Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR itu membuat Romli Atmasasmita terkaget-kaget. Dua pekan lalu, saat guru besar Universitas Padjadjaran, Bandung, itu tengah berada di Korea, Yusril Ihza Mahendra, bekas atasannya di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, meneleponnya. Setelah bertanya perihal kabar Romli, Yusril langsung ke inti persoalan. Ada berita penting yang akan ia sampaikan. ”Saya prihatin Anda ditetapkan sebagai tersangka,” ucap Yusril kepada Romli saat itu.
Berita dari Tanah Air dan disampaikan langsung oleh Yusril jelas tidak main-main. Romli terkejut bukan kepalang. Soalnya, selama ini ia merasa tak pernah berurusan dengan kejaksaan. ”Eh, tahu-tahu ditetapkan jadi tersangka,” ujar pakar hukum yang dikenal aktif dalam gerakan pemberantasan korupsi tersebut, Selasa pekan lalu, di kantornya, Wisma Mandiri, Jakarta Pusat.
Kepada Romli, Yusril bercerita, informasi ”A-1” alias sahih tentang dirinya ia dapat dari bekas Menteri Kehakiman Muladi, yang bertemu dengan Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin di Istana Negara. Kepada Muladi, kata Yusril, Muchtar menyatakan kejaksaan berencana menetapkan Romli sebagai tersangka korupsi dana access fee Sistem Informasi Badan Hukum Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Di Departemen Hukum, nama sistem ini biasa dipendekkan jadi Sisminbakum.
Romli, yang menjabat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum pada 2001 hingga 2002, adalah perintis sistem itu. Terhadap rencana kejaksaan yang bisa jadi membuat ia masuk bui tersebut, ia menyatakan tak gentar. ”Sudah saya siapkan semua buktinya,” katanya. Sampai pekan lalu, Romli mengaku belum mendapat kabar sepotong pun dari kejaksaan tentang statusnya.
Sejak pertengahan Oktober lalu, Kejaksaan Agung memang tengah mengusut kasus dugaan korupsi akses sistem administrasi badan hukum ini. Layanan pendaftaran nama perusahaan, pendirian, dan perubahan badan hukum melalui sistem online situs http://www.sisminbakum.com tersebut selama ini dianggap merugikan negara. Pungutan sebesar Rp 1,35 juta per pemohon sebagai biaya akses sama sekali tak masuk ke negara, tapi masuk kantong perusahaan dan sejumlah pejabat Direktorat.
Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, mekanisme ini jelas melanggar aturan, khususnya Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002, yang melarang departemen melakukan pungutan di luar yang ditetapkan undang-undang. Yang terjadi di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum itu, kata Marwan, juga melanggar Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Kejaksaan memiliki sejumlah amunisi untuk membidik kesalahan yang terjadi di direktorat tersebut. Pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab Direktorat, misalnya, ternyata dikerjakan oleh swasta dan koperasi. Fulusnya juga lari ke swasta. ”Mereka menggunakan tameng koperasi,” kata Marwan. Kalaupun tetap disebut koperasi, kata Marwan, ternyata yang disebut ”koperasi” itu manajemennya bukan koperasi. Menurut Marwan, jika koperasi, lazimnya pembagian sisa hasil usaha dilakukan tiap tahun setelah rapat anggota tahunan. ”Tapi ini uangnya dibagi tiap bulan.”
Menurut jaksa ketua tim penyidik kasus ini, Faried Haryanto, jika modus semacam ini dibebaskan, akibatnya gawat. Semua departemen akan menggunakan cara yang sama karena dianggap tak melanggar hukum. ”Apa ini tidak membuat bangkrut pemerintah,” katanya.
Romli menyangkal jika dikatakan proyek yang ia rintis itu melanggar hukum. Menurut dia, sistem layanan online yang diadakan sejak 1 Maret 2001 ini dibuat justru untuk menghindari korupsi. Layanan administrasi badan hukum, menurut dia, awalnya sarat pungutan liar karena pemohon dan petugas langsung melakukan kontak.
Nah, untuk menghilangkan praktek ini, Direktorat Administrasi Hukum Umum menciptakan terobosan: membuat layanan dengan sistem online. Tapi saat itu muncul kendala. Anggaran departemen cekak. Maka Direktorat mengundang pihak ketiga. Di sini pun muncul halangan. Sesuai dengan aturan, direktur jenderal tidak boleh mengikat kontrak dengan pihak ketiga. ”Maka ditunjuklah koperasi untuk melakukan kontrak kerja sama dengan perusahaan penyedia provider,” ujar Romli.
Kenapa harus koperasi, Romli punya alasan. Badan ini, kata dia, berpengalaman menjalin kerja sama dengan outsourcing dalam pengadaan foto dokumen keimigrasian. Pada 8 November 2000 Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Hukum pun meneken kerja sama dengan PT Sarana Rekatama Dinamika untuk membuat proyek layanan online itu. Menurut Romli, Sarana menyediakan seluruh biaya pembuatan proyek tersebut. ”Tak ada dana anggaran pendapatan dan belanja negara yang keluar sepeser pun,” ujar Romli.
Tapi, bagi kejaksaan, kontrak itu merugikan negara. Modal yang dikeluarkan perusahaan tidak sebanding dengan jangka waktu kontrak. Modal Sarana hanya US$ 2 juta, tapi kontraknya sepuluh tahun. Dalam hitungan kejaksaan, hanya dalam tiga tahun, modal yang dikeluarkan Sarana sudah kembali.
Dengan sistem online ini, pengguna juga merogoh kocek lebih dalam. Sementara sebelumnya bertarif Rp 200 ribu, dengan sejumlah fasilitas lain, tarifnya menjadi Rp 1,35 juta. Soal besarnya tarif itu, Romli menyatakan dia tak ikut campur.
Di mata Romli, PT Sarana merupa-kan perusahaan berpengalaman. Namun, dari penelusuran Tempo, perusahaan ini ternyata seumur jagung: didirikan tiga bulan menjelang penandatanganan kontrak. Roekman Prawirasastra, Komisaris PT Sarana Rekatama Dinamika yang dimintai konfirmasi soal kontrak tersebut, menolak berkomentar. Adapun ketika ditanya soal perjanjian Sarana dengan Koperasi Pengayoman, ia mengaku lupa.
Layanan Sisminbakum telah berjalan tujuh tahun. Faried memperkirakan kerugian negara karena kasus ini mencapai Rp 400 miliar. Kerugian itu dihitung dari pungutan kepada notaris Rp 1,35 juta untuk tiap permohonan. Sehari-hari para pemakai layanan itu tak kurang dari 200 orang.
Dari pungutan itu, sesuai dengan kesepakatan, 90 persen masuk ke kantong PT Sarana dan sisanya untuk koperasi. Dari 10 persen bagian, berdasarkan perjanjian Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum dan Koperasi Pengayoman, enam persen untuk pejabat Direktorat dan empat persen untuk koperasi. Pejabat yang menerima duit itu kini tengah disidik Kejaksaan Agung.
Munculnya proyek layanan online ini pernah mendapat protes dari Ikatan Notaris Indonesia. Menurut mantan pengurus Ikatan Notaris Indonesia Jakarta Timur, M.J. Widijatmoko, Ikatan Notaris memprotes karena, selain proyek itu dilakukan tanpa tender, ada pungutan tanpa Surat Keputusan Menteri Keuangan. Menurut Widijatmoko, proyek tersebut sebelumnya dipegang perusahaan yang masih berhubungan dengan seorang anak bekas Menteri Kehakiman. ”Tapi tahu-tahu di tengah jalan masuk PT Sarana,” ujarnya.
Soal duit publik yang dikeruk Sisminbakum sebenarnya bukan kali ini saja diributkan. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pernah melakukan audit pada 2001-2002, yang hasilnya tertuang dalam dokumen yang diterbitkan pada 25 April 2003. Di sana disebutkan pungutan yang dilakukan lewat Sisminbakum tidak sejalan dengan Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Laporan itulah yang, menurut sumber Tempo, akan dipakai sebagai salah satu ”kartu truf” jaksa menjerat sejumlah nama yang terlibat dalam proyek ini. ”Ada sekitar 10 pejabat dan mantan pejabat di lingkungan Direktorat Administrasi Umum yang segera akan diperiksa,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Jasman Pandjaitan.
Selain dokumen Badan Pengawasan, beberapa surat edaran Menteri Hukum dan sejumlah dokumen perjanjian pengadaan proyek itu akan dijadikan senjata tim jaksa untuk mengusut kasus korupsi ini. Surat edaran itu, misalnya, surat yang mewajibkan semua notaris memakai Sisminbakum yang dikeluarkan Romli saat menjabat direktur jenderal.
Kepada Tempo, seorang jaksa menyatakan tim sudah menemukan bukti adanya kucuran dana dari proyek itu kepada Romli, mantan direktur jenderal Zulkarnain Yunus dan direktur jenderal saat ini, Syamsuddin Manan Sinaga. Dua nama terakhir sudah menjadi tersangka.
Sumber itu berbisik, perincian pembagian uang di masa Syamsuddin, misalnya, sang direktur jenderal memperoleh jatah Rp 10 juta per bulan, sekretaris jenderal dan para direktur Rp 5 juta, serta para pejabat setingkat kepala subdirektorat Rp 1,5 juta.
Kendati demikian, para penyidik, kata sumber itu, hakulyakin dana yang mengucur ke para pejabat tidak hanya bagian dari 10 persen yang diterima koperasi, tapi juga dari dana yang masuk ke Sarana. Tim penyidik kini tengah mengusut aliran dana perusahaan tersebut. ”Dari sana bisa dilihat siapa-siapa yang menerima uang pungutan tersebut,” ujar sumber itu. ”Termasuk pejabat di level yang lebih tinggi.”
Para pejabat dan mantan pejabat Departemen Hukum, yang semestinya sangat mafhum hukum, termasuk Romli, tampaknya kini harus siap berdebat dengan para jaksa. Adakah yang mereka lakukan itu korupsi atau justru kejaksaan yang sekadar mencari-cari kasus?
Ramidi, Rini Kustiani, Cornila Desyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo