerita?

Rumah klasik Austria di Hallstatt memang unik. Setiap rumah dicat dengan warna yang berbeda dengan rumah tetangga: hijau pastel, oranye muda, kuning, pink, atau cokelat pastel. Tak cuma berwarna-warni, setiap balkon dan jendela rumah juga dihias secara artistik dengan tanaman hias, bunga, dan ornamen kayu.

Sementara itu, di bagian tengah alun-alun terdapat patung holy trinity. Alun-alun ini merupakan pusat aktivitas warga Hallstatt. Saat musim semi tiba, di alun-alun ini digelar prosesi tradisional Corpus Christi. Konser musik digelar setiap musim panas dan Christmas market dibuka saat musim dingin.

Market square atau alun-alun pasar merupakan pusat desa Hallstatt. Alun-alun ini merupakan salah satu tempat paling Instagrammable di Hallstatt. Di sekelilingnya dipenuhi rumah penduduk yang telah diubah menjadi hotel, kafe, restoran, toko suvenir, dan minimarket untuk mengakomodasi kebutuhan wisatawan.

Desa Hallstatt terletak di antara ujung Danau Hallstatt dan pegunungan Dachstein yang menjulang. Inilah desa tertua sekaligus tempat paling mempesona di Austria. Desa Hallstatt sebenarnya memiliki sejarah panjang yang berusia lebih dari 7.000 tahun. Pada 800-450 Sebelum Masehi, Hallstatt merupakan desa makmur penghasil garam. Pada masa itu, garam merupakan komoditas dagang yang bernilai tinggi karena banyak dibutuhkan untuk mengawetkan makanan dan barang-barang lain. Berkat aktivitas penambangan garam, ekonomi Hallstatt melesat. Desa kecil itu kemudian menjelma menjadi desa dagang yang maju.

Pada 1595, garam Hallstatt mulai dikirim ke kota-kota lain, seperti Bad Ischl dan Ebensee, menggunakan pipa air asin. Kini, desa dengan penduduk kurang dari 1.000 orang itu tak lagi menghasilkan garam, tapi maju berkat turisme. Bekas tambang garam beserta desa dan alam di sekitarnya pun diakui UNESCO sebagai Warisan Kebudayaan Dunia sejak 1997.

Dari market square, saya menuju pinggir danau. Ternyata pemandangan danau lebih menakjubkan. Rumah-rumah kayu bertingkat tampak cute dan menggemaskan dengan warna pastel, hiasan bunga, dan ornamen kayu. Di sebelah kiri berjajar toko suvenir, gelato, dan restoran bertema kebun yang menawarkan sensasi menyantap kuliner khas Hallstatt sambil menikmati view Danau Hallstatt.

Danau Hallstatt berbeda dengan danau lainnya. Saya pernah ke Danau Como di Italia yang kondang sebagai tempat pelesiran para selebritas Hollywood. Juga ke Danau Bled di Slovenia yang tak cuma cantik dan berair bening, tapi juga dihiasi gereja kecil di sebuah pulau di tengah danau. Kedua danau itu berair biru jernih. Permukaan Danau Hallstatt, sejauh mata memandang, tampak kelam. Jajaran pegunungan Dachstein yang juga berwarna gelap menjulang mengitari danau.

Suasana pagi itu sangat tenang, jauh dari hiruk-pikuk wisatawan. Di depan ada beberapa angsa putih yang tengah sibuk berenang. Selama beberapa saat, saya menghabiskan waktu memandangi angsa-angsa bermain. Rasanya tak mau berpaling dari mereka.

Melamun di pinggir danau saja sudah asyik, apalagi menikmatinya dari atas perahu. Perjalanan di atas danau jelas merupakan salah satu cara terbaik untuk menikmati keindahan Danau Hallstatt. Wisatawan bisa menyewa perahu dengan harga 10 euro per orang. Biasanya perusahaan penyewaan perahu akan membawa wisatawan melewati dua rute. Rute pertama berawal dari pelabuhan utama Hallstatt menuju Obertraun yang berada di sisi lain danau, melewati kastil romantis Grub, lalu kembali ke pusat Hallstatt.

Rute kedua berjalan di sepanjang pantai timur ke Untersee dan Steeg (Bad Goisern) di ujung utara Danau Hallstatt. Saat musim panas, banyak wisatawan yang bersantai di pantai, sunbathing, dan berenang di danau. Tak sedikit pula wisatawan yang diving di danau.

Desa Hallstatt berada di lereng pegunungan Dachstein di Distrik Gmunden, kawasan Salzkammergut, Negara Bagian Upper Austria, Austria. Untuk menjelajah desa, saya kerap naik-turun tangga yang berkelok-kelok mengikuti kontur gunung. Saat tengah menyusuri gang-gang di balik bukit, saya menemukan sebuah gereja yang indah. Gereja batu dengan menara beratap kerucut bak topi pemain sirkus itu menjulang menghadap Danau Hallstatt: Gereja Parish of The Assumption, gereja Katolik Roma yang menjadi ikon Hallstatt.

Gereja kecil bergaya Gothic ini termasuk yang wajib dikunjungi selama di Hallstatt. Gereja ini memajang karya seni bernilai tinggi. Karena banyaknya benda berharga yang disimpan di sini, pernah empat lukisan Gothic di dalam gereja dicuri oleh pasangan asal Italia pada 1987. Namun kini keempat lukisan itu telah ditemukan dan dipajang kembali di dalam gereja sejak musim semi 2018.

Tak cuma memiliki interior indah yang mengundang rasa penasaran, bagian luar gereja Parish of The Assumption bahkan bisa disebut sebagai salah satu spot terbaik untuk mengagumi keindahan Danau Hallstatt. Melangkah keluar ke sisi lain gereja, saya menemukan pemakaman yang sangat unik. Berbeda dari pemakaman pada umumnya yang tampak suram dan kelabu, pemakaman di Hallstatt terkesan artistik dan indah karena dihiasi bunga segar berwarna cerah. Nisannya pun beratap kayu bak rumah bagi orang mati. Papan nisannya diukir dengan huruf-huruf indah.

Sementara pemakaman di tempat lain selalu sukses membuat bulu kuduk merinding, pemakaman di Hallstatt justru sukses membuat saya terpesona. Saya tak merasa sedang berada di rumah orang mati, malah seakan-akan sedang melewati kebun bunga yang indah dengan view spektakuler Danau Hallstatt. Pemakaman ini seakan mengirim pesan kepada setiap pengunjung bahwa tempat ini bukanlah tempat untuk bersedih. Mereka yang berkunjung justru mesti ceria karena para almarhum telah menyeberang ke padang bunga surgawi berlatar Danau Hallstatt.

Masih di kompleks Gereja Parish of The Assumption, ada sebuah tempat yang ingin dikunjungi karena sering muncul dalam banyak literatur seputar Hallstatt. Charnel House, yang terletak di dalam sebuah kapel di Gereja Parish of the Assumption, adalah rumah bagi 1.200 tengkorak warga Hallstatt. Kabarnya, karena Desa Hallstatt tak memiliki lahan yang cukup luas untuk menguburkan semua orang, sejak 1720 dimulailah tradisi memindahkan tulang dari kuburan, lalu disimpan ke dalam Charnel House sebagai kuburan kedua. Dari 1.200 tengkorak, 610 di antaranya dilukis dengan hiasan bunga, disusun berdasarkan nama keluarga serta ditulisi tanggal kematiannya.

Kuburan Hallstatt, yang berada di luar gereja, memang berukuran kecil. Setiap jenazah hanya bisa dikubur selama 10-20 tahun. Setelah itu, tengkorak dan tulang yang dianggap memakan banyak tempat dibersihkan dan dikelantang di bawah cahaya matahari selama beberapa minggu hingga berwarna gading. Lalu penjaga kuburan akan mengecat tengkorak dengan hiasan bunga, nama keluarga, serta tanggal kematiannya. Seperti halnya dengan pemakaman di sebelah gereja, saya terpana melihat susunan tengkorak itu. Terlihat menyeramkan, tapi juga mempesona. Kabarnya tengkorak yang terakhir diletakkan di Charnel House adalah milik seorang perempuan yang meninggal pada 1983.

Tentu di masa kini sudah jarang orang yang menginginkan tengkoraknya disimpan di Charnel House karena banyak yang memilih untuk dikremasi. Tradisi memindahkan jenazah serta menghias tengkorak barangkali hanya ada di Hallstatt. Dengan membayar tiket masuk sebesar 1,5 euro, saya bisa melihat tengkorak terakhir itu lengkap dengan gigi emasnya serta tengkorak cantik lainnya.

Dari gereja, saya berjalan ke puncak gunung, melewati jalan setapak di tengah rimbunnya hutan pinus. Semakin jauh dari desa, suasana makin sunyi. Di satu titik, saya menemukan air terjun, lalu mengitari hutan, sampai di stasiun funicular. Dengan naik funicular, para wisatawan bisa mengunjungi tambang garam yang dulu menjadi sumber kemakmuran Hallstatt. Harga tiket naik funicular sekaligus mengunjungi tambang garam dipatok 30 euro. Tapi saya memilih ke skywalk, sebuah jembatan berbentuk kerucut yang memungkinkan kita melihat pemandangan Danau Hallstatt dari ketinggian 350 meter di atas permukaan laut.

Bagi yang suka hiking, skywalk juga bisa dicapai dengan hiking (tanpa naik funicular) selama 40-60 menit.

Tak terasa matahari telah bergulir hingga tepat di atas kepala. Saya turun kembali ke desa buat mengisi perut. Seporsi hidangan trout, sajian ikan khas Hallstatt di sebuah restoran di tepi danau, dan seteguk gluhwein (anggur panas) pun menghangatkan siang itu. Dari sudut mata, saya melihat angsa-angsa berenang meminta perhatian. Satu pandangan terakhir ke mereka dan ke arah Danau Hallstatt yang mempesona membuat saya berjanji: lain kali saya tak hanya sekadar day trip, tapi juga melewatkan beberapa malam di desa tenang di pedalaman Austria ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus