Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETAHUN sudah perburuan Joko Soegiarto Tjandra alias Tjan Kok Hui, 60 tahun, dilakukan. Hasilnya nihil. Padahal, awal tahun lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji percaya diri dapat membawa pulang buron kasus hak tagih cessie Bank Bali itu ke Tanah Air. ”Kami sudah bertemu dengan Jaksa Agung Singapura dan telah mengajukan form request. Tinggal menunggu diundang,” kata Hendarman saat itu.
Namun sudah berbilang bulan Joko Tjandra bak ditelan angin. Setelah dinyatakan bersalah dan dihukum dua tahun penjara oleh putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung, ia memilih ”lenyap”.
Kasus cessie Bank Bali berawal dari perjanjian Joko selaku Direktur PT Era Giat Prima untuk menagihkan piutang Bank Bali di Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Bira senilai Rp 3 triliun. Ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Tuah PT Era Giat, tempat Setya Novanto duduk sebagai direktur utama, ternyata ampuh. BPPN bersama Bank Indonesia, yang sebelumnya menolak tagihan piutang itu, setuju membayar. Mengucurlah duit Rp 906 miliar kepada Era Giat. Cuma, fee penagihan dianggap kelewat besar, Rp 546 miliar.
Belakangan diketahui ada aroma kekuatan politik dalam mengegolkan proyek tersebut. Ini terungkap dari sejumlah pertemuan rahasia antara Ketua Dewan Pertimbangan Agung Arnold Baramuli, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Tanri Abeng, Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, Wakil Ketua BPPN Pande Lubis, petinggi PT Era Giat Prima, dan Wakil Direktur Utama Bank Bali Firman Soetjahja.
Mengetahui pembayaran piutang itu bermasalah, Ketua BPPN (kala itu) Glenn M.S. Yusuf membatalkan perjanjian cessie. Setya Novanto lalu menggugat BPPN ke pengadilan tata usaha negara, dan sempat dimenangkan di pengadilan tingkat pertama dan banding. Namun Mahkamah Agung memenangkan BPPN di tingkat kasasi.
Era Giat juga menggugat perdata Bank Bali dan Bank Indonesia agar mencairkan uang fee mereka. Gugatan ini dimenangkan pada tingkat pertama. Namun, di tingkat banding dan putusan peninjauan kembali, uang menjadi hak Bank Bali.
Di tengah proses gugatan itu, Kejaksaan Agung menyidik tindak pidana korupsi kasus tersebut dan menetapkan Joko Tjandra, Pande Lubis, Syahril Sabirin, Rudy Ramli, dan Tanri Abeng jadi tersangka. Belakangan hanya Joko Tjandra, Pande Lubis, dan Syahril yang masuk pengadilan.
Joko menang sampai tingkat kasasi. Namun putusan peninjauan kembali menghukum dia, begitu pula Syahril. Syahril memilih patuh menjalani hukuman, sementara Joko memilih buron.
Meski buron, lelaki kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat, itu aktif menggerakkan bisnisnya. Juga perlawanannya terhadap gugatan Bank BRI atas kasus wanprestasi kerja sama pembangunan gedung BRI II dan III. Melalui pengacaranya, Hotman Paris Hutapea, Joko siap berlaga di pengadilan.
Kejaksaan seperti tak serius memburu Joko. Sikap itu ditunjukkan mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy. ”Sudah saya serahkan semua berkasnya, tapi sampai sekarang tak terdengar tindak lanjutnya,” ujarnya. Menurut Marwan, seharusnya Tim Pemburu Koruptor yang diketuai Wakil Jaksa Agung Darmono datang ke Singapura. Meski tidak ada perjanjian ekstradisi, masih bisa digunakan cara-cara lain.
Sekretaris NCB-Interpol Brigadir Jenderal Halba Rubis Nugroho memastikan Joko Tjandra masih berstatus buron atau masuk daftar red notice. Informasi terakhir, menurut Halba, Joko masih berada di Singapura—bahkan telah mendapatkan status permanent resident dari pemerintah Singapura. Namun, menurut Halba, tak mudah menangkap buron di negara lain, apalagi Indonesia dan Singapura tak memiliki perjanjian ekstradisi. Interpol hanya memfasilitasi dan tidak punya kewenangan untuk menangkap.
Ironi jika membandingkan Joko dengan Gayus Tambunan, tersangka kasus perpajakan yang dapat dibawa pulang, meski sama-sama melarikan diri. Menurut Halba, kasus Gayus lain karena ia sendiri yang ingin pulang setelah dibujuk. Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch Emerson Juntho juga mengaku pesimistis dengan upaya pengejaran Joko. Ia ragu terhadap keseriusan aparat, meski ia yakin polisi telah memetakan keberadaan yang bersangkutan. ”Kita bisa melihat upaya pengejaran koruptor sejenis juga tak pernah berhasil.”
Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo