Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1>Berawal dari </font><br />Ocehan di TV

Politikus Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, ditetapkan sebagai tersangka calo anggaran. Jalan masuk membongkar mafia di Senayan.

19 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELASAN lembar kertas itu menunjukkan lalu lintas duit yang masuk dan keluar di rekening Wa Ode Nurhayati. Sepanjang satu tahun terakhir, di rekening Bank Mandiri Prioritas itu, Wa Ode paling sedikit menyetor Rp 500 juta. Nilai transaksi paling besar tercatat Rp 1,5 miliar. Sebagian arus kas masuk di simpanan berbasis layanan premium itu dikirim sekretaris Wa Ode, Sefa Yulanda. "Duit itu hasil usaha konfeksi keluarga," kata Wa Ode, Jumat pekan lalu, kepada Tempo.

Rekening itulah yang ditelisik Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Dari temuan awal PPATK, ada 21 transaksi yang dilakukan anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Amanat Nasional itu. Nilainya dari Rp 500 juta sampai Rp 4,95 miliar. Namun kategorinya transaksi biasa. Belakangan, dari penelusuran lanjutan, PPATK menemukan puluhan transaksi mencurigakan di rekening itu. Sumber Tempo menyebutkan jumlahnya Rp 40-50 miliar. Wa Ode membantah jumlah ini. "Bisa pulang kampung saya punya uang segitu," kata perempuan kelahiran Wakatobi, Sulawesi Tenggara, itu.

Laporan PPATK ini kemudian dipakai Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menguatkan pengaduan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Lembaga antikorupsi yang dipimpin Boyamin Saiman ini melaporkan Wa Ode karena diduga menerima duit Rp 6,75 miliar dari Haris Andi Surahman, orang yang mengaku sebagai pengusaha Sulawesi Tenggara. Duit itu diduga sogokan supaya Wa Ode memasukkan empat daerah yang dipesan Haris dalam daftar penerima dana penyesuaian infrastruktur pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011.

Jumat dua pekan lalu, setelah sejumlah saksi diperiksa, termasuk Haris dan pemimpin Badan Anggaran, Wa Ode ditetapkan sebagai tersangka kasus tersebut. Sebelumnya, ia dicegah-tangkal ke luar negeri. Selain politikus 30 tahun ini, tiga orang sudah dicekal karena diduga terlibat kasus itu. Mereka adalah sekretaris Wa Ode Nurhayati, yakni Sefa Yulanda; Haris; dan Ketua Generasi Muda Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (Gema MKGR) Fahd A. Rafiq. Organisasi Fahd itu binaan Partai Golongan Karya. Ia disebut-sebut orang dekat Wakil Ketua DPR dari Golkar, Priyo Budi Santoso. Priyo sendiri membantah dekat dengan Fahd.

Wa Ode mengaku tak habis pikir terhadap penetapan dia sebagai tersangka. Selama ini ia getol "bernyanyi" perihal mafia proyek di Badan Anggaran DPR. Penetapan itu juga dinilai Wa Ode janggal. Selama ini ia tidak pernah dipanggil KPK untuk diperiksa. "Saya dijebak," katanya.

Senin pekan lalu, Wa Ode mendatangi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Ia merasa dikorbankan sejawatnya di Badan Anggaran setelah lantang meneriakkan calo proyek di Badan Anggaran. Karena Wa Ode berstatus tersangka, LPSK kesulitan melindungi anggota Komisi Energi DPR itu, kecuali, kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, ada izin dari KPK. Syaratnya, Wa Ode harus menyerahkan dokumen tudingannya soal calo Badan Anggaran itu. "Senin pekan ini rencananya akan diserahkan," kata Abdul Haris.

Adapun Sefa, kendati baru dicekal, sudah merasa menjadi tersangka. Menurut salah seorang teman dekatnya, Sefa—yang tahun depan akan menikah—kini stres. Dua pekan belakangan ini ia menghilang dan tidak masuk kerja. Pengacara Sefa, Wa Ode Zaenab, membenarkan soal itu. "Ia stres berat."

Sedangkan Fahd mengaku bingung terhadap pencekalannya. Anak penyanyi dangdut, A. Rafiq, ini mengaku tak pernah ikut campur dalam pembahasan anggaran di DPR. Pria yang bergelut di dunia manajemen artis ini memang mengenal sejumlah politikus Golkar karena menjabat Ketua Gema MKGR. Yang ia kenal itu, antara lain, Ketua Badan Anggaran Melchias Markus Mekeng.

l l l

SEMUA berawal dari acara Mata Najwa di Metro TV, akhir Mei lalu. Di acara itu, Wa Ode buka-bukaan soal praktek percaloan di Badan Anggaran. Ia juga menyebutkan peran pemimpin Dewan dalam percaloan itu. Ocehan Wa Ode ini membuat pimpinan Badan Anggaran dan Ketua DPR Marzuki Alie meradang. Marzuki lalu melaporkan Wa Ode ke Badan Kehormatan.

Serangan berikutnya dilancarkan Haris Andi Surahman. Ia mengadukan politikus asal Sulawesi Tenggara itu ke Badan Anggaran pada 30 Mei lalu. Empat pemimpin Badan Anggaran—Melchias Markus Mekeng, Mirwan Amir, Olly Dondokambey, dan Tamsil Linrung—menerima pengaduan itu.

Kepada pimpinan Badan Anggaran, Haris mengaku pernah mengajukan proposal permintaan dana penyesuaian infrastruktur daerah untuk tiga kabupaten: Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Bener Meriah. Satu lagi Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Haris mengaku datang langsung ke ruangan Wa Ode di lantai 19 gedung DPR pada Oktober 2010.

Haris meminta Wa Ode mengupayakan empat daerah itu masuk daftar penerima dana penyesuaian infrastruktur APBN 2011. Wa Ode, menurut Haris, bersedia membantu. Syaratnya, Wa Ode meminta jatah 5-6 persen. Dari saweran sejumlah pengusaha di empat daerah itu, Haris mengaku mengumpulkan Rp 6,75 miliar. Dua pekan sebelum pembahasan anggaran, Haris mengatakan ia menyerahkan duit Rp 6,75 miliar itu kepada Sefa secara bertahap. Duit diserahkan di Bank Mandiri cabang DPR. Buktinya, kata dia, dicatat Sefa.

Belakangan, setelah penyusunan anggaran kelar, Haris tak menemukan empat daerah pesanannya di daftar penerima dana infrastruktur. Ia beberapa kali meminta agar uang itu dikembalikan. "Masih kurang Rp 1,67 miliar," katanya.

Nah, menurut sumber Tempo, dana pengembalian itu sebenarnya dikirim ke Fahd. Sebab, belakangan, kata dia, diketahui duit Haris itu duit Fahd. Dari bukti transfer Bank Mandiri, setidaknya ada Rp 2 miliar yang dikirim Sefa ke Fahd. Pengiriman dilakukan sekitar September-Oktober 2010. Setiap kali transaksi jumlahnya Rp 500 juta. Fahd sendiri mengaku tak tahu-menahu kasus Wa Ode ini.

Para pemimpin Badan Anggaran juga menerima pengaduan Bahar, yang mengaku diserahi kuasa beberapa pihak untuk menagih uang kepada Wa Ode. Di depan petinggi Badan Anggaran, Bahar menceritakan kliennya, seorang pengusaha di Kota Palu, Sulawesi Tenggara, meminta bantuan salah seorang anggota Dewan agar daerahnya menerima dana infrastruktur APBN 2010. Oleh anggota Dewan itu, pengusaha ini dikenalkan kepada Wa Ode. Menurut Bahar, pengusaha itu menyetor Rp 2,7 miliar.

Setelah menerima pengaduan itu, Badan Anggaran melalui pimpinan DPR meminta PPATK menelisik rekening Wa Ode, Sefa, Haris, dan Bahar. Pada Agustus lalu, PPATK mengirim hasil analisisnya ke DPR. Namun, dari salinan laporan PPATK ke DPR itu, tidak ada satu pun pernyataan yang menyebutkan 21 transaksi yang dilakukan Wa Ode mencurigakan. PPATK justru menemukan 2.000 lebih transaksi mencurigakan anggota Badan Anggaran lain.

Wa Ode mengaku ia memang pernah dua kali bertemu dengan Haris, yang meminta dia meloloskan alokasi dana untuk empat kabupaten itu. Namun ia mengaku selalu menolaknya. Sefa juga menyatakan pernah bertemu dengan Haris di ruang bosnya. Tapi ia membantah jika disebut menerima uang dari Haris (majalah Tempo edisi 13 Juni 2011). Keduanya hanya mengaku dititipi, setelah itu langsung dikembalikan ke Haris. "Nilainya pun hanya Rp 2 miliar," kata Wa Ode.

Soal bukti penerimaan dana Bank Mandiri yang tulisan tangannya mirip tulisan Sefa, keduanya menganggap itu merupakan bagian dari rekayasa. Saat dihubungi Tempo pada Kamis pekan lalu, Haris enggan berkomentar soal cerita itu. "Saya sibuk sekarang," katanya. Wa Ode juga membantah cerita Bahar.

Transaksi senilai Rp 4,95 miliar di rekeningnya, kata Wa Ode, hanya perpindahan. Ia mengaku satu kali transaksi rata-rata Rp 500 juta. Duit itu, kata dia, dari usaha konfeksi keluarga dan dana hasil penjualan mobil. "Saya sudah kaya sebelum di DPR," katanya. KPK mulai membidik Wa Ode sejak MAKI melaporkan perempuan itu sebagai calo anggaran. Bahan laporan Haris dan Bahar juga dijadikan dasar.

Boyamin Saiman mengatakan KPK juga sudah punya modal mengungkap mafia besar di Badan Anggaran. Modalnya, kata dia, adalah laporan PPATK yang menemukan ribuan transaksi beberapa anggota Badan Anggaran. "Supaya tidak berhenti di Wa Ode."

Sumber Tempo mengatakan semula KPK memposisikan Wa Ode sebagai orang yang bisa membantu mengungkap mafia besar di Badan Anggaran. Antara Agustus dan September, kata sumber Tempo, Wa Ode dijemput dua penyidik KPK di rumahnya di Jalan Guntur, Menteng, Jakarta Pusat, untuk dimintai informasi guna membongkar sindikat mafia anggaran. "Anehnya, kenapa belakangan ia jadi tersangka," kata sumber itu.

Anton Aprianto, Febriyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus