Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Sejarah Gedung Agung Yogyakarta, Salah Satu Opsi Transit Kepala Daerah sebelum Retret Magelang

Gedung Agung Yogyakarta masih difungsionalkan sebagai Istana Kepresidenan, pernah jadi saksi Perang Diponegoro.

10 Februari 2025 | 14.06 WIB

Istana Kepresidenan atau Gedung Agung Yogyakarta. Dok.istimewa
Perbesar
Istana Kepresidenan atau Gedung Agung Yogyakarta. Dok.istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Yogyakarta - Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menyambangi Istana Negara Yogyakarta atau yang dikenal sebagai Gedung Agung, Yogyakarta, Ahad, 9 Februari 2025. Rencananya, Gedung Agung Yogyakarta ini akan menjadi lokasi transit 505 kepala daerah sebelum mengikuti pembekalan atau retret di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jawa Tengah, 21-28 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Para kepala daerah hasil Pemilu 2024 baru akan dilantik pada 20 Februari mendatang Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Salah satu opsi rencana retret di Magelang, kepala daerah berkumpul di sini (Gedung Agung) dulu baru kemudian bersama-sama naik bus ke Magelang, sedangkan opsi lainnya mereka langsung berkumpul di Magelang," kata Bima, Ahad.

Sejarah Istana Kepresidenan 

Gedung Agung Yogyakarta merupakan salah satu cagar budaya yang masih difungsionalkan sebagai Istana Kepresidenan. Saat kunjungan ke Yogyakarta, presiden biasanya akan transit dan menginap di gedung yang berlokasi di ujung Jalan Malioboro atau kawasan Titik Nol Kilometer itu.

Kompleks istana yang dibangun di atas lahan seluas 43.585 meter persegi itu memiliki sejarah panjang. Dalam proses pembangunannya, istana ini menjadi saksi peristiwa bersejarah Perang Jawa atau disebut Perang Diponegoro yang berlangsung 1825-1830.

Menurut catatan Kementerian Kebudayaan, keberadaan Gedung Agung, berkaitan erat dengan sejarah pendirian gedung keresidenan yang dibangun oleh Belanda saat masa penjajahan.

Bermula dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi mendirikan Keraton Ngayogyakarta yang jadi cikal bakal Kota Yogyakarta. 

Untuk mengawasi Kasultanan Yogyakarta, Pemerintah Belanda pun mendirikan benteng dan mengangkat residen. Untuk kepentingan itu, Belanda membangun Benteng Rustenburg (Benteng Vredeburg) dan gedung keresidenan yang ada di sisi baratnya.

Saat residen ke-17 Antonie Hendrik Smissaert menjabat Residen Yogyakarta (1823-1825), ia mengusulkan perbaikan gedung keresidenan. 

Dari surat Residen A.H. Smissaert, nomor 6 tanggal 2 Mei 1823 untuk sekretaris negeri gubernur jenderal Hindia Belanda, diketahui bahwa bangunan yang berada di sebuah pekarangan luas yang disebut “Loji Kebon” (Tuin Logie) terletak di sisi barat Benteng Vredeburg merupakan sebuah bangunan tua yang didirikan sejak 1722. 

Bangunan itu kondisinya rusak parah, sehingga harus diperbaiki dengan dibangun kembali.

Usulan Smissaert kala itu disetujui Gubernur Jenderal Belanda G.A.G.P.B Van der Capelen dengan mengutus A. Payen untuk melaksanakan perbaikan gedung, sekaligus menjadi arsiteknya. Perbaikan gedung keresidenan tua di sisi barat benteng itu akhirnya dimulai 1824. 

Perang Diponegoro

Perbaikan gedung sempat terhenti dan molor karena di tengah jalan meletus Perang Diponegoro 1825-1830. Perbaikan gedung keresidenan baru dilanjutkan lagi seusai Perang Diponegoro, yaitu pada masa Residen Frans Gerardus Valk. Perbaikan gedung rampung 1832, menghabiskan biaya f 70.000.

Pada 10 Juni 1867, gempa bumi tektonik mengguncang Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Gempa bumi menyebabkan gedung residen ini kembali rusak berat. Maka pada tahun 1869 oleh Residen A.J.P. Hubert Desire Bosch dilakukan rehabilitasi terhadap bangunan kantor residen ini. 

Pemerintah Belanda kembali menggelontorkan dana f 125.000 untuk memperbaikinya. Perbaikan gedung selesai pada 1869 dan gedung inilah yang sekarang menjadi Istana Kepresidenan Yogyakarta.

Tidak Banyak Berubah

Sejak didirikannya, Istana Kepresidenan Yogyakarta tidak banyak berubah. Di halaman serambi depan tampak sebuah patung raksasa penjaga pintu (dwarapala) setinggi dua meter. Selain itu, terdapat sebuah tugu Dagoba (yang oleh orang Yogyakarta disebut Tugu Lilin) setinggi tiga meter setengah, yang senantiasa menyalakan  api semu di puncaknya. Tugu itu terbuat dari batu andesit.

Nama Gedung Agung atau Gedung Negara berkaitan dengan salah satu fungsi gedung utama istana itu, yaitu sebagai tempat penerimaan tamu-tamu agung.

Istana ini merupakan salah satu istana dari istana Kepresidenan lainnya, yang memiliki peranan amat penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan dan kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan, salah seorang anak Presiden Soekarno, Megawati Soekarnoputri, juga lahir di istana ini.

Bima Arya menuturkan, dalam pembekalan di Akmil Magelang total ada 189 tenda yang dipasang untuk 481 bupati dan wali kota serta 33 gubernur. Satu tenda bisa diisi 2-4 kepala daerah. Saluran air, kamar mandi, listrik, kesiapan tenda dan lain-lain diklaim telah siap.

Pribadi Wicaksono (Kontributor)

Pribadi Wicaksono (Kontributor)

Koresponden Tempo di Yogyakarta.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus