Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khailani, 49 tahun, termasuk orang tua yang uring-uringan tiap kali membicarakan pendidikan anaknya, yang duduk di sekolah berstandar internasional. ”Yang dijanjikan ketika mendaftar tidak sesuai dengan kenyataan. Saya dan orang tua murid lainnya kecewa,” katanya, Rabu pekan lalu.
Khailani memasukkan anaknya ke Sekolah Menengah Atas Negeri Unggulan M. Husni Thamrin, di Jakarta Timur, tahun ajaran lalu. Ini merupakan sekolah yang dibangun pemerintah DKI Jakarta. ”Katanya siswa bakal dicetak untuk siap mengikuti olimpiade, dengan predikat Cambridge,” ujarnya. Untuk mendukung target itu, sekolah menyediakan guru berkualitas, laboratorium, dan perpustakaan.
Nah, setahun berlalu, Khailani merasa janji-janji itu tak dipenuhi sekolah. Khailani mencontohkan janji pengurus sekolah tentang perpustakaan yang dikelola pustakawan bergelar sarjana. Tapi apa yang dialami anaknya? ”Buku saja tidak ada,” katanya.
Bagaimana dengan laboratorium? ”Saya tanyakan, katanya baru mau ditender pembangunannya,” kata Khailani. Soal pengajar juga meleset dari yang dibayangkannya. Menurut dia, para pengajar seharusnya bergelar strata tiga. Ternyata guru hanya didampingi pengajar Tim Olimpiade Fisika Indonesia yang dipimpin Johanes Surya. ”Jangan-jangan mahal bayar pendamping itu,” katanya.
Jelas, apa yang dirasakan Khailani tak sepadan dengan uang yang dikeluarkannya. Ketika mendaftar, ia harus membayar Rp 15 juta. Setiap bulan, dia masih harus mengeluarkan Rp 1 juta, belum termasuk biaya asrama. Sekolah itu memang menerapkan sistem asrama, dan siswa mendapat waktu pulang secara periodik. Tak mengherankan bila transparansi penggunaan dana dipertanyakan pihak orang tua.
Soal siswa di sekolah itu yang sudah terlihat berprestasi, Khailani menganggap wajar. ”Namanya juga barang bagus masuk, dididik minimal pasti jadi,” katanya. Masuk sekolah itu memang harus melalui saringan yang berat. Anaknya menyisihkan ratusan pendaftar. Di awal pendaftaran, ada 500 calon siswa. Setelah dilakukan tes administrasi, tinggal 300. Diperas lagi menjadi 72 orang, lalu hanya 62 siswa yang diterima.
Adapun rangkaian seleksi itu meliputi tes potensi akademik, yang diselenggarakan bekerja sama dengan Universitas Negeri Jakarta, dan psikotes yang ditangani Universitas Indonesia. ”Yang masuk benar-benar pilihan,” katanya. Inteligensi siswa yang dipersyaratkan minimal 120.
Sejauh ini Khailani dan segenap orang tua siswa yang kecewa sudah berkali-kali memprotes kondisi sekolah. Bahkan mereka mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, unjuk rasa, dan membentuk komite sekolah. Menurut Khailani, pengurus sekolah mengatakan belum bisa memenuhi janji-janji karena sekolah baru berumur satu tahun dan masih dalam proses penyempurnaan.
Di Bogor, ”demam” standar internasional membuat beberapa sekolah memasang label rintisan sekolah berstandar internasional. Tapi lemahnya sumber daya manusia dikeluhkan sejumlah orang tua. Di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4, misalnya, guru yang semestinya mengajar menggunakan bahasa Inggris harus dibantu oleh penerjemah. ”Cukup menghabiskan waktu, sehingga dari beberapa jam belajar, hanya sedikit yang diperoleh,” kata Indah, orang tua siswa.
Indah memasukkan anaknya ke sekolah itu setahun lalu. ”Biaya tidak jadi masalah karena tidak terlalu mahal,” katanya. Uang masuk Rp 2,5 juta dan iuran Rp 200 ribu per bulan. Tapi ia kerap terpingkal bila mendengar anaknya bercerita tentang guru yang mengajar. ”Apalagi sekarang sudah tidak pakai pendamping, jadi aneh mendengar guru senior berbahasa Inggris dengan logat bahasa lokal,” katanya.
Adek Media, Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo