Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Tradisi Lebaran Ketupat, Begini Filosofi Ketupat Keraton Cirebon

Tradisi Syawalan atau lebaran ketupat, dilaksanakan sepekan setalah Idul Fitri. Tradisi ini turun temurun dilaksanakan Keraton Kasepuhan Cirebon.

1 Juni 2020 | 08.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Cirebon - Usai puasa enam hari pada bulan Syawal, Keraton Kasepuhan menghelat tradisi Syawalan atau Lebaran Ketupat. Ketupat dibagikan ke sejumlah masjid dan situs lainnya yang ada di Cirebon.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat pada Minggu, 31 Mei 2020, menjelaskan, pihaknya menggelar tradisi Syawalan atau Lebaran Ketupat di Keraton Kasepuhan Cirebon. “Ketupat yang dibuat di sini kami kirimkan ke sejumlah masjid,” ungkap Sultan Sepuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketupat-ketupat tersebut dikirimkan, di antaranya ke Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang usianya sudah 500 tahun, Masjid Pejlagrahan yang usianya juga sudah 500 tahun, Langgar Agung yang ada di lingkungan Keraton Kasepuhan, Masjid Ketandan, dan sejumlah situs yang ada di Cirebon.

“Termasuk kami kirimkan juga untuk para wargi (warga) dan abdi dalem yang ada di lingkungan Keraton Kasepuhan,” ungkap Arief.

Dijelaskan Arief, tradisi syawalan merupakan bentuk rasa syukur setelah berpuasa sunah enam hari usai Hari Raya Idul Fitri. “Lebaran ketupat ini sebagai bentuk rasa syukur kami telah melakukan puasa sunah syawalan 6 hari,” ungkap Arief.

Tradisi Syawalan yang disebut juga dengan lebaran ketupat, karena dalam tradisi warga Cirebon tak membuat ketupat saat Hari Raya Idul Fitri. “Hari ini baru kami membuat ketupat sehingga disebut Lebaran Ketupat,” ungkap Arief. Tradisi ini telah berlangsung secara turun temurun.

Ketupat sendiri bukan kata tanpa arti. Menurut Arief memiliki makna yang sangat mendalam. Ketupat berasal dari kata kupat. Paraphrase kupat yaitu ngaku lepat atau mengaku bersalah.

Janur atau daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kependekan dari kata ‘jatining nur’ yang diartikan sebagai hati nurani. Sedangkan beras yang dimasukkan ke dalam anyaman ketupat digambarkan sebagai nafsu duniawi yang dibungkus dengan hati nurani.

“Bagi masyarakat Cirebon, bentuk ketupat yang persegi diartikan dengan kiblat papat limo pancer,” ungkap Arief. Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angina utama, yaitu timur, barat, selatan dan utara. Ini artinya kemana pun manusia pergi tidak boleh melupakan pancer (arah) kiblat atau arah salat.

Bangunan Siti Hinggil Keraton Pakungwati yang masih utuh yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana sekitar tahun 1430 M di Cirebon, Jawa Barat, (26/1). Keraton kerajaan Islam ini yang menjadi cikal bakal Keraton Kasepuhan Cirebon. TEMPO/Prima Mulia

Rumitnya anyaman janur untuk membuat ketupat merupakan symbol dari kompleksitas masyarakat saat itu. Anyaman yang melekat satu sama lain merupakan anjuran bagi seseorang untuk melekatkan tali silaturahmi tanpa melihat perbedaan kelas sosial.

IVANSYAH 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus