Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yunus Husein
SEJARAH perlindungan saksi di Indonesia tidaklah semenarik di Amerika Serikat. Karena itu perlindungan saksi belum secara drastis mengubah pandangan bangsa ini tentang pemaknaan eksistensinya. Dalam beberapa kasus, perspektif masyarakat, termasuk penegak hukum, tentang saksi bahkan masih keliru.
Sejumlah kasus sempat menyeruak menyangkut keberadaan saksi di Indonesia. Di antaranya kasus Khairiansyah Salman, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang membongkar kasus suap dan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ada juga kasus Endin Wahyudin, yang melaporkan dugaan tindak pidana oleh beberapa orang hakim.
Kasus terbaru yang mendapat sorotan adalah kasus Vincentius Amin Sutanto, mantan Group Financial Controller Asian Agri, yang melaporkan dugaan manipulasi pajak di tempat kerjanya.
Beberapa kasus ini memiliki satu kesamaan: berbuah ”serangan balik” dari pihak yang dilaporkan. Dalam kasus Endin, misalnya, serangan balik datang dari hakim yang mengadukannya. Ia dituding telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Sang hakim kemudian bebas dari hukuman, sementara sang pelapor dihukum oleh pengadilan.
Kasus Vincent merupakan kasus paling menarik, karena melibatkan orang dalam dari pihak yang diduga melakukan suatu kejahatan. Berbeda dengan kasus lain, Vincent terlebih dahulu dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus pembobolan uang Rp 28 miliar milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd. di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri Group.
Pada saat menjadi tersangka dan buron itulah Vincent kabur ke Singapura. Ia sempat berencana bunuh diri dan menyerahkan diri ke polisi di sana karena merasa keselamatannya terancam di Indonesia. Namun, berkat bantuan wartawan Tempo, Vincent kemudian dihubungkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hanya KPK yang waktu itu dipercayai Vincent untuk menerima laporannya. Selanjutnya, Vincent menyerahkan diri dan melaporkan dugaan pengemplangan pajak Asian Agri yang diduga merugikan negara sedikitnya Rp 1,3 triliun.
Penghukuman terhadap Vincent atas kasus pembobolan uang perusahaannya berlangsung begitu lancar. Ia dijerat dengan dakwaan kumulatif tindak pidana pencucian uang dan pemalsuan surat. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memvonis Vincent bersalah dan dihukum 11 tahun penjara diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
Serangan terhadap Vincent tak hanya dalam satu kasus. Aparat penyidik Polda Metro Jaya sempat akan menjerat Vincent dengan perkara tindak pidana pemalsuan paspor yang dilakukannya sekitar Oktober 2006 di Singkawang, Kalimantan Barat. Perkaranya kini sudah dilimpahkan ke Kepolisian Resor Singkawang.
Kasus Vincent menjadi menarik karena berkaitan dengan masalah perlindungan saksi. Ia telah memberikan informasi atas satu kejahatan yang sangat besar pada saat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah diberlakukan. Di Indonesia juga telah berlaku UU Nomor 15 Tahun 2002—sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003—tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan peraturan pelaksanaannya.
Aturan Perlindungan Saksi
Selain diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006, peraturan tentang perlindungan saksi, pelapor, dan korban tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Di bidang tindak pidana korupsi, perlindungan terhadap saksi dan pelapor diatur pula dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kita juga memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Pencucian Uang. Peraturan ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2005, yang berlaku sejak 30 Desember 2005.
Berdasarkan peraturan-peraturan itu, perlindungan yang diberikan kebanyakan sebatas perlindungan terhadap ancaman fisik atau psikis. Baru dalam UU Pencucian Uang dan UU 13/2006 diatur perlindungan terhadap ancaman yuridis, seperti ancaman gugatan perdata dan pidana terhadap saksi atau pelapor, yang dibuat sebagai ”serangan balik” dari terlapor, seperti yang dialami Endin.
Perlu ditegaskan kembali bahwa perlindungan terhadap saksi harus diberikan atas dua hal: perlindungan hukum dan perlindungan khusus terhadap ancaman.
Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pelapor dan saksi agar tidak dapat digugat atau dituntut secara perdata. Tentu dengan catatan, sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian atau laporan dengan itikad baik atau yang bersangkutan bukan pelaku tindak pidana itu sendiri. Perlindungan hukum lain berupa larangan bagi siapa pun untuk membocorkan nama pelapor atau kewajiban merahasiakan nama pelapor disertai dengan ancaman pidana terhadap pelanggarannya.
Semua saksi, pelapor, dan korban memerlukan perlindungan hukum ini. Perlindungan khusus kepada saksi, pelapor, dan korban diberikan oleh negara untuk mengatasi kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan harta bendanya, termasuk keluarganya.
Karena itu, perlindungannya pun harus meliputi perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik, mental, dan harta benda. Perlindungan semacam ini harus dilakukan terhadap seluruh saksi atau pelapor, termasuk Vincentius Amin Sutanto, sebagai saksi dan pelapor dugaan tindak pidana Asian Agri—meski dia terlibat tindak pidana tersendiri.
Belajar dari Amerika
Kasus Vincent merupakan satu momentum baru dalam sejarah perlindungan saksi di Indonesia. Ia harus mendapat perlindungan khusus, seperti kasus Endin yang telah direfleksikan dengan adanya ketentuan perlindungan yuridis bahwa saksi dan pelapor tidak dapat digugat, baik secara perdata maupun pidana.
Perlindungan khusus terhadap Vincent menyangkut perlindungan yuridis untuk memberikan keringanan hukuman pidana yang dijatuhkan atas perbuatannya. Hal ini perlu diberikan atas dasar keberaniannya dalam memberikan kesaksian dan membongkar dugaan kejahatan besar.
Pemberian keringanan ini sebenarnya telah diatur dalam Pasal 10 ayat 2 UU Nomor 13 Tahun 2006. Namun, dalam kenyataannya, penegak hukum justru memberikan dakwaan kumulatif menyangkut tindak pidana pencucian uang dan pemalsuan surat kepada Vincent.
Sangat jarang dalam satu kasus aparat penegak hukum secara kompak melakukan dakwaan kumulatif. Lagi pula terasa ganjil melihat kasus Vincent diperkarakan di pengadilan dalam waktu yang relatif cepat dengan hukuman yang berat. Bahkan vonis dijatuhkan tanpa menunggu atau menghubungkan dengan kesaksiannya dalam kasus yang melibatkan korporasi.
Informasi Vincent tentang dugaan manipulasi pajak Asian Agri sangat penting bagi terbongkarnya kejahatan yang terorganisasi dan besar. Di Amerika, kerja sama penegak hukum dan saksi yang merupakan ”orang dalam” dari satu organisasi kejahatan besar telah dilakukan sejak 1950-an.
Mereka memberikan penghargaan tinggi kepada anggota kelompok mafia yang mau bersaksi membongkar kejahatan organisasinya. Bentuk penghargaan yang diberikan termasuk kompensasi hukuman pidana yang dijatuhkan kepada saksi, yang juga terlibat kasus kejahatan tersebut.
Salah satunya adalah kasus Joe Valachi, yang membongkar kejahatan Omerta pada 1962. Jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut hukuman mati atas pembunuhan yang dilakukan oleh Valachi. Namun, karena ia bersaksi atas satu kejahatan yang lebih besar, tuntutan hukumannya menjadi penjara seumur hidup.
Adanya informasi dari para saksi atau pelapor, yang juga merupakan pihak dari satu organisasi yang melakukan kejahatan, merupakan terobosan besar untuk membantu mengungkap berbagai kejahatan terorganisasi. Saya yakin, masih banyak kejahatan terorganisasi lainnya yang sangat sulit diungkap penegak hukum tanpa ada orang dalam yang mau bersaksi.
Penghargaan terhadap saksi harus diberikan, termasuk memberikan perlindungan khusus dari sanksi. Saksi perlu dihargai mengingat keberaniannya dan konsekuensi yang dihadapinya—berupa teror fisik, harta benda, pekerjaan, mental, dan jiwa. Dan Vincent layak mendapat perlindungan khusus itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo