Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan

Suku Truku, Pemenggal Kepala dari Taiwan

Suku Truku di Taiwan disebut dewasa bila mampu berburu dan memenggal kepala. Kini wisatawan bisa menyaksikan wisata budaya tanpa penggal kepala.

22 Juli 2019 | 09.00 WIB

Mengayau atau memenggal kepala musuh dalam tradisi Dayak, ternyata sama dengan Suku Truku di Taiwan. Tapi budaya itu sudah pupus, Permukiman Suku Truku menjadi destinasi wisata. TEMPO/ Nur Alfiyah
Perbesar
Mengayau atau memenggal kepala musuh dalam tradisi Dayak, ternyata sama dengan Suku Truku di Taiwan. Tapi budaya itu sudah pupus, Permukiman Suku Truku menjadi destinasi wisata. TEMPO/ Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Suku Truku atau Suku Taroko di Taiwan nyaris kehilangan tradisi budaya mereka. Kawasan Taroko yang berhutan lebat dan berbukit diubah menjadi taman nasional. Mereka pun dilarang berburu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun usaha untuk mempertahankan kelanggengan tradisi Suku Truku dilakukan Zheng Ming Gang, Kepala Suku Truku. Gang yang bukan asli orang Truku merasa prihatin lalu mendirikan cagar budaya Suku Truku. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Gang membuka lahan wisata budaya, yang memamerkan rumah hingga keseharian masyarakat Truku. Pertunjukan tari-tarian ia organisir agar seni Truku tak hilang. Tarian itu disajikan di Taroko Village Hotel, Taiwan, lengkap dengan golok yang mengayun-ayun dan diselingi tarian, "Dulu kami hidup dengan berburu," kata kepala suku, Zheng Ming Gang. 

Suku Truku merupakan satu dari 16 suku Aborigin—sebutan untuk suku pribumi—Taiwan. Mereka tinggal di Pulau Taiwan sejak 8.000 tahun yang lalu, bersama suku Aborigin yang lain. Konon, Aborigin Taiwan berasal dari bangsa Austronesia, cikal bakal orang-orang Filipina, Malaysia, Madagaskar, Oseania, juga Indonesia.

Taroko Village Hotel menjadi destinasi wisata juga sekaligus cagar budaya Suku Truku. Konflik sosial membuat mereka tersingkir dari Taiwan modern. Tempo/Nur Alfiyah

Orang Truku tinggal di pegunungan di Desa Taroko, daerah Bruwan, Provinsi Hualien, Taiwan bagian timur. Sekitar 150 kilometer dari Taipei. Dalam bahasa suku Truku, “bruwan” berarti gema. “Karena area ini dikelilingi pegunungan, dengan efek gema yang hebat,” kata Dadao, lelaki suku Truku. Sedangkan “taroko” berarti megah dan indah. 

Suku Truku mulanya hidup tenteram di lembah pegunungan tersebut. Mereka berburu binatang, memasak babi liar, juga memenggal kepala orang. Urusan satu ini menjadi tanda lelaki sudah dewasa.

Sebagai lelaki tulen, mereka juga membawa pulang buruan, bahkan kepala orang dari suku lain. Kemenangan itu biasanya dirayakan dengan menato tubuh. Makin banyak tato, menjadi status sosial pula, bahwa mereka tak sekadar lelaki tulen biasa.

Pertemuan mereka dengan peradaban luar terjadi kira-kira tahun 1400-an saat imigran dari China berdatangam. Kerusuhan politik membuat orang-orang Cina itu meninggalkan negerinya.

Gelombang imigran terus berdatangan, termasuk dari bangsa Han. Taiwan kemudian tak hanya ditinggali oleh orang Truku dan suku-suku pribumi lain, tapi juga bangsa Han, yang keturunannya kemudian menjadi populasi terbesar di Taiwan.

Setelah Perang Candu pecah pada 1840, penjajah dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jepang datang menjarah Taiwan. Taiwan ikut jatuh ke tangan Jepang setelah Dinasti Qing di China kalah dalam perang pada 1895. Jepang pun menginvasi wilayah yang didiami suku Truku.

Konflik pertama antara Jepang dan orang Truku terjadi setahun kemudian. Tentara Jepang yang datang melecehkan perempuan Truku menyulut amarah suku tersebut. “Para leluhur mendatangi pos tentara lalu memenggal 13 orang Jepang," kata Zheng.

Peristiwa itu dikenal sebagai Xincheng Incident. Xincheng adalah lokasi pemenggalan kepala tersebut, tak jauh dari pegunungan tempat tinggal orang Truku. Sejak saat itu, perselisihan terus berlanjut.

Konflik besar lain terjadi pada 1906, dikenal dengan sebutan Insiden Weili. Sebanyak 36 orang Jepang meninggal karena serangan orang Truku. Pertikaian terjadi lantaran orang Truku tak terima Jepang memonopoli perdagangan. 

Gubernur jenderal dari Jepang yang bertugas di Taiwan kala itu, Sakuma Samata, yang ingin menguasai daerah pegunungan Hualien untuk mengeksploitasi sumber daya alam seperti mineral dan kayu, gemas akan perlawanan suku Truku. Pasukan ia kerahkan. "Karena hanya suku Truku yang tak menurut perintah mereka," ujarnya.

Sakuma Samata mengirimkan 20 ribu tentara untuk menundukkan Truku pada 1914. Penduduk Truku kala itu berkisar 8.000 orang. Dari jumlah tersebut, cuma 3.000 yang berangkat perang. Orang Truku mampu bertahan selama 74 hari di pegunungan, sampai akhirnya semua dibantai oleh tentara. "Semuanya gugur karena kalah jumlah," tutur Zheng.

Upaya Jepang melemahkan Truku berlanjut dengan memberikan arak dan memecah belah orang-orang di antara mereka. “Mereka juga meminta kami untuk menghentikan kebiasaan berburu dan menato wajah karena dianggap kurang berpendidikan,” kata Dadao seorang Suku Truku. Hanya sebagian kecil penduduk Truku yang melanjutkan warisan leluhur tersebut. Dadao tak mengikuti tradisi itu.

Jepang pergi setelah kalah dalam Perang Dunia II pada 1945. Pemerintah Taiwan kemudian menetapkan kawasan Taroko, yang mencakup lebih dari 92 ribu hektare, sebagai taman nasional pada 28 November l986 guna melindungi alam, peninggalan bersejarah, margasatwa; serta melestarikan sumber daya alam dan tempat penelitian.

Suku Truku memiliki kesamaan dengan Suku Dayak di Indonesia. Hidup dari berburu dan memiliki tradisi memenggal kepala. Foto: Dmtip.gov.tw

Sebelum penetapan itu, orang Truku diminta pindah dari kawasan. Mereka tinggal di pinggir-pinggir pegunungan di sekitar taman nasional. “Pekerja di hotel ini semuanya orang Truku. Ada yang mesti berjalan kaki 1,5 jam, mendaki dua gunung untuk sampai ke sini,” kata Zheng.

Mereka juga diminta untuk berhenti berburu di taman nasional. Orang-orang Truku diminta bekerja di pabrik, seperti orang Taiwan lain. Tapi, karena mereka tak pernah bekerja seperti itu, mereka sering mengalami kecelakaan kerja. Akhirnya mereka malas berangkat dan mulai meminum arak.

Kondisi mereka diperparah ketika angin topan muncul. Samudra Pasifik mengirimkan angin topan ke Pulau Taiwan rutin setiap tahun, biasanya sekitar Juli sampai Oktober. Rumah mereka yang terbuat dari kayu beterbangan. Mereka tak punya tempat tinggal, juga pekerjaan.

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus