Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Selesai di Sini, Dihadang di Sana

Pengusaha properti Tan Kian mengembalikan duit Asabri sekitar Rp 120 miliar. Tapi ada dua kasus lainnya yang menunggu.

17 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUIT itu sudah menggerojok ke rekening Kejaksaan Agung di Bank Rakyat Indonesia Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jumlahnya sekitar US$ 13 juta, setara dengan Rp 120 miliar. Dikirim salah satu penguasa properti Ibu Kota, Tan Kian, Selasa pekan lalu, itulah duit milik PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) yang dipakai Tan bersama Henry Leo membeli Plaza Mutiara yang ternyata milik Tan Kian juga.

Sehari sebelumnya Tan Kian datang ke Kejaksaan Agung. Pemilik, antara lain, Hotel J.W. Marriott, Hotel Ritz Carlton, dan Plaza Lippo itu muncul di Gedung Bundar setelah tiga kali absen memenuhi panggilan kejaksaan. Datang dengan sejumlah pengawal dan pengacaranya, selama delapan jam ia diperiksa. Sejak Januari lalu kejaksaan telah menetapkan status tersangka kepada pria 51 tahun ini. ”Putra mahkota” Tan Hin Chung, pemilik Dumaco Group, salah satu pemain terbesar industri kimia itu menjadi tersangka kasus korupsi dana Asabri.

Pada saat pemeriksaan itulah, deal antara jaksa Gedung Bundar dan Tan Kian terjadi. ”Tan Kian berkeras, dia jadi korban Henry Leo,” ujar sumber Tempo di kejaksaan. Tan sendiri, menurut sumber itu, mengaku aktivitas bisnisnya terganggu lantaran terbelit kasus ini. Maka, Senin pekan lalu, disusunlah skema penyelesaian kasus duit Asabri tersebut. Tan Kian mengembalikan duit itu ke Henry, lantas dari sini duit itu dipulangkan ke Asabri. Nah, lantaran tak mungkin duit itu masuk ke kantong Henry, status duit itu pun dititipkan ke kejaksaan. ”Imbal-baliknya, Tan Kian minta status tersangkanya dicabut,” ujar sumber itu.

Pada Kamis pekan lalu, Tan Kian muncul di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Hadir sebagai saksi dalam sidang Mayor Jenderal (Purn.) Subarda Midjaja, bekas Direktur Utama Asabri, Tan datang didampingi sekitar empat pengawal. Ketika ketua majelis hakim Sarpin Rizaldi bertanya dari siapa muncul ide ia harus menyerahkan duit US$ 13 juta ke kejaksaan yang kemudian akan diberikan lagi ke Asabri, Tan menjawab lugas, ”Ide itu datang dari kejaksaan.”

l l l

ADALAH pertemuan Tan dengan Henry Leo pada 1996 yang membawa raja properti ini masuk ”pusaran” duit Asabri. Dikenalkan seorang pengusaha, Tan dan Henry Leo sepakat mendirikan PT Cakrawala Karya Buana. Di sini Henry yang menguasai mayoritas saham duduk sebagai direktur utama, sedangkan Tan sebagai komisaris.

Menurut salah seorang jaksa yang memegang kasus Asabri, di sini lantas terjadi kongkalikong. Cakrawala membeli ”Plaza Mutiara” milik Tan Kian yang kala itu wujudnya baru berupa hamparan tanah 17 ribu meter persegi di daerah Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Harga yang disepakati US$ 26 juta (sekitar Rp 240 miliar). Plaza itu sendiri kini tumbuh berwujud gedung megah 17 lantai.

Nah, untuk membeli plaza belum berbentuk itulah, Henry lantas mengeluarkan duit Asabri dari rekening BNI US$ 13 juta. Jumlah ini hanyalah sebagian dari duit Asabri Rp 410 miliar yang kini ”tercecer” di mana-mana dan tengah diusut kejaksaan. Pembayaran untuk membeli Plaza Mutiara itu diangsur dua kali. Pertama US$ 3 juta dan sepekan kemudian US$ 10 juta. Semua duit dikirim ke rekening PT Permata Birama Sakti, perusahaan yang pucuk pimpinannya dipegang Tan. Untuk meyakinkan Asabri bahwa duit yang ditanamkan ke properti itu bakal menangguk untung, Henry mengajak Subarda ke Mega Kuningan. ”Henry bilang, dialah pemilik bangunan itu,” kata Subarda, Kamis pekan lalu.

Untuk mencukupi sisanya, Cakrawala meminjam duit ke Bank Internasional Indonesia. BII setuju mengucurkan kredit construction loan dengan syarat ada jaminan dari Tan Kian. ”Karena BII tak mengenal Henry,” ujar sumber Tempo. Dana BII pun kemudian turun bertahap. Dimulai April 1997, setelah berjalan sepuluh bulan dengan jumlah sekitar US$ 10 juta, dana itu diberhentikan Henry. Alasan Henry, duit yang dikirim itu ternyata digelontorkan ke rekening PT Permata, bukan ke Cakrawala. ”Setelah itu Henry menghilang,” kata Tan. Lantaran pembayaran mandek, Tan menganggap wanprestasi. ”Plaza itu tetap milik PT Permata,” ujarnya.

Namun ada yang ganjil di sini. Kendati duitnya berjumlah jumbo, tak ada selembar pun sertifikat yang dipegang Bank International Indonesia sebagai agunan. Sekitar 40 sertifikat sebagai landasan hak pemilikan plaza itu disimpan adik Tan Kian di Singapura. Tatkala krisis moneter meruyak pada 1998, kredit Cakrawala di BII ini diambil alih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Belakangan, hak tagih kredit ternyata dibeli lagi oleh Tan Kian dengan harga miring, sekitar US$ 2,5 juta (Tempo, edisi 24 Februari 2008). Kepada Tempo, seorang sumber yang mengusut kasus ini menyatakan, dengan harga semurah itu, negara dirugikan US$ 8 juta.

Inilah yang membuat Tan Kian berurusan dengan kejaksaan. Sepanjang Juni hingga Juli 2007, Tan diperiksa tiga kali di kejaksaan. Pada Februari 2007 kejaksaan menetapkannya sebagai tersangka sekaligus meminta Direktorat Imigrasi mencekalnya. Ketika status itu turun, ternyata Tan sudah di luar negeri.

Satu-satunya yang diharapkan, Tan Kian kini lepas dari kasus ini. ”Secara perdata harusnya demikian,” ujar Denny Kailimang, pengacara Tan. Menurut Denny, kliennya tak hanya sudah mengembalikan duit, tapi juga menyelamatkan uang Asabri. ”Itikad baiknya harus dihargai,” ujar Denny. Kejaksaan sendiri belum melepas status tersangka Tan. ”Menurut undang-undang, walau sudah mengembalikan uangnya, bukan berarti unsur pidananya hapus,” kata Direktur Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Salman Maryadi. Tan Kian menegaskan, dirinya tak tahu duit pembelian Plaza Mutiara itu milik Asabri. ”Saya baru tahu setahun lalu dari majalah dan koran-koran,” ujarnya.

Soal ”tahu” dan ”tidak tahu” asal dana itu sangat penting dalam kasus ini. Seorang penyidik menyatakan, kejaksaan sampai kini masih terus menelisik, Tan Kian bohong atau tidak dalam soal ini. ”Jika ada bukti dia tahu itu duit Asabri, dia bisa masuk. Tuduhannya, ya, melakukan korupsi bersama-sama,” ujarnya. Tapi, Henry Leo menegaskan, Tan Kian tahu dana itu dari Asabri.

Seandai pun lolos dalam kasus ini, bukan berarti Tan Kia bersuka cita. Kejaksaan kini bersiap melemparkan peluru kedua, kasus pinjaman BII. Untuk yang ini, dua pekan lalu Kejaksaan Agung sudah memeriksa mantan Presiden Direktur BII, Indra Wijaya. Indra dicecar pertanyaan seputar kredit BII untuk Cakrawala yang tanpa ada jaminan sertifikat selembar pun.

Jika di sini pun Tan Kian lolos, kejaksaan sudah bersiap lagi dengan jerat terakhir: pengambilalihan hak tagih dari BPPN. Tak hanya Tan Kian yang bisa terjerembap, kasus ini kemungkinan besar merembet ke mana-mana. ”Bisa ramai, menyeret orang-orang BPPN,” ujar jaksa itu. Tapi, terhadap ”ancaman” ini, Denny tak gentar. ”Tidak ada pelanggaran yang dilakukan Tan dalam kaitannya dengan BPPN,” kata Denny. ”Akan saya buktikan, perusahaan yang membeli hak tagih itu bukan punya Tan seperti yang disebut-sebut,” tutur Denny.

L.R. Baskoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus