Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Berwisata belum lengkap rasanya jika tidak blusukan ke pasar tradisional. Setiap pasar tradisional punya ciri khas berbeda. Barang yang dijual para pedagang dan metode jual beli yang berlaku menjadi cermin kebudayaan masyarakat setempat. Begitu juga dengan pasar tradisional di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan wisatawan yang datang ke pasar tradisional di Papua akan menemui mama-mama Papua menjual berbagai hasil bumi dan kerajinan tangan buatan sendiri. Di sana wisatawan bisa mengamati apa saja barang yang dijual, bagaimana mereka melakukan transaksi jual beli, hingga interaksi sosial sesama masyarakat, khususnya perempuan Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ciri khas pasar tradisional di Papua adalah mama-mama Papua berjualan lesehan beralaskan karung bekas," kata Hari Suroto kepada Tempo, Minggu 6 Desember 2020. Mereka menjual hasil kebun sendiri, seperti ubi, keladi, buah-buahan, sayuran, noken, ikan, hingga binatang hasil buruan, seperti kuskus. "Semua hasil sendiri."
Pada pagi hari, mama-mama Papua pergi ke kebun untuk memanen apa yang bisa mereka bawa ke pasar. Selesai urusan di kebun, mereka membawa hasil tani ke pasar yang terletak di kota dengan berjalan kaki. Mereka membawa semua barang dengan menggunakan noken.
"Hasil kebun yang dipanen hari itu, dijual pada hari itu juga," kata Hari Suroto. "Mereka membawa barang ke pasar seperlunya saja, sesuai kemampuan mereka memuat dalam noken." Esok pagi pergi ke kebun lagi dan sore ke pasar. Begitu aktivitas keseharian mereka.
Sejumlah pembeli berjalan di Pasar Tradisional Tolikelek, Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Kamis, 10 Oktober 2019. ANTARA
Hari Suroto yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih menambahkan, masyarakat Papua menolak pengepul atau pedagang besar yang membeli hasil kebun mereka langsung di kebun. "Mama-mama Papua lebih suka membawa dan menjual hasil kebunnya sendiri ke pasar," kata Hari Suroto.
Berjualan di pasar tradisional bukan sekadar bentuk aktivitas ekonomi, namun juga sosial. Selain berjualan, mama-mama Papua bertemu dengan teman dan sanak saudara yang tempat tinggalnya berjauhan. Di sana mereka berbagi cerita dan bersosialisasi satu sama lain.
Mengenai metode berjualan, mama-mama Papua menata hasil kebun mereka dengan cara ditumpuk. "Dan hasil kebun itu dijual pertumpuk," kata Hari Suroto. Contoh, satu tumpuk mangga berisi lima buah atau satu tumpuk terdiri dari tiga mangga. Adapun sayur dijual per ikat.
Wisatawan yang berkunjung ke pasar tradisional bisa membeli barang dagangan mama-mama Papua ini. Hanya saja, jangan coba-coba menawar. Menurut Hari Suroto, mama-mama Papua yang berjualan akan bertahan pada harga yang dia patok. "Malah terkadang pembeli yang diomeli karena dianggap tidak menghargai usaha mereka yang susah payah menanam, merawat hingga panen, memanggul hasil panen dengan noken, dan tentu saja berjalan kaki dari kampung sampai ke pasar di kota," ucap Hari Suroto.
Kendati pembeli dilarang menawar, wisatawan bisa menyentuh hati mama-mama Papua yang memiliki jiwa sosial tinggi. Perlu diketahui, Hari Suroto melanjutkan, jika ada barang dagangan yang tidak bertahan lama, seperti hasil kebun atau ikan, tersisa, mereka akan mengantarkan barang itu kepada keluarga yang tinggal di kota ketimbang berat-berat membawanya kembali ke rumah.
Jadi, wisatawan memang tak sepatutnya menawar barang dagangan mama-mama Papua. Hanya saja, wisatawan bisa meminta bonus dan pasti diberikan dengan senang hati. Misalkan, ketika membeli satu tumpuk mangga seharga Rp 30 ribu, memang wisatawan tak dapat meminta harganya turun. Namun, wisatawan bisa meminta satu atau dua buah mangga lagi yang ukurannya lebih kecil sebagai bonus. "Bonus lainnya, wisatawan bisa berfoto dengan penjual," kata Hari Suroto.