Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Persembahan Si Kijang Vanessa

Vanessa Mae menyulap musik klasik menjadi hiburan yang ringan. Dialah violis termuda yang pernah ikut konser violis solo dunia.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kijang itu meluncur di atas panggung. Dia meliuk, dengan gaun backless emas, celana hitam ketat, dan sebuah biola di tangan. Lincah dan sensual. Di bokongnya tercantol sebuah tas pinggang hitam berisi mikrofon tanpa kabel. Di atas panggung seluas 10 x 20 meter, di Ballroom Hotel Grand Melia, Jakarta, pekan lalu, gadis itu menggesek-gesek dawai biolanya dalam berbagai irama. Vanessa Mae Vanakom Nicholson, 23 tahun, menyulap musik klasik bak sebuah hiburan santai. Gadis berdarah campuran Cina dan Thailand ini lahir di Singapura dan tumbuh di tanah Inggris. Ia dan biolanya memang datang untuk menghibur dan membawa contoh musik klasik yang renyah. Enak didengar dan dilihat. Namun, sebagian pencinta musik klasik di negeri asalnya agaknya syok dan menuduhnya merusak musik klasik. Tak mengapa. Dia toh telanjur dinobatkan sebagai "Si Mozart dalam sepatu Doc Marten". Setengah berlari bak kijang kecil, violis dunia ini membuka penampilan dengan memainkan The Art of War. Terkadang ia memainkan biola dengan sepasang kaki yang mengangkang. Rambutnya yang hitam lurus tersibak setiap kali ia meliukkan badannya. Setelah tiga nomor, ia memainkan Solace, yang menggabungkan musik dengan vokal. Di tengah pertunjukan, ia memainkan Toccata and Storm, aransemen baru dari karya Vivaldi dan Bach. Insiden kecil terjadi saat ia mengalunkan Toccata, senar biolanya putus. Senar baru dipasangnya sendiri dengan memamerkan punggung terbukanya ke penonton. Menyusul enam nomor: Love is The Only Game, Hocus Pocus, hingga Destiny. Malam itu, sang Kijang membawakan 14 nomor, dua di antaranya, Destiny dan Storm, dimainkannya ulang karena standing ovation penonton yang tak ada habisnya. Malah, dengan atraktif ia memainkan Storm dan turun dari panggung. Di setiap penampilannya, gadis yang menguasai teknik biola Eropa Barat dan Timur dengan sangat baik ini selalu membawakan nomor pop series dan classical. Semuanya, termasuk di Jakarta, dimainkannya dengan biola elektrik dan klasik Guidagnini buatan tahun 1761. Para pengamat menyebut musik Vanessa sebagai violin pop techno fuzzion, apa pun artinya, karena menggabungkan berbagai jenis musik, dari rock, disko, acid jazz, sampai flamenco. Addie M.S., konduktor Twilite Orchestra, memuji strategi Vanessa sebagai cara jitu memopulerkan musik klasik di tengah persaingan jenis musik lain. Cara memainkan Toccata, karya Johan Sebastian Bach, yang sudah ditafsir ulang dan dikawinkan dengan jenis musik lain, pernah dilakukan oleh kelompok Emmerson Lake and Palmer dan Exception pada tahun 70-an. "Cuma, dia punya performanceship yang jago. Juga mampu mengubah gaya-gaya berat menjadi pop," tutur Addie. Perbedaan lain, Vanessa menonjolkan peran violis. Masih menurut Addie M.S., Vanessa memiliki tiga nasib baik seorang musisi, yakni keterampilan teknis yang tinggi, penampilan yang sensual, dan nasib baik. "Dia orang Asia yang unjuk gigi di tempat asal musik klasik, sehingga menimbulkan citra eksotis," katanya. Sarah Cheng, violis dari Cina, pernah lebih dulu memulainya, tapi tidak bernasib mujur. Penonjolan violis, dalam diri Vanessa, adalah hal wajar. "Dia punya basis dan fundamen yang kuat sekali," tutur mantan pemimpin orkes simfoni RRI Jakarta, Adidharma. Teknik tangan kanan dan kiri serta kombinasi gesekannya sangat kaya. Menurut Adidharma, karena disiplin klasiklah Vanessa bisa melakukan pencapaian seperti saat ini. "Dasar yang kuat membuatnya mudah bereksplorasi, meski juga tidak mudah mengubah gaya klasik ke gaya musik yang baru," ujarnya. Vanessa sendiri mengaku kepada TEMPO hanya bermain musik sesuai dengan keinginannya. "Saya tak pernah memasukkan musik saya dalam bentuk tertentu," katanya. Teknik pun, baginya, jalan belaka. Mendatangkan Vanessa tidak gampang. "Selain bayarannya mahal, ia sibuk rekaman," kata Peter Basuki dari Buena Produktama, promotor pertunjukan. Di Jakarta, violis ini dibayar US$ 100 ribu (atau sekitar Rp 900 juta). "Pertunjukannya sendiri nilainya Rp 1,3 miliar," ujarnya. Penggemar Vanessa di Indonesia sebenarnya tak banyak. Ukuran ini terlihat dari penjualan album yang tak terlalu laris untuk ukuran kaset Barat. Dari lima album, cuma dua yang mencapai titik impas, setara dengan 20 ribu keping, yakni The Violin Player (36 ribu) dan Storm (24 ribu). Album The Original Four Seasons malah hanya laku 10 ribu kaset, The Classical Album cuma 11 ribu biji. Bahkan, album baru Subject to Change hanya terjual 12 ribu keping sejak Juni lalu. Meski begitu, segmen kecil ini adalah penggemar fanatik Kijang yang dijuluki majalah People sebagai salah satu wanita tercantik di dunia itu. Para penggemarnya itu, paling tidak yang di Jakarta, tentu harus berkantong tebal. Soalnya, harga tiket untuk nonton sang Kijang bermain biola adalah Rp 250 ribu hingga Rp 750 ribu. Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus