Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bau bahan kimia memenuhi bangunan berukuran 400 meter persegi di Kampung Karanggan Tua, Gunung Putri, Bogor. Sejumlah drum dan jeriken berisi cairan kimia teronggok di sudut ruangan. Suasana pabrik beratap biru muda itu terlihat lengang, tanpa kegiatan. Hanya ada beberapa orang penunggu bangunan di atas tanah seluas lapangan futsal itu. ”Sementara kegiatan berhenti,” kata Edo, salah satu penunggu bangunan, yang ditemui Tempo, Kamis pekan lalu.
Inilah pabrik Dehasa Kimia, yang dua bulan lalu menjadi sasaran penggerebekan polisi Direktorat Narkotika Polda Metro Jaya. Selain menyita sejumlah bahan kimia dari sana, polisi mengangkut direktur sekaligus pemilik pabrik, Dedy Hariansah, 33 tahun.
Lelaki dua anak ini digelandang polisi setelah petugas mencium keterlibatannya dalam jual-beli prekusor jenis efedrin, bahan utama pembuatan narkotik jenis sabu-sabu. Informasi diperoleh setelah polisi membekuk tersangka penjual zat kimia berinisial SM, di depan Pasar Kambing, Jalan H Sabeni, Tanah Abang, Jakarta Pusat, awal April lalu.
Menurut Kepala Satuan Obat dan Bahan Berbahaya Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Krisno H. Siregar, pihaknya penasaran dengan banyaknya temuan efedrin di setiap penggerebekan pabrik sabu-sabu jenis rumahan. Polisi pun mendeteksi peredaran barang prekusor itu di kalangan pemain narkoba. Suatu ketika, kata Krisno, anak buahnya menginformasikan ada seseorang menawarkan efedrin. Polisi pun tertarik memburu barang itu. Tapi negosiasi pembelian prekusor itu alot. ”Sebulan transaksi baru deal,” kata Krisno.
Awalnya, mereka ragu ada seseorang menawarkan efedrin dalam bentuk bubuk murni. Efedrin di pasar gelap jamaknya hasil ekstraksi obat-obatan semacam obat flu dan maag. ”Jarang ditemukan dalam bentuk bubuk murni seperti ini,” kata Pelaksana Harian Direktur Narkoba Polda ini. Apalagi saat itu tersangka menawarkan dengan harga miring. Untuk dua kilogram efedrin, ia menawarkan Rp 2 juta. Menurut Krisno, di pasar resmi harga barang itu sekitar US$ 100. Tapi di pasar gelap harganya bisa mencapai Rp 20-25 juta per kilogram.
Meski sempat ragu, polisi membeli barang itu tiga kilogram seharga Rp 3 juta. Bubuk putih itu langsung diperiksa di laboratorium forensik, dan ternyata positif efedrin. Setelah meyakini keaslian barang tersebut, polisi bergerak membekuk tersangka, yang bekerja sebagai kepala gudang perusahaan agen bahan kimia di Tangerang, Banten.
Dari penggeledahan di rumah tersangka, polisi memperoleh dua jenis bahan kimia lain, yakni fosfor merah dan kafein 14 kilogram. Barang ini reagan atau campuran pembuatan sabu-sabu. Namun zat kimia jenis ini memang mudah didapat di pasar bebas. ”Yang menjadi pertanyaan, kenapa barang-barang ini ada di rumah,” kata Krisno masygul.
Hasil interogasi terhadap tersangka diketahui barang dibeli dari seseorang bernama Dedy Hariansah. Polisi pun memburu Dedy, yang memiliki usaha di bidang kimia di Bogor. Di gudang milik Dedy ini polisi mengangkut kembali 6,5 kilogram efedrin, 4 drum MTC butanol, dan puluhan jeriken bahan kimia seperti gliserin dan rewopol.
Dari mulut Dedy terungkap bahwa barang-barang itu dibeli dari tangan pegawai Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang, berinisial MM. Dari hasil penelusuran lebih jauh, bahan kimia itu berasal dari barang bukti perkara pabrik narkoba milik Benny Sudrajat di Cikande, Tangerang, yang seharusnya dimusnahkan oleh Puspiptek. Penyerahan barang bukti pada 2007 itu jumlahnya mencapai 1,9 ton.
Dari dokumen yang ditemukan di pabrik Dedy, polisi meyakini sebagian besar bahan kimia itu telah dijualbelikan ke luar. ”Tak tertutup kemungkinan barang itu masuk ke pabrik-pabrik pembuatan sabu klandestin,” kata Krisno. Apalagi bahan baku ini sangat sulit didapat di pasar gelap.
Penjualan itu ternyata seizin pejabat yang ditugasi sebagai ketua tim pemusnahan barang bukti narkoba. Dari penelusuran Tempo, pejabat dimaksud adalah Silvester Tursiloadi, 50 tahun. Ia menjabat Kepala Divisi Pemrosesan dan Teknologi Katalisasi Pusat Penelitian Kimia. Polisi pun menggelandang doktor lulusan Universitas Keio, Jepang, ini ke Markas Polda Metro Jaya. Ia ditetapkan sebagai tersangka dan diancam dengan Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Kesehatan.
Setelah beberapa minggu ditahan, lelaki kelahiran Blitar ini mendapat penangguhan penahanan, dua pekan lalu. Penangguhan diberikan selain karena permohonan institusinya, juga karena proses pemeriksaan telah selesai. ”Tinggal menunggu pelimpahan perkara ke kejaksaan,” ujar Krisno
Penangguhan penahanan juga diberikan kepada Dedy Hariansah. Kamis pekan lalu, Tempo sempat memergoki Dedy beraktivitas di pabriknya. Namun ia mengelak ketika dimintai konfirmasi. Lelaki kelahiran Bengkulu itu mengaku proses verbal di kepolisian telah selesai dan tinggal menunggu pelimpahan. Dedy juga tengah berniat melego pabriknya seluas 1.250 meter seharga Rp 2,5 miliar. ”Sudah banyak yang datang, tapi belum ada yang beli,” ujar Edo, sepupu Dedy.
Menurut Krisno, dari penyelidikan, hanya dua orang Puspiptek yang terlibat penggelapan barang bukti, yakni Silvester dan seorang anak buahnya. Menurut pengakuan tersangka, uang Rp 250 juta hasil penjualan barang bukti digunakan untuk membiayai kegiatan pemusnahan barang bukti, misalnya dana bagi tenaga kebersihan.
Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lukman Hakim enggan mengakui anak buahnya menjual efedrin. Dimintai konfirmasi oleh Tempo pada Kamis pekan lalu, Lukman menyatakan pihaknya tidak menjual dua jenis zat kimia yang diributkan polisi itu. ”LIPI tidak pernah menerima bahan kimia (efedrin dan kafein) narkoba dari kejaksaan negeri,” kata Lukman.
Namun ia mengakui, Puspiptek selaku badan pengkaji bahan kimia yang ditunjuk kejaksaan terpaksa menjual sejumlah bahan kimia lainnya untuk membiayai proses pemusnahan barang bukti. "Karena kurang biaya,” katanya. Tapi, menurut Lukman, yang dijual bahan yang tidak berbahaya.
Pernyataan yang sama juga disampaikan peneliti utama instrumentasi pertahanan dan keamanan Sunartoto Gunandi. "Anak buah saya tidak pernah menerima bahan-bahan itu. Saya tidak tahu bahan itu dari mana," ujarnya. Menurut dia, dari hasil investigasi timnya, bahan yang dijual hanya soda abu, metilen klorida, butanol, dan asetol.
Keterangan Lukman dibantah Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang Chaerul Umar. Menurut dia, tiga jenis bahan kimia itu ada dalam daftar yang dikirim untuk dimusnahkan. Pihaknya berani bertaruh bahwa barang tersebut telah diterima LIPI. ”Gampang ngecek-nya, kita sama-sama punya salinan berita acara serah-terima,” katanya, Kamis pekan lalu.
Menurut Chaerul, penanganan barang bukti perkara kasus pabrik Cikande itu didasari putusan majelis hakim. Barang bukti dibagi dua, yang pertama dimusnahkan, yang lain diambil untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sesuai dengan permohonan LIPI. Untuk bagian yang disisihkan itu, LIPI yang ditunjuk mengelola dan bertanggung jawab.
Dari seluruh item barang bukti yang ada, baik dalam bentuk cairan maupun serbuk, kata Chaerul, sebagian diambil untuk bahan penelitian LIPI. Ia menduga barang yang digelapkan berasal dari barang bukti untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu. ”Saya sudah mengeceknya ke jaksa yang menangani," katanya.
Penyerahan barang bukti hasil pengungkapan pabrik narkoba Cikande pada 2005 kepada LIPI dilakukan pada 2007. Penyerahan dan pemusnahan itu, kata Chaerul, disaksikan Gubernur Banten, Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Polda Metro Jaya.
Menanggapi alasan kekurangan biaya pihak LIPI, Chaerul mengatakan pemusnahan barang bukti itu tanggung jawab kejaksaan, sehingga segala biaya yang timbul menjadi tanggungan kejaksaan negeri. ”Dari bahan bakar hingga tetek-bengek, kejaksaan yang menanggung,” katanya.
Terlepas dari saling sanggah itu, polisi, menurut Krisno, punya bukti. Lampiran berkas berita acara telah mencantumkan barang bukti apa yang dilimpahkan. Efedrin dan kafein ada di sana. Selain itu, menurut Krisno, polisi memegang bukti transaksi pembelian di antara mereka.
Ramidi, Aprianto Muktiadi, Joniansyah (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo