Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=brown><B>Kasus Astro</B></font><BR />Membidik Sejawat Iqbal

Satu per satu anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Mohammad Iqbal diduga tak main sendiri.

13 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBULAN terakhir ini rasa tenang tak lagi dimiliki Anna Maria Tri Anggraeni. Hampir setiap hari pikirannya terusik oleh kasus yang menimpa Mohammad Iqbal. Sejawatnya di Komisi Pengawas Persaingan Usaha ini ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pertengahan September lalu setelah menerima duit Rp 500 juta dari Billy Sindoro, eksekutif Grup Lippo. ”Saya terganggu dengan masalah ini,” ujar pakar hukum yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu.

Anna, Iqbal, dan satu lagi anggota Komisi Pengawas, yaitu Benny Pasaribu, adalah tim majelis yang memutus perkara monopoli Liga Inggris oleh stasiun televisi berbayar Astro Nusantara. Sebagai ketua majelis, Anna jelas menjadi sorotan, setelah Iqbal dinyatakan sebagai tersangka. ”Orang berpikir, anggotanya saja diberi suap, bagaimana dengan ketuanya?” kata Anna. Sejak Iqbal ditangkap, Anna sudah beberapa kali diperiksa Komisi Pembe-rantasan sebagai saksi.

Kamis, sepekan sebelum Lebaran, Komisi Pemberantasan memintanya datang. Di sana Anna dicecar 13 pertanyaan. Selain itu, dua komisioner dimintai keterangan hari itu, yaitu Tadjuddin Noer Said dan Tresna P. Soemardi, Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Ikut diperiksa pula Kepala Subdirektorat Pemberkasan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Farid Nasution dan investigator Dini Melanie. Sehari kemudian, giliran anggota komisioner Benny Pasaribu yang diperiksa.

Semuanya dimintai keterangan seputar pemberian duit terhadap Iqbal yang terjadi di Hotel Aryaduta sebulan lalu. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra Hamzah yakin uang itu berhubungan dengan putusan Komisi Pengawas tentang monopoli Liga Inggris pada saluran televisi berbayar Astro, yang ikut ditentukan Iqbal. ”Pemberian uang terkait dengan perkara tersebut,” ujar Hamzah. Tapi, lewat pengacaranya masing-masing, Iqbal dan Billy membantah adanya praktek busuk itu. ”Itu mungkin tanda terima kasih dari Billy,” kata Maqdir Ismail, pengacara Iqbal.

Dugaan suap di Komisi Pengawas semakin kuat ketika Tadjuddin Noer, setelah diperiksa komisi antikorupsi, mengungkapkan bahwa Billy sering datang ke kantornya. Orang kepercayaan James Riady ini, kata dia, kerap membicarakan kasus yang tak ada hubungannya dengan Lippo. ”Ini memang aneh,” ujarnya. Tapi ia tutup mulut ketika ditanyai ihwal ada-tidaknya ”campur tangan” Billy dalam pengambilan putusan kasus Astro.

Kasus monopoli Liga Inggris, yang lebih populer dengan nama ”kasus Astro”, ini adalah buntut pengaduan Indovision, Telkomvision, dan Indosat Mega Media pertengahan tahun lalu. Tiga stasiun televisi berbayar itu mengaku merugi karena tidak bisa menyiarkan pertandingan yang sudah dimiliki secara eksklusif oleh Astro, yang dikelola PT Direct Vision, musim 2007-2010. Direct adalah perusahaan patungan antara Grup Lippo dan Astro Malaysia.

Setelah pemeriksaan kasus selama tujuh bulan, pada 29 Agustus lalu Komisi Pengawas mengeluarkan putusan yang isinya menyalahkan perjanjian yang dibuat All Asia Multimedia Network (anak usaha Astro Malaysia) dan ESPN (penjual hak siar Liga Inggris) karena menyebabkan monopoli. Adapun Direct tidak dinyatakan bersalah. Komisi Pengawas bahkan mengeluarkan perintah agar All Asia tetap memberikan content siaran kepada Direct.

Perintah tersebut dikeluhkan oleh Astro Malaysia, yang belakangan bersengketa dengan Lippo soal kepemilikan Direct. Sumber Tempo menduga erat kaitan antara duit yang diterima Iqbal dan putusan yang dihasilkan Komisi Pengawas. Komisi Pemberantasan pun tengah menyelisik kemungkinan bahwa Iqbal—yang sudah ditetapkan menjadi tersangka—tidak bertindak sendirian. Itu sebabnya Komisi Pemberantasan memeriksa empat koleganya sesama komisioner.

Majelis pemeriksa kasus Astro awalnya beranggotakan Anna, Iqbal, dan Tresna. Belakangan, Juli lalu, Tresna digantikan Benny Pasaribu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat 1999-2004.

Menurut sumber Tempo yang mengikuti proses pemeriksaan itu, dalam memeriksa perkara tersebut Benny kerap menekan dan menyalahkan Astro. Benny tidak bisa dimintai keterangan soal tuduhan ini. Telepon selulernya tak pernah diangkat, pesan pendek juga tak ia balas. Didatangi ke kantornya Jumat pekan lalu, Benny ternyata tak masuk kantor. ”Sudah dua hari tidak masuk,” ujar seorang anggota staf Komisi Pengawas. Sekretaris Benny, Sri Mulyani, menyatakan bosnya sedang ke luar kota. ”Pertanyaan Anda nanti saya teruskan ke beliau,” ujarnya.

Menurut Anna, sikap Benny seperti yang dikatakan sumber Tempo itu tak lepas dari sikap Astro yang tidak konsisten memberikan keterangan sehingga kerap memancing emosi anggota Komisi Pengawas. ”Mungkin Pak Benny lebih ekspresif, tapi bukan memojokkan,” kata Anna.

Sebelum menjadi komisioner Komisi Pengawas, Benny lebih mencorong sebagai politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ia sempat menjadi Ketua Komisi Keuangan. Ia tak lagi berkantor di Senayan setelah gagal terpilih pada Pemilihan Umum 2004. Pria 50 tahun itu sempat mencoba kembali peruntungannya di dunia politik pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara, April lalu. Diusung PDI Perjuangan, ia maju sebagai calon wakil, tapi kalah.

Sebelumnya, Benny mengatakan bahwa dirinya sama sekali tak tahu-menahu adanya suap dalam proses pengambilan putusan Astro tersebut. ”Saya masuk satu bulan menjelang pengambilan keputusan,” kata Benny, yang pernah menjadi Ketua Panitia Anggaran di Dewan. Jajaran pemimpin Komisi Pengawas pun membantah jika dikatakan ada pengaruh suap dalam putusan itu, meski mengakui bisa saja dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk mengail keuntungan.

Ihwal pergantian personel anggota majelis, Ketua Komisi Pengawas Syamsul Maarif mengatakan itu adalah hal biasa. Pergantian Tresna oleh Benny sebelum pengambilan putusan, kata Syamsul, dilakukan sesuai dengan aturan. ”Pergantian personel tidak aneh dan selalu dilakukan,” ujarnya. Itu, kata Syamsul, untuk menjaga anggota majelis agar tetap netral. ”Orang yang berbeda diharapkan bisa lebih kritis, menjamin obyektivitas,” ucapnya.

Menurut Syamsul, pergantian personel dilakukan dalam setiap perkara. ”Paling sedikit sekali, dan jika dimungkinkan, dua personel diganti.” Perihal siapa yang diganti dan menggantikan diatur oleh Direktorat Penegakan Hukum Komisi Pengawas. Toh, pergantian yang biasa ini kini menjadi sorotan setelah Iqbal tertangkap dengan segepok duit di tangannya.

Adek Media, Munawwaroh, Vennie Melyani, Sutarto, Cheta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus