Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=2>Kasus Vincent</font><br />Memutus Kilat Sang Pelapor

Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dianggap terlalu cepat memutus Vincentius Amin Sutanto. Sang pelapor tetap dihukum 11 tahun penjara.

7 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETRUS Balapattyona, kuasa hukum mantan pengendali keuangan PT Asian Agri Oil and Fats Ltd., Vincentius Amin Sutanto, berang. Ia tak terima atas putusan kilat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap kliennya, Rabu dua pekan lalu.

Petrus menuding majelis hakim tidak sungguh-sungguh bekerja, sehingga menampakkan kejanggalan dalam putusan banding itu. ”Mereka mengabaikan bukti-bukti hukum yang kami ajukan,” ujar Petrus kepada Tempo.

Dalam sidang itu, majelis hakim yang dipimpin Nafisah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 2 November 2007. Pengadilan tinggi tetap menghukum Vincent 11 tahun penjara dan denda Rp 150 juta. Vincent didakwa melakukan pencucian uang dan pemalsuan surat-surat setelah membobol uang perusahaan pada 13 November 2006.

Putusan itulah yang ditolak Petrus. Ia langsung mengajukan kasasi. ”Ada bukti baru bahwa Vincent adalah whistle blower,” katanya. Hakim, menurut Petrus, telah mengingkari adanya orang yang membongkar kasus dugaan penggelapan pajak oleh Asian Agri Group. ”Sang pembongkar kasus itu, ya, Vincent.”

Kejanggalan lainnya, kata Petrus, perkara Vincent diputus dalam tempo superkilat, hanya empat hari kerja. ”Sidangnya penuh misteri. Hakim tidak pernah menanyakan asal-usul uang yang dibobol Vincent. Ini aneh,” kata Petrus.

Padahal pengusutan asal-usul uang yang dicuri Vincent sangat penting. Sebab, menurut Petrus, duit itu adalah hasil kejahatan penggelapan pajak, yang tentunya bisa menyeret Asia Agri Group, perusahaan milik Sukanto Tanoto. ”Kami sudah mencantumkannya dalam memori banding, termasuk status Vincent sebagai whistle blower,” ujar Petrus.

Ia menganggap tuduhan praktek pencucian uang tak berdasar. Uang yang dibobol Vincent hanya ditransfer sekali dari Bank Fortis di Singapura ke Bank Panin di Jakarta. ”Disebut pencucian uang jika ditransfer beberapa kali ke beberapa rekening,” kata Petrus.

Yang membuat Petrus makin geram dan jengkel, pernyataan hakim bahwa mereka telah mempelajari keterangan ahli. Petrus yakin, selama sidang tidak ada keterangan seorang ahli pun. ”Siapa ahlinya dan apa keterangannya? Enggak ada,” ujarnya.

Dikatakan juga oleh Petrus bahwa hakim telah membuat keputusan aneh bin ajaib. Mereka tak memperhatikan kejanggalan dari saksi Grup Raja Garuda Mas, induk perusahaan Asian Agri. Keterangan yang diberikan, Grup Raja Garuda Mas tak memiliki hubungan dengan Asian Agri Oil and Fats. ”Padahal pengacara Raja Garuda Mas dan Asian Agri orangnya sama,” tuturnya.

Dalam penelusuran Tempo, penunjukan majelis hakim berlangsung pada 25 Oktober 2007. Sehari berikutnya, tiga orang hakim yang ditunjuk, yaitu Nafisah sebagai ketua, Sri Handojo dan Untung Harjadi sebagai anggota, menerima berkas perkara Vincent. Empat hari kemudian perkara diputus.

Juru bicara Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Madya Suhardja, mengatakan bahwa putusan kilat itu tidak salah. Menurut Madya, perkara itu segera diputus karena memang menjadi prioritas. Masa penahanan Vincent, katanya, akan berakhir pada 10 November. ”Jika tidak cepat diputus, Vincent akan bebas dan bisa melarikan diri,” ujar Madya.

Kekhawatiran itu, katanya, semata-mata agar hakim tak bisa disalahkan jika benar terdakwa kabur. Ia menegaskan, keputusan cepat kasus Vincent bukan satu-satunya. Dalam perkara terorisme dengan terdakwa M. Nuh alias Cholid, berkasnya diterima pada 5 Oktober lalu dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Empat hari kemudian hakim memutuskan menolak. Nuh adalah pelaku percobaan bom bunuh diri di Restoran A&W Plasa Kramat Jati Indah, Jakarta Timur, 11 November 2006. Warga Jalan Polonia, Jatinegara, Jakarta Timur itu divonis 10 tahun penjara.

Menyangkut status Vincent sebagai whistle blower, Madya menandaskan bahwa hakim tidak mengetahuinya. Status itu tidak tercantum dalam berkas perkara yang diterima dari pengadilan negeri. ”Kalau ada, pasti dipertimbangkan,” katanya. Jika betul sudah dicantumkan dalam memori banding, kata Madya, hakim akan menguji dulu kebenarannya. ”Hasilnya sangat bergantung pada penilaian hakim.”

Kepolisian terang-terangan tak menganggap Vincent seorang pelapor dalam kasus Asian Agri. Menurut Kepala Satuan Fiskal, Moneter, dan Devisa Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Aris Munandar, penyidik tidak melihat Vincent merupakan whistle blower. Karena itu, kata Aris, konsentrasi polisi lebih pada tindak pidana pencucian uang Vincent.

Apalagi, menurut Aris, kasus pidana Vincent berbeda dengan dugaan penggelapan pajak Asian Agri. ”Yang dilakukan Asian Agri bukan pidana umum, melainkan pidana khusus yang ditangani Direktorat Jenderal Pajak,” ujar Aris.

Aris menambahkan, Vincentius Amin Sutanto akan menghadapi tuntutan perkara baru. Pada Senin pekan lalu, ia kembali diperiksa penyidik Polda Metro Jaya terkait dengan dugaan pemalsuan paspor. Pria asal Singkawang, Kalimantan Barat, itu dituduh membuat paspor palsu untuk kabur ke Singapura pada November 2006.

Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak, Muhammad Tjiptardjo, mengatakan masih membutuhkan Vincent untuk mengorek dugaan penggelapan pajak senilai Rp 1,3 triliun oleh Asian Agri. ”Dia itu saksi mahkota kami. Petunjuk semua ada di dia,” katanya. Dalam kasus ini, ia telah menetapkan delapan petinggi Asian Agri jadi tersangka.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indrianto Senoadji, mengatakan bahwa masa penahanan tidak bisa dijadikan alasan untuk segera memutus sebuah perkara. ”Kecuali karena kebutuhan kepastian hukum yang mendesak atau karena substansi perkara,” ujar Indrianto.

Hakim pengadilan tinggi wajib meneliti secara seksama sebelum memutus perkara, termasuk juga perkara yang berkaitan dengan memori banding yang diajukan terdakwa. ”Sehingga keputusannya tidak sembarangan,” kata Indrianto. ”Hakim harus mempertimbangkan Vincent sebagai whistle blower.”

Sunariah, Ig. Widi Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus