Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=brown><B>Jamsostek</B></font><BR />Tersandung Surat Utang

Kejaksaan segera melimpahkan kasus korupsi yang melibatkan mantan pemain sepak bola Eddy Sofyan ke pengadilan. Pengacaranya berkukuh, ini masalah perdata.

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EDDY Sofyan bisa jadi akan ”pensiun” panjang dulu sebagai komentator sepak bola. Setelah dia ditahan sekitar tiga bulan di penjara Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Kepolisian RI, berkas perkaranya kini menuju ujung selesai. ”Kami sedang menyiapkan dakwaannya,” kata Direktur Penuntutan Umum Direktorat Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Salman Maryadi, Kamis pekan lalu. Sebelumnya, berkas kasus ini sempat mondar-mandir tiga kali dari kepolisian ke kejaksaan. ”Karena kurang lengkap,” kata Salman.

Mantan pemain sepak bola yang sering muncul di layar kaca sebagai komentator sepak bola ini bakal terkena tuduhan korupsi dana Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Jika tuduhan itu terbukti, Eddy bakal mengikuti jejak Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Nurdin Halid, yang kini mendekam di penjara karena kasus korupsi pengadaan minyak goreng.

Kasus yang membelit Eddy, 50 tahun, bermula dari pinjaman dana Jamsostek senilai Rp 33 miliar oleh PT Volgren Indonesia, perusahaan miliknya. Pinjaman tersebut diperoleh dengan mekanisme penerbitan medium term notes (MTN) atau surat utang berjangka menengah pada Juli 2001. Dana ini akan dipakai untuk membenahi armada Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD).

Sebelumnya, pada Maret 2001, selaku Direktur Utama PT Volgren, Eddy menandatangani kerja sama dengan PPD. Dalam perjanjian yang berlangsung hingga 2006 itu, Volgren akan menyediakan 300 unit bus secara bertahap. Sedangkan PPD wajib menyediakan, antara lain, tanah dan bangunan berikut fasilitasnya di depo Cawang, Jakarta Timur. Keuntungan dari kerja sama operasi bus berpenyejuk udara itu akan dibagi dua.

Berbekal MTN inilah Eddy mengajukan pinjaman ke Jamsostek. Jamsostek setuju. Pada Juli 2001, perjanjian jual-beli MTN Jamsostek dan Volgren ditandatangani. Maka duit pun mengalir ke Volgren.

Tapi yang dilakukan Eddy untuk PPD ini ternyata tak seperti yang dibuat di atas kertas. Pengadaan bus, misalnya, ternyata tak lebih dari 20 buah. Duit dari Jamsostek mengucur ke mana-mana. Bukan untung yang didapat, melainkan utang yang tak bisa dibayar. Volgren hanya sanggup memenuhi kewajiban membayar utangnya ke Jamsostek senilai Rp 3 miliar. ”Eddy sendiri langsung meninggalkan begitu saja PPD,” kata mantan anggota direksi PPD, Gani Kamaluddin.

Pada 2005, Eddy mulai diperiksa Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kala itu dipimpin Hendarman Supandji. Kasus Eddy terkuak setelah kejaksaan memeriksa kasus korupsi PT Jamsostek yang membuat Direktur Utama Jamsostek Ahmad Djunaidi divonis delapan tahun penjara. Karena pada Mei 2007 Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bubar, kasus PT Volgren ini pun dipegang Bareskrim. Pertengahan Desember lalu, aparat Bareskrim membekuk Eddy di rumahnya di Cirebon. Sejak itulah ia mendekam di tahanan Bareskrim.

Pengacara Eddy, Rifwaldi Rivai M. Noer, menegaskan kasus yang menimpa kliennya bukan kasus korupsi. ”Ini masalah perdata,” ujarnya. Menurut Rifwaldi, Eddy sudah menyerahkan sejumlah aset, termasuk rumah dan tanahnya seluas 14 ribu hektare di Subang, untuk membayar utangnya. ”Sisanya akan dibayar secara mengangsur.”

Jamsostek, kata Rifwaldi, juga tak bisa lepas tanggung jawab dalam kasus ini. Walau proposalnya untuk membeli bus, ternyata Jamsostek, ujar Rifwaldi, menyatakan dana Rp 33 miliar itu untuk modal kerja. ”Duit itu akhirnya dipakai macam-macam oleh PPD, dari menyewa kantor hingga membayar gaji karyawan dan gaji direksi.”

Gani Kamaluddin membantah jika duit itu dikatakan habis untuk mem-biayai PPD. Pengeluaran Volgren untuk PPD, kata dia, tak sebanding dengan dana yang diraup Eddy dari Jamsostek. ”Dia tidak membeli bus baru, hanya memperbaiki bus yang rusak,” ujarnya. Jumlahnya pun, menurut dia, ”Kurang dari 20 unit.” Saat meninggalkan PPD, kata Gani, Eddy meninggalkan banyak kewajiban. ”Ada bus dan gaji karyawan yang belum dibayar.”

Direktur Tindak Pidana Korupsi Mabes Polri Brigadir Jenderal Yose Rizal membantah jika kasus Eddy disebut masalah perdata. Menurut dia, aliran dana kasus ini terang-benderang. ”Selain dia tidak menggunakan dananya sesuai peruntukan, uang yang digunakan uang negara,” kata Yose. Menurut Yose, dari dana yang turun, Eddy hanya memutarkan Rp 10 miliar untuk kebutuhan PPD. Yang lainnya masuk rekening pribadi, yang kemudian dia pindah-pindahkan lagi. ”Ini yang membuat kami lama mengusut kasus tersebut.”

Polisi juga menemukan penyimpangan lain. Perjanjian antara PT Volgren dan Jamsostek tidak melalui mekanisme pemberian pinjaman yang lazim, tapi hanya perjanjian antara Eddy dan Ahmad Djunaidi. ”Jadi, kalau induknya sudah kena, anaknya kena, dong,” katanya.

Ramidi dan Dianing Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus