Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
URUSAN patok bisa berbuntut panjang jika menyangkut soal batas tanah. Berniat memisahkan lahan parkir gedung BRI II dengan Wisma Gabungan Koperasi Batik Indonesia di kawasan Semanggi, Jakarta Pusat, Wasi Kirana akhirnya berurusan dengan polisi. PT Mulia Persada Pacific melaporkan Direktur Yayasan Dana Pensiun Karyawan BRI ini dengan tuduhan merusak properti Wisma GKBI.
Kejadian tiga tahun lalu itu masih membekas di ingatan Wasi. ”Sekali diperiksa, saya langsung jadi tersangka,” katanya pekan lalu. Tak terima dengan tuduhan tersebut, BRI dan Yayasan Dana Pensiun mengadukan laporan itu ke Kepala Kepolisian Jakarta hingga Kepala Kepolisian RI. Setelah 21 bulan terkatung-katung menyandang status tersangka, Wasi bisa lega karena penyidikan kasusnya dihentikan akhir tahun lalu.
Perkara Wasi ini sesungguhnya buntut dari kisruh panjang BRI dengan PT Mulia. Perusahaan milik Joko Soegiarto Tjandra—buron kasus cessie Bank Bali—ini diberi hak membangun dan mengelola gedung perkantoran BRI II yang tanahnya dimiliki bank pemerintah tertua itu.
Syahdan, BRI dan Yayasan Dana Pensiun membuat kerja sama membangun gedung kantor pada 1990 dengan PT Mulia. Joko Tjandra sendirilah waktu itu yang bernegosiasi dalam perkongsian bisnis properti tersebut. Dialah yang akan membangun dan mengelola BRI II di atas lahan 70 ribu meter persegi. Sedangkan BRI dan Yayasan menyediakan tanahnya. Kerja sama ini mulus hingga gedung 27 lantai tersebut berdiri di kawasan niaga itu.
Sebagai pemilik tanah, Yayasan Dana Pensiun akan mendapat uang sewa US$ 1,25 juta atau sekitar Rp 125 miliar per tahun—jika memakai nilai tukar sekarang—plus US$ 400 ribu. Biaya tambahan itu dibayarkan Yayasan kepada BRI sebagai andil ikut menyediakan tanah. Dengan penyewa yang banyak, pembayaran sewa dari PT Mulia berjalan lancar.
Kerja sama berikutnya pun dirancang. BRI akan membangun Gedung BRI III di lahan kosong di samping BRI II. Perjanjian pun diteken pada 11 April 1990 dengan mekanisme build-operate-transfer. Joko berkewajiban membangun gedung dengan tinggi minimal sama dengan BRI II dan harus selesai pada 1995. Imbalannya, dia memiliki hak menyewakan ruang-ruang kantor selama 30 tahun.
Menurut Muhammad Ali, Sekretaris Perusahaan BRI, setahun sebelum tenggat, pihaknya sudah menyurati PT Mulia agar bersiap membangun gedung itu karena tanah seluas 17 ribu meter persegi sudah bisa dibebaskan. Nyatanya, sampai tenggat terlewati, gedung itu tak pernah berdiri. Yang terjadi malah pelimpahan parkir mobil dari GKBI ke BRI II. Dalam perjanjian, BRI meminta PT Mulia memagari lahan kosong itu dan memisahkan kawasan GKBI dengan BRI II agar lahan parkirnya tak tumpang-tindih. Karena pagar tak juga dibangun, Wasi dan Purwanto, Direktur Yayasan Dana Pensiun lainnya, berinisiatif mematoknya. Alih-alih batas menjadi jelas, keduanya, ya itu tadi, menjadi tersangka. Tuduhannya: merusak properti gedung GKBI.
Negosiasi kedua pihak berjalan alot. Tak kurang dari 15 kali pertemuan dilakukan. Surat permintaan dan teguran kepada PT Mulia pun sudah dilayangkan oleh Yayasan Dana Pensiun BRI sejak 1994. Semuanya mental. Mulia tak kunjung membangun gedung yang dijanjikan. Setelah mengadukan ingkar janji Joko ini ke pelbagai pihak, pada April lalu BRI dan Yayasan secara resmi mengajukan gugatan terhadap pengusaha itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
BRI menuding Joko dan perusahaannya telah ingkar janji yang merugikan bank pelat merah ini hingga Rp 1,2 triliun. Ini duit yang seharusnya diterima BRI jika gedung III itu jadi dibangun. Jumlah ini dihitung berdasarkan pendapatan dari sewa tanah selama 30 tahun dan nilai gedung itu pada 2020, yakni Rp 887 miliar. ”Saat ini sidang memasuki tahap mediasi,” kata Pudji Basuki Setijono, jaksa yang ditunjuk menjadi pengacara negara mewakili BRI.
Tak hanya menggugat Joko lantaran tak membangun Gedung BRI III, bank ini menuding PT Mulia tak memenuhi kesepakatan menyediakan pelbagai fasilitas di BRI II. Fasilitas itu antara lain 50 shower, lahan parkir, kantin, dan ruang-ruang lain untuk kegiatan Yayasan Dana Pensiun.
Selain menuntut pembayaran Rp 1,2 triliun, dalam gugatannya BRI meminta sita jaminan atas hak pengelolaan Gedung BRI II yang tinggal 12 tahun lagi. Pudji menambahkan nilai bangunan dan tuntutan uang di luar bunga 6,5 persen per tahun dikalikan nilai gugatan.
Kuasa hukum PT Mulia, Hotman Paris Hutapea, menolak jika kliennya disebut telah merugikan keuangan negara. ”Belum ada uang negara yang keluar akibat perjanjian ini,” katanya. Ia menilai gugatan itu terlalu dicari-cari karena memasukkan tuntutan-tuntutan kecil semacam pembuatan pagar dan penyediaan shower. ”Selama 18 tahun kami tak pernah telat bayar uang sewa ke BRI,” katanya.
Hotman juga menganggap gugatan itu keliru karena menggabungkan perjanjian BRI II dan III dalam satu berkas, padahal perjanjian itu diatur dalam nota yang berbeda. ”Kenapa juga gugatannya baru sekarang?” ujarnya. ”PT Mulia itu yang punya gedung, kewajibannya bayar sewa. Itu sudah kami lakukan.”
Fasilitas lain yang belum dipenuhi di BRI II, menurut Hotman, akan dibangun di gedung BRI III. Adapun soal pagar, ujarnya, Mulia sudah membuat pagar terbuka yang membatasi BRI dengan Wisma GKBI. Sebagai pengelola tunggal, menurut Hotman, Mulia juga punya hak dalam pengadaan lahan parkir.
Hotman menuding gugatan ini dilatari keinginan BRI mengambil alih BRI II, yang sudah terbukti banyak penyewanya. Hotman mengaku pihaknya juga mengantongi surat dari Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan yang melarang pembangunan gedung perkantoran di kawasan Semanggi melebihi 10 tingkat. Dalam perjanjian, BRI meminta PT Mulia membuat gedung minimal 27 lantai. ”Bagaimana kami membangun kalau ada larangan seperti itu?”
Menurut dia, larangan itu dikeluarkan pemerintah Jakarta pada 2008. ”Sejak 1994, izinnya ditolak. Baru pada 2008 keluar pernyataan tertulis dari pemerintah daerah karena BRI minta terus,” kata Hotman.
Berbeda dengan Hotman, Hari Sasongko, Kepala Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan DKI Jakarta, menyatakan bukan lembaganya yang memiliki hak melarang atau membolehkan sebuah gedung dibangun. Dinas Pengawasan, kata Hari, hanya mengeluarkan izin pembangunan gedung. ”Soal berapa tingkat itu diatur Dinas Tata Ruang,” katanya.
Menurut Hari, sejak 2007, pihaknya belum pernah mengeluarkan izin baru untuk pembangunan gedung kantor di mana pun di Jakarta. Saat ditanya apakah ada permintaan dari PT Mulia Persada Pacific untuk membangun BRI III, Hari menggeleng. ”Seingat saya belum ada permintaan itu,” ujarnya.
Wiriatmoko, Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta, juga heran jika ada yang mengklaim pemerintah membatasi tinggi gedung kantor. ”Ngawur,” katanya. ”Tak ada aturan yang melarang tinggi bangunan.” Tinggi sebuah bangunan di Jakarta, kata Wiriatmoko, ditentukan oleh luas tanah yang menampung fondasinya, bukan berdasarkan lokasi daerah bisnis atau nonbisnis.
Pertempuran BRI melawan Joko yang diwakili Hotman ini memang bakal seru. Jaksa Pudji optimistis bisa memenangi gugatan ini. ”Bukti-bukti kami kuat,” ujarnya.
Bagja Hidayat
Ingkar Tak Berdasar
LIMA belas kali melakukan negosiasi dan menerima surat teguran tak membuat PT Mulia Persada Pacific membangun gedung BRI III dan sejumlah fasilitas di BRI II. Walhasil, BRI dan Dana Pensiun BRI merugi hingga Rp 2,1 triliun. Kini mereka menggugat dengan mengajukan sita pengelolaan gedung BRI II.
11 April 1990 1990 1994 1995 2007 2008 2009 10 April 2010 Ingkar Janji:
Kerugian
Sita Jaminan
Dana Pensiun BRI-PT Mulia Persada Pacific meneken kerja sama build, operate, and transfer membangun gedung BRI II dan III untuk perkantoran selama 30 tahun setinggi 27 lantai. BRI menyediakan tanah, PT Mulia membangunnya. BRI III dibangun paling lambat pada 1995.
BRI dan Dana Pensiun mulai membebaskan tanah di sekitar Jembatan Semanggi masing-masing 12.193 meter persegi dan 16.789 meter persegi.
BRI mengingatkan PT Mulia agar membangun gedung BRI III. Lima belas kali melakukan pertemuan dan menerima surat, negosiasi tak pernah jalan.
PT Mulia tak membangun gedung hingga tenggat terlewati.
Dana Pensiun BRI membuat patok batas tanah untuk membedakan kawasan GKBI dan tanah BRI. Dalam perjanjian, PT Mulia yang akan membangun pagar itu. PT Mulia memperkarakan pematokan ini ke polisi. Dua anggota direksi menjadi tersangka dengan tuduhan perusakan area tanah.
Badan Pertanahan Nasional menyatakan pematokan masih di lahan milik BRI sehingga tak ada perusakan aset.
Polisi tak melanjutkan penyidikan soal pemagaran.
BRI menggugat PT Mulia dengan tuduhan ingkar dari perjanjian. BRI mengklaim akibat tak ada pembangunan gedung, merugi Rp 2,1 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo