Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Traveler kawakan Trinity memiliki kenangan mengesankan saat merayakan hari ulang tahun Republik Indonesia 17 Agustus di daerah terpencil, Nanga Bulik, Kalimantan Tengah. Ia menyaksikan nasionalisme yang begitu kental ketika peringatan Hari Kemerdekaan berlangsung di daerah yang sulit dijangkau tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya ke Nanga Buli pada era 1990-an lalu, sewaktu kuliah kerja nyata dari kampus,” ujarnya tatkala dihubungi Tempo pada 17 Agustus 2018. Itulah kali terakhir ia mengikuti seremoni pengibaran bendera. Namun, momen tersebut yang membuatnya justru terkesan dengan perayaan hari kemerdekaan di daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Trinity mengenang, masyarakat lokal saat itu masih cukup terisolasi. Untuk menuju ke sana, dari Kota Pangakalan Bun, ia kudu melewati jalur tak lazim. Medium penjangkau satu-satunya ialah menggunakan speed boat dengan waktu tempuh berkisar 6 jam. Lantas dilanjutkan dengan menunggang truk selama 2 jam.
Kala itu, Nanga Buli belum tersentuh modernisasi, listrik, televisi, dan hiburan elektronik lainnya. Namun perayaan 17 Agustus begitu meriah layaknya di kota-kota besar. Mereka menggelar upacara sakral bak di Istana Negara. Semua warga berkumpul dengan perasaan membuncah. “Yang tidak ikut akan ketahuan,” katanya.
Pasukan pengibar bendera hampir berformasi sama dengan tim paskibraka terlatih. Hanya atributnya saja yang berbeda. Mereka tak menggunakan sarung tangan lenkap dan slayer merah di leher. Pasukan pengibar hanya mengenakan seragam seadanya. Meski demikian, tak mengurangi kekhusyukan berupacara.
Selepas seremoni pengibaran bendera, seluruh warga berkumpul untuk pesta. Menggelar beragam perlombaan adalah wujud dari pesta kemerdekaan itu. “Ada lomba voly, panjat pinang, dan semuanya harus ikut. Khas daerah banget,” tutur penulis buku serial The Naked Traveler itu.
Suasana kemerdekaan di sisi lain Indonesia membikin Trinity melankolis. “Akhirnya mewek juga,” katanya. Selain pernah merasakan suasana 17 Agustus di pedalaman, Trinity telah menjajal suasana yang sama di Mexico. Tempat yang ia kunjungi ini hampir nihil orang Indonesia. Maka itu ia, yang sedang melancong dengan seorang temannya, merasa menjadi orang Nusantara satu-satunya.
Untuk merayakan HUT Kemerdekaan RI, pada 2013 lalu itu, Trinity pun memakai kaus bertuliskan Indonesia dan memboyong bendera selama jalan-jalan. Orang-orang lokal sempat bertanya mengapa ia menenteng-nenteng bendera. “Lalu saya jawab, saya sedang merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia,” tuturnya, mengenang.