Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font color=#CC0000>Taktik Baru</font> Keluarga Cendana

Pakar hukum Islam, Busthanul Arifin, akan memberikan kesaksian dalam kasus Yayasan Supersemar. Menurut kejaksaan, ini sekadar cara ahli waris Soeharto memperlambat putusan.

3 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTARUNGAN di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memasuki babak baru. Selasa ini, anak-anak Soeharto akan meluncurkan jurus anyar untuk menghadapi gugatan pemerintah dalam kasus Yayasan Supersemar, yang mulai mendekati akhir. Mereka akan mengirim ahli hukum Islam, yang juga mantan Ketua Muda Bidang Peradilan Agama Mahkamah Agung, Busthanul Arifin. Jika pendapat Busthanul diterima hakim, bisa jadi perkara Soeharto mandek. Tak bergulir ke anak-anaknya.

Setelah Soeharto mangkat 27 Januari lalu, kejaksaan memang menyatakan anak-anak Soeharto sebagai ahli waris perkara bapaknya. Kejaksaan menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar membayar ganti rugi materiil US$ 420 juta dan Rp 185 miliar serta imateriil Rp 10 triliun lantaran mereka didakwa menyelewengkan dana yayasan.

Selasa pekan lalu, pengajuan nama Busthanul itu sudah dikirim kepada ketua majelis hakim kasus Yayasan Supersemar, Wahjono. Penunjukan ahli hukum Islam ini merupakan bagian dari hasil rembuk keluarga yang digelar dua pekan sebelumnya di Jalan Cendana Nomor 8, rumah kediaman Soeharto. Busthanul sendiri, setelah pensiun sebagai hakim agung, hingga kini menjabat sebagai penasihat Menteri Agama untuk urusan hukum.

Dalam kacamata Busthanul, hak dan kewajiban ahli waris Soeharto hanyalah atas barang, piutang, aset, serta terbatas pada nilai harta. ”Perkara perdata tidak termasuk bagian yang diwariskan,” ujarnya seperti yang ditulis dalam dokumen ”pendapat hukumnya” yang diperoleh Tempo.

Berdasarkan hukum Islam, menurut pria 67 tahun ini, kewajiban ahli waris cuma mengurus pemakaman jenazah, menyelesaikan utang-piutang, menjalankan wasiat jika ada, dan membagi harta warisan. Adapun tanggung jawabnya terhadap utang diatur hanya sampai jumlah harta yang ditinggalkan pewaris.

Dihubungi Tempo, Yoseph Suardi Sabda, jaksa pengacara negara, menyatakan argumentasi itu bukan pada tempatnya. ”Kalau hukum Islam yang diajukan, ya, pengadilan agama tempat beperkaranya,” katanya. Menurut Yoseph, langkah kuasa hukum ahli waris menawarkan ide kombinasi hukum perdata dengan hukum Islam hanya memperlambat pembacaan putusan hakim.

Bukan sekadar itu, Yoseph menduga cara ini juga sebagai antisipasi apabila harta benda ahli waris dijadikan jaminan perkara Soeharto. ”Karena itu, diajukanlah kompilasi hukum Islam.” Padahal, kata Yoseph, apabila pengadilan negeri mengabulkan gugatan pemerintah, ”Ahli waris tetap wajib melaksanakan putusan.” Menurut dia, karena ini pengadilan umum, yang berlaku otomatis Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. ”Ahli waris wajib menggantikan kedudukan tergugat walau sudah meninggal.”

Soal informasi harta Soeharto ini, kejaksaan terbilang minim mengantongi data. ”Yang kami catat baru rumah di Jalan Cendana Nomor 8,” katanya. Adapun sejumlah harta yang disebut-sebut milik Soeharto, seperti sebuah rumah di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, Taman Buah Mekarsari di Bogor, dan rekening atas nama Soeharto, hingga kini belum teridentifikasi. ”Kami baru mendapatkan kabar saja.”

Pakar hukum perdata dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Isis Ikhwansyah, sependapat dengan kejaksaan. Di Indonesia, ujar Isis, memang berlaku dua hukum waris, yaitu hukum waris adat dan hukum waris yang diatur dalam Islam. Namun kasus Soeharto tak dapat memakai hukum Islam. ”Karena perkara ini dilakukan oleh kejaksaan dan pengadilan negeri, bukan di pengadilan agama,” katanya

Menurut sumber Tempo yang berada dalam lingkaran Cendana, semula anak-anak Soeharto emoh mewarisi perkara ayahnya. Terutama Sigit Harjojudanto dan Hutomo Mandala Putra alias Tommy. Mereka yakin perkara seperti ini tidak bisa diwariskan kepada mereka.

Kejaksaan sendiri langsung bergerak cepat begitu masa berkabung Soeharto lewat. Pada 12 Februari lalu, Kejaksaan Agung menyodorkan nama enam anak Soeharto ke pengadilan sebagai ahli waris. Nama-nama itu diperoleh dari Kantor Kelurahan Gondangdia, Jakarta Pusat. Mereka adalah Sigit, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi, Tommy, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.

Pengumuman itu disusul ”gertakan” Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso. Untung mengancam akan menyita seluruh harta waris Soeharto jika anak-anak Cendana membandel. Barang sitaan, kata dia, akan diserahkan ke Balai Harta Peninggalan.

Serangan kejaksaan ini rupanya membuat Keluarga Cendana mencair. Sigit, ujar sumber Tempo itu, melunak mengikuti sikap adik-adiknya yang lebih dulu pasrah. ”Kalau semua menolak, orang akan bilang anak Pak Harto tidak ada yang berbakti kepada orang tua,” sumber itu menirukan ucapan salah seorang putri Soeharto yang memecah kebekuan rapat keluarga. Rapat keluarga itu sendiri digelar di rumah Soeharto sekitar tiga pekan lalu seusai acara tahlilan. ”Kami berkeyakinan Bapak tidak bersalah,” putri Soeharto itu menandaskan.

Sigit dan adik-adiknya dengan terpaksa meneken pernyataan bersedia menjadi ahli waris perkara Soeharto. Yang tidak bersedia hanya Tommy. Kendati dibujuk saudara-saudaranya, ”Pangeran Cendana” ini bergeming. Bekas narapidana kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita yang mulai lagi rajin mengembangkan bisnisnya itu tetap ogah menyentuh pena untuk menggoreskan tanda tangannya.

Ngotot-nya Tommy, menurut seorang jaksa, adalah taktik agar hartanya tak tersentuh aparat hukum jika kelak pengadilan memenangkan gugatan pemerintah. Di atas kertas, jika kelak pengadilan menyatakan Soeharto salah, otomatis memang seluruh putra-putri Cendana itu bakal tanggung renteng membayar ganti rugi ke negara. Tapi soal adanya strategi Tommy seperti ini ditampik O.C. Kaligis, pengacara Tommy. ”Bukan itu alasannya. Mas Tommy tak sependapat perkara perdata bisa diwariskan,” kata Kaligis.

Hakim Wahjono menjelaskan, penolakan Tommy tidak jadi masalah. Tanpa kehadiran bos Humpuss Group ini, sidang tetap berjalan dengan ahli waris yang bersedia. ”Dengan demikian, Tommy telah melepaskan haknya dalam perkara ini,” kata Wahjono.

Elik Susanto, Ninin Damayanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus