TAHUN macan, tahun cakar-cakaran. Dan macan-macan ada dalam grup Srimulat. Pekan lalu, sejumlah pemain ramai-ramai meninggalkan sarang tawa pimpinan Teguh ini: Basuki, Timbul, Nurbuat, Kadir, Rohana. Mereka membentuk grup baru -- sudah di bulan lalu, sebenarnya, dan sudah bermain di beberapa kota di Sumatera. Hanya, untuk Jakarta, mereka memperkenalkan kelompok yang diberi nama Merdeka itu di hadapan nyonya-nyonya Dharma Wanita Sekretariat Negara di Taman Mini Indonesia Indah, pekan lalu itu. Itu bukan soal baru, memang. Sebelumnya, Gepeng juga meninggalkan Srimulat -- dan menggaet tiga pemain lain: Nunung, Narimo, dan Ranto. Bersama mereka, ditambah Kardjo AC-DC yang juga bekas Srimulat Gepeng juga membentuk grup baru. Dan, dalam sejarah Srimulat, pemain yang tercatat pertama kali keluar dan langsung membentuk kelompok lain adalah Johny Gudel, 1974. Kemudian Kardjo itu, yang membikin grup Palapa. Cuma, dulu, grup-grup sempalan seperti itu dengan mudah terlindas, atau berada di bawah wibawa kebesaran Srimulat -- meski Gepeng tampak bisa lebih tegar. Kini masalah bisa lain: Srimulat seperti sudah berada pada jalan menurun. Satu hal tampak pada para bekas Srimulat itu. Gepeng, misalnya, setelah punya wadah lain yang diberinya nama Gepeng cs, mengaku lebih bebas merancang lawakan. Itu yang pertama. Yang kedua, penghasilannya bertambah. Grupnya bisa memasang tarif Rp 2 juta untuk sekali pentas -- meski bisa hanya Rp 300 ribu pada pertunjukan amal. "Sewaktu di Srimulat, honor semalam saya Rp 7.000", Gepeng bertutur. Memang ada main di luaran, secara resmi, tapi perincian honornya tak pernah diberikan. Alasan keluarnya Basuki dan kawan-kawan pun tak jauh dari Gepeng punya: uang. Pelawak yang sebenarnya diandalkan Teguh menggantikan Gepeng ini juga menyesalkan pimpinan Srimulat Jakarta yang tidak menerapkan konsep kepemimpinan Teguh -- yang berdiam di Solo. Pimpinan Jakarta memang menerapkan kebijaksanaan tersendiri, menurut Basuki. Misalnya dalam pembagian honor, atau penunjukan pemain yang ditanggap di luar panggung tetap. Yang terakhir ini dikenal sangat rawan, karena memang sumber uang. Bayangkan: seorang pemain bisa mengantungi Rp 200.000. Timbul lebih jelas menyebutkan kasusnya. Selama di Srimulat, ia mengaku, ia tak tahu jelas berapa sebenarnya penghasilannya. Lalu ia membandingkan dengan grup Merdeka. Main tiga malam di Lubuklinggau, awal September lalu, dibayar Rp 3 juta. Menyusul di Palembang, dua malam, Rp 2,5 juta. "Setelah dibagi, setiap pemain mendapat cukup untuk hidup tiga bulan," kata Timbul. Sementara itu, kalau ia tetap di Srimulat, bermain di panggung dibayar Rp 4.000 semalam. Di luar memang dibayar lebih banyak -- Rp 25.000 sekali pentas tapi ia tak tahu berapa sebenarnya orang luar itu mengupah Srimulat. Mengapa Merdeka? Karena mereka sama-sama keluar di bulan Agustus. Basuki menambahkan, "Bisa pula berarti mencari rejeki dengan kawan-kawan, hehe.." Jujuk, istri Teguh, segera membantah soal perincian honorarium itu. "Masa nggak ada. Ada! Si Gepeng dan lain-lainnya itu 'kan tidak memperhatikan administrasi," katanya di rumahnya di Solo. Lalu, ibu yang di pentas lebih sering jadi gadis ini menceritakan bagaimana keluarga Teguh membantu kehidupan para pelawak itu, sebelum mereka terkenal. "Yah, setelah jadi bintang, orang memang punya pikiran macam-macam," Teguh menyambung. Di Taman Hiburan Rakyat Surabaya dalam pada itu, pentas Srimulat belakangan ini hanya dikunjungi rata-rata 50 kepala setiap malam. Di THR Semarang, selama pekan lalu, penonton yang rajin datang tak mencapai 100 kepala, kecuali di malam libur. Padahal, Srimulat baru sebulan di situ, boyong dari Solo. Masih hangat, seharusnya. Sementara itu, di Jakarta, di panggung Taman Ria Remaja, Senayan, orang ramai di malam Jumat -- ketika ceritanya berbau horor -- atau saat-saat ada bintang tamu, yang umumnya artis film. Banyolan gaya Srimulat pun sudah mulai menjemukan. Banyak pengulangan, banyak menggurui penonton dengan aneka nasihat klise berkepanjangan. Barangkali inilah risiko yang harus dibayar grup ini ketika media televisi mulai menjamah -- dan dijamah Srimulat. Melawak di televisi, apalagi rutin, sulit menghindari penyakit itu. Teguh, bos yang disegani anak buahnya ini, dari rumahnya memberi komentar tentang hal lain. "Sebenarnya saya selalu meracik gaya lawakan untuk memunculkan kejutan artistik, sehingga menghasilkan lawakan baru, " katanya. Kenapa yang keluar bukan hasil racikannya? "Itulah sialnya. Pemain kadang lupa pada kelucuan cerita yang sudah diracik. Main sendiri-sendiri, dan pengulangan terjadi." Karyawan Srimulat saat ini berjumlah 190 orang komplet. Para Manajer semuanya adik Jujuk -- Hendro (Jakarta), Sardjito (Semarang), dan Bambang Tedjo (Surabaya). "Tapi semuanya dalam pengawasan dan pengarahan saya. Saya yang memberikan konsep dan program. Begitulah manajemen Srimulat sekarang," kata Teguh, kini 60 tahun. Tentang pemain yang keluar itu, Teguh tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Tapi ia mengaku sudah selalu siap ditinggal pemain bintang. "Ketika Gepeng keluar, saya sudah siap dengan Basuki. Kini, Basuki minggat, sudah ada Mamiek. Begitu caranya." Teguh, yang kini sering menderita sakit, masih optimistis Srimulat bisa bertahan. "Yang menimpa Srimulat sekarang ini baru gelombang, belum kemalangan. Saya tidak panik. Saya sudah 36 tahun memimpin Srimulat." Dengan keluarnya Basuki, yang meramaikan Jakarta, tinggal Tarsan, Subur, Ana Maria, dan Mamiek itu, ditambah para pemain "bukan bintang". Sampai kapankah Tarsan dan Asmuni, misalnya, tetap bertahan terhadap godaan di luar? Ha ha ha ha ha ha. Keduanya tertawa. Putu Setia, Laporan Biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini