Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIDUP Irawady Joenoes berubah 180 derajat. Waktunya kini lebih banyak dihabiskan membaca lembaran-lembaran buku sufi La Tahzan (”Jangan Bersedih”) karangan Dr Aidh al-Qarni. ”Saya sempat stres dan sedih. Tapi saya lawan kesedihan dengan membaca buku ini,” katanya kepada wartawan Tempo, Elik Susanto, yang mengunjunginya di tahanan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, Kamis pekan lalu.
Sejak Rabu dua pekan lalu, Irawady, Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Komisi Yudisial, memang menjadi penghuni tahanan Badan Reserse Kriminal Polri. Statusnya sebagai anggota Komisi Yudisial, untuk sementara, dicabut. Bekas jaksa ini terserimpet kasus pembelian tanah seluas 5.720 meter persegi di Jalan Kramat Raya 57, Jakarta Pusat. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap basah lulusan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, itu saat dia menerima segepok duit ”terima kasih” dari Direktur PT Persada Sembada Freddy Santoso, pemilik tanah. Berikut ini wawancara Tempo dengan pria kelahiran Tebing Tinggi, Sumatera Utara, 29 Mei 1940, itu.
Sebagai penjaga martabat keluhuran hakim, Anda justru ditangkap karena menerima suap. Bagaimana ini?
Jangan keliru, saya ini dijebak oleh kelompok di sekretariat jenderal. Mereka adalah orang-orang yang menjadi panitia pengadaan tanah untuk kantor Komisi Yudisial. Ingat, saya bukan bagian dari panitia pengadaan. Saya anggota Komisi Yudisial yang ditugasi mengawasi kerja mereka. Saya mendapat perintah resmi dari Pak Ketua (Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas). Misi ini bersifat rahasia dan tertutup.
Apa tugas pokok misi itu?
Tugas saya mensupervisi Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial yang dipimpin Muzayyin Mahbub. Pengawasan itu meliputi tertib administrasi, anggaran, perkantoran, disiplin kerja, dan kepegawaian. Ini tugas berat yang diputuskan rapat pleno 31 Juli 2007. Ada dugaan penyimpangan dalam sistem kerja sekretariat jenderal. Secara khusus saya diminta mengklarifikasi terkait dengan proses pengadaan barang serta sewa gedung kantor, termasuk pembelian tanah untuk kantor Komisi seharga Rp 46 miliar.
Misi tersebut Anda manfaatkan untuk meminta uang hasil penjualan tanah?
Saya tak minta uang. Dia (Freddy Santoso) yang menghubungi saya dan memaksa betul bertemu dengan saya. Anak dan istri saya ditelepon, dirayu, agar membujuk saya. Sebelum bertemu dengan Freddy, saya berusaha berkoordinasi dengan Pak Hendarman (Jaksa Agung Hendarman Supandji), tapi tak berhasil. Saya juga menghubungi Pak Ketua untuk memberitahukan apa yang sedang saya kerjakan. Tapi, belum tersambung, orang KPK keburu datang.
Kenapa Anda tetap menerima uang pemberian Freddy?
Peristiwa di Jalan Panglima Polim (tempat Irawady menerima uang Rp 600 juta dan US$ 30 ribu dari Freddy Santoso) bagian dari misi saya untuk membuktikan kebenaran sinyalemen rapat pleno bahwa dalam pengadaan tanah ada permainan uang. Saya harus menerima uang itu untuk bukti ada permainan uang. Rencana selanjutnya, setelah uang ada di tangan, segera saya bawa ke Pak Ketua. Di sinilah peran saya sebagai agen provokator untuk menjebak orang, tapi malah dijebak.
Di Komisi Yudisial memang ada agen provokator?
Itu istilah saya dalam menjalankan fungsi pengawasan. Saya bertindak seolah-olah melawan hukum untuk menindak pelanggar aturan. Peran ini sering dipakai para penyidik kepolisian atau kejaksaan. Dalam praktek intelijen atau misi rahasia, fungsi agen provokator diperbolehkan.
Kenapa Anda malah dipersalahkan?
Saya di Komisi Yudisial terkenal vokal. Banyak yang mendukung saya, tapi tak sedikit yang membenci. Dalam rapat pleno, saya mempersoalkan 24 masalah krusial di Komisi Yudisial. Saya meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan melakukan audit internal terhadap kinerja sekretariat jenderal.
Permintaan saya dipenuhi dan hasilnya ditemukan 18 macam penyimpangan. Di antaranya kasus sewa mobil dinas yang akal-akalan, ketidakjelasan uang belanja kantor Rp 60 miliar, kasus uang Rp 50 juta milik Pak Ketua yang hilang di dalam laci, serta dugaan markup pengadaan barang dan sewa kantor di Jalan Abdul Muis senilai Rp 3,7 miliar tanpa tender.
Apa hubungan temuan itu dengan kasus Anda?
Sikap saya barangkali yang membuat sebagian orang di sekretariat jenderal ingin menyingkirkan saya. Jika saya tidak lagi menjadi anggota, kedok mereka akan aman. Mereka tak mau karut-marut Komisi Yudisial terkuak.
Kenapa Anda mencoba menyembunyikan uang pemberian Freddy di kamar mandi?
Itu reaksi spontan saya ketika tiba-tiba tim Komisi Pemberantasan Korupsi datang. Saya benar-benar kaget. Firasat saya, ini jebakan. Uang Rp 600 juta belum sempat saya hitung, langsung saya lempar ke kamar mandi. Letak kamar mandi dan tempat saya duduk tak begitu jauh. Tinggal uang dolar yang saya pegang.
Bagaimana bisa dipercaya uang tersebut akan Anda serahkan ke Ketua Komisi Yudisial?
Tanya ke sopir saya. Waktu itu, sebelum KPK datang, saya minta sopir bersiap meninggalkan rumah di Jalan Panglima Polim dan membawa uang pemberian Freddy, sebagai barang bukti melapor ke Ketua Komisi Yudisial.
Anda dikabarkan meminta fee Rp 7 miliar dari Freddy Santoso?
Saya tak kenal Freddy. Tak ada hubungan apa-apa, termasuk bisnis. Freddy yang menelepon lebih dulu, bukan saya. Dia juga mengejar-ngejar sekretaris saya (Bratanata) agar saya mau menerimanya. Jangan dibolak-balik.
(Sewaktu Tempo meminta konfirmasi, Bratanata membenarkan pernah diminta Freddy Santoso untuk mempertemukannya dengan Irawady. Freddy, katanya, menjanjikan memberi uang Rp 7-8 miliar jika Irawady mencabut penolakannya atas transaksi jual-beli tanah di Jalan Kramat. ”Dari mana Freddy tahu kalau Pak Irawady satu-satunya anggota Komisi yang tak setuju pembelian tanah di Jalan Kramat?” kata Bratanata.
Ia mengaku menolak mempertemukan Freddy dengan Irawady. Tapi Bratanata tetap menceritakan rencana Freddy memberi uang kepada Irawady. ”Setelah itu, muncul ide Pak Irawady mau menjebak, siapa di balik Freddy. Keterangan ini, kata Bratanata, sudah ia jelaskan kepada KPK.
Adapun Muzayyin Mahbub kepada KPK mengaku, dalam berbagai kesempatan, Irawady menanyakan komisi dari pembelian tanah untuk kantor Komisi Yudisial. Pada 25 Agustus, katanya, ia diperintah Irawady memanggil Freddy. (Tapi permintaan itu dia tolak.))
Anda yang minta harga tanah dinaikkan dari nilai jual?
Memang saya menulis di atas nota berkop Komisi Yudisial ke sekretariat jenderal. Itu terjadi pada 28 Agustus 2007. Nota itu saya tulis tangan, semacam memo, yang isinya saya setuju, bukan minta. Harga tanah dinaikkan sedikit dari nilai jual obyek pajak.
Bukannya Freddy kongkalikong dengan Anda soal tanah di Jalan Kramat?
Ini tuduhan aneh. Saya tidak tahu tanah di Jalan Kramat harganya berapa, siapa yang memilih. Saya kaget tiba-tiba diputuskan membeli lahan di Jalan Kramat yang menurut saya sangat nggak cocok. Saya menolak karena di kawasan itu banyak preman dan komplotan kapak merah sering beraksi.
Yang aneh lagi, tanah di Jalan Kramat tidak masuk daftar lokasi yang dibahas dalam rapat pleno. Ada 13 lokasi yang ditawarkan masyarakat, tak tercantum tanah di Jalan Kramat. Dari 13 lokasi, hanya tiga lokasi yang menjadi alternatif pilihan, yaitu tanah di Jalan H.R. Rasuna Said Kaveling 12-14, Kuningan, bekas Hotel Sabang, Jakarta Pusat, dan tanah di Jalan Prapatan 20-22, Jakarta Pusat.
Bukankah nota Anda ke sekretariat jenderal menyangkut tanah di Jalan Kramat?
Memang, tapi tanah tersebut tidak diputuskan dalam rapat pleno pada 8 Mei 2007. Tawaran tanah di Jalan Kramat muncul belakangan dan tiba-tiba. Saya tidak dilibatkan dalam pembayaran yang berlangsung Juli lalu.
Anda yakin tidak melakukan korupsi?
Demi Allah, saya tak macam-macam. Ini bulan puasa. Dua anak saya sudah hidup mandiri. Mereka bisa membeli rumah dan mobil sendiri. Ada yang diatasnamakan saya. Alasan mereka, nama bapaknya keren, Irawady Joenoes, seorang jaksa. Istri saya punya usaha katering dan butik. Saya sendiri ada tambahan hasil dari bengkel kapal kecil-kecilan di Palembang.
Kenapa Anda tidak melaporkan daftar kekayaan Anda ke KPK?
Bukan tidak mau melaporkan. Daftar itu masih dalam proses. Data sudah terkumpul dan sedang direkap sekretaris saya di kantor. Dalam waktu dekat akan saya laporkan, termasuk isi rekening saya di Bank Mandiri.
Kapan Anda dijenguk sesama anggota Komisi Yudisial?
Dua hari setelah saya ditahan. Termasuk yang datang Pak Ketua. Saya sebenarnya tidak mau menemui mereka. Tapi istri dan anak-anak meminta saya tak dendam. Ketika saya muncul, langsung saya tunjuk bagian kepala Sekjen (Muzayyin Mahbub). ”Saya selalu ingat muka lu.” Sekjen menangis dan memeluk saya, minta maaf. Saya bilang, ini jebakan. Seharusnya institusi bertindak cepat.
Bagaimana respons Ketua Komisi Yudisial ketika Anda marah?
Dia bersumpah tidak menjebak.
Anda merasa ditinggalkan pemimpin Komisi Yudisial?
Pak Busyro tahu masalah ini. Posisi dia memang sulit. Sebab, di tubuh Komisi, banyak masalah serta banyak kepentingan dan kelompok.
Penegakan hukum kini tercoreng gara-gara kasus Anda?
Sebelum saya, sudah coreng-moreng. Dua menteri yang mengerti masalah hukum belum lama dicopot. Apa itu nggak mencoreng muka Presiden? Sudahlah, tak usah ribut dan munafik. Kondisi sekarang memang makin tak baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo