Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bertahan atau Karam

13 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bursa Efek Indonesia sedang terpuruk. Bahkan otoritas institusi ini terpaksa menghentikan kegiatan perdagangan saham sejak Rabu pekan lalu karena derasnya penurunan indeks. Rencana membuka kembali bursa ini dua hari kemudian juga dibatalkan karena rontoknya nilai saham di semua penjuru dunia dikhawatirkan telah mencuatkan wabah panik. Khalayak pun mulai bertanya-tanya: inikah pertanda awal akan runtuhnya perekonomian Indonesia?

Jawabnya ternyata amat bergantung pada antisipasi yang dilakukan pemerintah dan sikap para pelaku pasar negeri ini.

Bahwa tsunami ekonomi yang dipicu oleh gempa keuangan di Amerika Serikat ini akan menggapai Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Namun tentang bagaimana dampak yang ditimbulkannya akan bergantung pada banyak hal, terutama pada sikap pemerintah dan pelaku pasar dalam menghadapinya.

Pemerintah, misalnya, punya sejumlah pilihan sulit yang harus segera diputuskan. Utamanya adalah dalam menentukan prioritas siapa yang wajib dilindungi dan siapa yang boleh dikorbankan. Di Amerika Serikat, Presiden Bush telah menyuarakan keputusannya: melakukan semua upaya agar krisis di Wall Street tak melebar ke main street (kalangan awam).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya telah menyiratkan sikap yang sama ketika mengumumkan sepuluh arahan tindakan kepada para pembantunya, Senin pekan lalu. Bila arahan ini dilaksanakan secara konsisten, amat dimungkinkan Indonesia akan lebih berhasil membatasi dampak krisis ekonomi global kepada para pemilik dan pedagang saham saja, sekaligus mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi di sektor riil.

Ini bukan karena Indonesia lebih hebat daripada Amerika Serikat, melainkan karena porsi anggota masyarakat yang terlibat dalam perdagangan saham di kedua negara berbeda. Hampir semua pemilik tabungan di negeri Presiden Bush mempunyai investasi terkait dengan pergerakan indeks bursa efek, sedangkan di Indonesia hanya segelintir warga berinvestasi di sektor ini. Mereka kalangan berkantong tebal yang beberapa tahun terakhir telah meraup rezeki besar dari investasinya di berbagai bursa saham dunia, termasuk di Bursa Efek Indonesia, yang kinerjanya sempat amat kinclong hingga dinobatkan majalah Fortune sebagai sepuluh bursa terbaik tahun 2006.

Kendati jumlahnya kecil, mereka—harus diakui—merupakan kalangan berpengaruh. Buktinya terlihat dengan keberhasilan kelompok ini meyakinkan pemerintah untuk melakukan intervensi di bursa. Akhir pekan lalu, misalnya, pemerintah mengumumkan penyediaan dana Rp 4 triliun untuk membeli kembali saham badan usaha milik negara di Bursa Efek Indonesia. Belakangan jumlahnya bahkan ditingkatkan menjadi Rp 14 triliun alias hampir sama dengan nilai total program Bantuan Langsung Tunai bagi kalangan termiskin di republik ini.

Majalah ini berharap pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan tersebut. Tak kurang dari Joseph Stiglitz, peraih anugerah Nobel di bidang ekonomi dan mantan kepala ekonomi Bank Dunia, menyarankan pemerintah tak mensubsidi para pemain saham. Mereka adalah kalangan berpunya yang seharusnya telah memahami risiko pasar. Selain itu, masuknya dana segar dari pemerintah ini rawan disalahgunakan para spekulator, terutama pemain short selling, justru sebagai amunisi untuk menurunkan indeks.

Pemerintah sebenarnya cukup menyikapi turunnya indeks Bursa Efek Indonesia dengan upaya komunikasi kepada masyarakat. Yaitu dengan menjelaskan bahwa pada akhirnya nilai saham pasti akan kembali menaik karena mayoritas perusahaan publik di negeri ini melakukan kegiatan produksi yang nyata, seperti memproduksi makanan, komoditas dasar, jasa telepon, atau perumahan. Dalam kondisi apa pun kebutuhan akan produksi perusahaan-perusahaan ini akan tetap ada.

Pemerintah sebaiknya menggunakan semua dana yang ada untuk menggerakkan sektor riil, yang kini terancam kekeringan likuiditas akibat krisis keuangan global. Peran pemerintah dalam sektor fiskal ini menjadi makin vital karena sedang terjepitnya posisi Bank Indonesia untuk membantu. Di satu sisi bank sentral kini terpojok untuk menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia demi menjaga nilai tukar rupiah yang tertekan oleh kaburnya dana panas asing dari Indonesia, di sisi lain sektor perbankan justru sedang menjaga ketat likuiditas masing-masing hingga mengurangi pasokan ke dunia usaha.

Dalam kondisi ini, bila kucuran dana pemerintah dilakukan dengan cepat dan tepat, suasana kepanikan akan mereda dan momentum pertumbuhan roda ekonomi nasional akan terjaga. Yang perlu segera didorong adalah memastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dapat dilaksanakan tepat waktu dan sasaran. Selain itu, pemerintah diperkirakan mempunyai dana lebih di sektor subsidi bahan bakar minyak dan listrik karena menurunnya harga minyak dunia. Dana ini sebaiknya untuk menggerakkan berbagai proyek padat karya.

Apabila semua hal ini dilakukan, kedatangan gelombang tsunami ekonomi dari Amerika Serikat tak akan membuat perahu ekonomi Indonesia karam, malah mempercepat laju pelayarannya ke pelabuhan tujuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus