Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUTUP tahun lalu, ”bendera putih” berkibar di Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur. Kepala Polda Jawa Timur, Inspektur Jenderal Herman Surjadi Sumawiredja, menyatakan ”menyerah” menangani perkara lumpur panas Sidoarjo yang diusut selama dua setengah tahun.
Keputusan polisi memarkir kasus yang, menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, merupakan pelanggaran hak asasi manusia itu diumumkan sendiri oleh Herman di depan wartawan. ”Saya melakukan diskresi,” katanya. ”Berdasarkan Undang-Undang Kepolisian, pejabat kepolisian memiliki wewenang mengambil kebijakan atas pertimbangan sendiri.”
Herman mengaku memilih diskresi dengan alasan kemanusiaan. Ini terkait dengan belum tuntasnya perkara ganti rugi antara para korban luberan lumpur panas di Desa Ronokenongo, Porong, Sidoarjo, dan PT Lapindo Brantas Incorporated, pelaku eksplorasi di lokasi itu. Dalam kondisi seperti itu, menurut Herman, penanganan kasus melalui pendekatan hukum pidana kurang relevan. ”Saya mencermati beberapa skenario yang akan dimainkan oleh Lapindo jika terus ngotot menyidik.”
Bisa jadi Lapindo defensif jika kasus itu dibawa ke meja hijau. Akibatnya, proses ganti rugi terhenti dan masyarakat dirugikan. Jika hakim menghukum Lapindo, perusahaan itu bisa lepas tangan. Tidak ada jaminan pemilik Lapindo tidak melarikan diri. Aset perusahaan itu tidak akan cukup untuk membayar ganti rugi kepada warga. Herman mengaku tak punya kesepakatan apa pun dengan Lapindo dalam penghentian perkara itu. ”Keputusan saya murni demi kepentingan masyarakat,” katanya.
Wajar juga jika alumnus Akabri Kepolisian 1975 ini ”gentar” akan nasib perkara yang ditanganinya. Pada 27 Desember lalu, dua pengadilan di Jakarta mementahkan gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Di Jakarta Pusat, setelah 10 bulan bersidang, majelis hakim menolak seluruh gugatan YLBHI atas pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya warga Porong oleh pemerintah pusat, Gubernur Jawa Timur, Bupati Sidoarjo, dan Lapindo.
”Pemerintah sudah melaksanakan upaya optimal,” kata hakim ketua Moefri. ”Bahkan Lapindo sudah mengeluarkan dana Rp 1,6 triliun sebagai bentuk tanggung jawab atas musibah lumpur.” Di Pengadilan Jakarta Selatan, majelis hakim menolak seluruh gugatan atas kerusakan lingkungan di Porong yang diajukan Walhi.
Lapindo dan lima perusahaan terkait serta pemerintah dinyatakan tidak melakukan pelanggaran hukum. ”Semburan lumpur adalah akibat dari fenomena alam dan bukan hasil perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat,” kata hakim ketua Wahjono ketika membacakan putusannya.
Sikap pengadilan ditambah kedodorannya polisi mengumpulkan bukti-bukti di lapangan itulah yang mendorong Herman ”tiarap”. Berbeda sekali dengan sikap awalnya ketika memulai pemeriksaan terhadap 13 tersangka pada Juni 2006. Ketika itu Herman yakin bisa menyeret Lapindo ke depan hukum. ”Bencana lumpur itu bukan fenomena alam ataupun force majeure,” katanya ketika itu, penuh percaya diri, ”tapi murni kelalaian penambangan.” Bahkan ia menambahkan, ”Kita punya saksi ahli.”
Ketika itu, polisi sukses menggaet pengakuan tiga teknisi PT Medisi Citra Nusa (MCN), kontraktor pengeboran. Mereka mengakui mengebor di kedalaman 3.580 kaki (sekitar 1.091 meter) tanpa selubung (casing). ”Ketiganya mengaku disuruh memasang casing pada saat pengeboran di titik ujung, yakni di kedalaman 8.750 kaki (2.667 meter),” ujar Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Anton Bachrul Alam, di awal penyidikan.
Keyakinan polisi rupanya dianggap mentah oleh jaksa. Tiga kali berkas perkara dikembalikan oleh Kejaksaan Jawa Timur karena dianggap belum lengkap. Bahkan jaksa dan polisi secara khusus membedah kasus itu bersama di Kejaksaan Agung, Maret tahun lalu. Intinya, Kejaksaan meminta polisi menyerahkan berkas asli, menyita kontrak kerja sama Lapindo dengan perusahaan rekanan pengeboran seperti PT Medici Citra Nusa, PT Tiga Musim Mas Jaya, dan PT Baker Atlas.
Tanpa disertai dokumen-dokumen tersebut, kasus itu akan lemah di pengadilan. ”Tapi, sampai saat ini penyidik kepolisian belum bisa melengkapinya sesuai dengan permintaan kami,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Purwosudiro, kepada Tempo pekan lalu.
Polisi lalu meminta masukan para saksi ahli yang meliputi pakar geologi, ahli pengeboran, pengamat hukum lingkungan, serta ahli minyak dan gas. Namun, pemeriksaan itu seperti macet di tengah jalan. Menurut satu sumber, sebagian keterangan saksi ahli itu malah tidak mendukung dalil kepolisian. ”Mereka mengatakan semburan lumpur terjadi karena pembentukan gunung lumpur,” kata seorang sumber di Polda Jawa Timur.
Jenderal Herman sendiri tak menampik pihaknya kekurangan bukti, terutama menyangkut pembuktian faktual di lapangan. ”Penyidik sudah pada tahap scientifical proving dari saksi ahli,” kata Herman. Menurut dia, semula dialah yang berharap bisa mendapat bukti kesalahan pemasangan selongsong sumur pengeboran hingga memicu semburan lumpur. Ternyata, tak gampang membuktikannya.
Pernah ada saran agar polisi membangun menara di dekat lokasi semburan. ”Sulit sekali. Lumpur sudah menenggelamkan tempat kejadian perkara,” kata Herman. ”Tapi, saya tetap yakin semburan itu karena kesalahan manusia.”
Meski menyetop sementara perkara Lapindo, polisi menyatakan tetap mengenakan status tersangka pada 13 pelaku dari empat perusahaan terkait. Mulai dari para petinggi seperti Imam P. Agustino (General Manager Lapindo Brantas), Nur Rahmat Sawolo (Wakil Presiden PT Energi Mega Persada), Yenny Nawawi (Direktur Utama Medici Citra Nusa), sampai para pelaksana macam Rahenold (pengawas pengeboran dari Medici Citra Nusa), Sardianto (mandor pengeboran), dan Marsudi (juru bor). ”Kami tidak menghentikan perkara, tapi menunda penyerahan berkas ke kejaksaan sampai ganti rugi selesai,” kata Herman.
Menurut Trimoelja D. Soerjadi, kuasa hukum Lapindo, polisi malah seharusnya menghentikan penuh perkara, sebab tak ada hubungan antara terjadinya semburan dan kesalahan pengeboran. ”Kalau kasus ini dibawa ke pengadilan, peluang bebasnya sangat besar,” katanya. ”Sebagian besar saksi ahli menyatakan semburan itu diakibatkan oleh mud volcano.”
Lagi pula, dugaan kesalahan pemasangan selubung pengeboran pun bisa dibantah dengan fakta lapangan. Para tersangka menyatakan, pemasangan selubung bisa tidak dilakukan dengan melihat struktur tanah. Hal itu sudah pernah dilakukan ketika mengebor pada kedalaman 6.000 meter di sumur Banjarpanji 1 di Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo.
”Di berkas klien saya, mereka menyatakan tindakannya itu dapat dipertanggungjawabkan,” kata Trimoelja. Adapun pengakuan General Manager Lapindo, Imam Pria Agustino, di depan polisi bahwa dia telah melakukan kealpaan sebagai atasan, juga bukan alasan untuk menimpakan kesalahan kepadanya. ”Kealpaan itu tidak bisa dipisahkan dengan terjadinya gempa di Yogyakarta, sehingga muncul rekahan setelah gempa,” ujar Trimoelja.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur, Ridho Saiful Ashadi, memprotes keputusan polisi. ”Proses ganti rugi yang belum selesai tidak bisa jadi alasan, karena proses pidana berada pada dimensi berbeda,” katanya. Ridho juga menyesalkan polisi terjebak pada pembuktian kesalahan pengeboran. ”Kalau pencarian bukti buntu, polisi seharusnya mencari celah lain,” katanya.
Pakar hukum dari Universitas Airlangga, Suparto Wijoyo, juga mengecam keputusan Kapolda Jawa Timur. ”Penundaan penyidikan Lapindo sama dengan mengamputasi dan menyabot proses hukum,” katanya. Menurut Suparto, aneh kalau orang ingin tahu status hukum Lapindo tapi tidak ada penetapan hukum. ”Kejahatan lingkungan yang dilakukan Lapindo sudah jelas,” kata Suparto yang juga pernah diperiksa penyidik sebagai saksi ahli.
Padahal, dengan melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 14/2007, yang mengatur pengendalian lumpur Sidoarjo, sama artinya Lapindo telah mengakui kesalahannya. ”Jika mereka merasa tidak bersalah, perpres tersebut akan digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara,” kata Suparto. Karena itu, menurut spesialis hukum lingkungan ini, penanganan kasus ini seharusnya makin mudah. ”Itu akan meringankan hukuman, tapi tidak menghapus kesalahan,” katanya.
Ahli geologi dari Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya, Amien Widodo, juga mengakui ada dua pendapat berbeda di kalangan geolog mengenai penyebab luapan, yaitu efek gempa dan faktor manusia. Ia sendiri berkeyakinan bencana tersebut karena faktor kesalahan manusia. ”Kalau mau fair, harus dibuktikan,” katanya.
Arif A. Kuswardono, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo