Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JEMBATAN penyeberangan di kawasan Jalan Sudirman di jantung Kota Jakarta itu jelas bukan siratalmustaqim, titian suci yang diyakini umat Islam sebagai lorong menuju surga. Tapi iklan sebuah bank syariah yang terbentang di sana bisa mengganggu pikiran khalayak. ”Keluarlah dari Jalur Riba, Hijrahlah ke Jalur Halal”.
Pesan iklan mencolok mata itu mudah ditangkap. Demi kebahagiaan akhirat kelak, orang—pasti maksudnya yang muslimin dan muslimat—diajak menghindari jasa perbankan konvensional yang digolongkan menerapkan sistem ”ribawi”. Target ”mengganggu” pikiran orang dengan iklan itu tercapai—seperti juga iklan-iklan kreatif Sampoerna. Tapi kesan memberikan cap haram pada yang bukan syariah tak terhindarkan, dan inilah yang perlu dikritik. Padahal, walau mayoritas ulama sepakat mengharamkan riba, mereka tak sepakat menggolongkan bunga bank konvensional sebagai riba.
Soalnya bukan riba atau bunga. Di negeri Pancasila ini seharusnya warga tak bisa dipaksa memakai sistem perbankan yang dianggap Islami. Biarlah konsumen—muslim atau nonmuslim—bebas memilih bank konvensional, syariah, atau apa saja. Semua sistem perbankan mempunyai hak hidup di negeri ini, asalkan menjalankan bisnis menurut aturan pemerintah.
Maka, sistem perbankan berbasis syariah mesti dilihat sebagai satu peluang menangkap pasar saja, bukan sebagai bagian dari ”gerilya diam-diam” menuju penerapan syariah Islam. Itu sebabnya sistem bagi hasil syariah diatur dengan undang-undang perbankan yang sama dengan perbankan konvensional.
Pada mulanya, pendirian bank syariah di negeri ini memang sulit dilepaskan dari urusan politik. Pemerintah Soeharto ketika itu berusaha mengambil hati umat Islam. Tapi masa penuh trik politik itu sudah berlalu, dan syukur alhamdulillah bank syariah berkembang baik. Ketika Undang-Undang Nomor 10/1998 diberlakukan, baru ada satu Bank Muamalat dan 70 bank perkreditan rakyat syariah, tapi kini jumlahnya berlipat-lipat. Bahkan Bank Indonesia telah menerbitkan beleid tentang layanan syariah pada gerai bank umum sejak tahun lalu.
Ringkasnya, semua perangkat hukum sudah mendukung, tinggallah sekarang kreativitas dan ketangguhan berbisnis. Tantangan pertama adalah membesarkan volume usaha yang sekarang masih 1,7 persen dari total aset perbankan nasional. Kalau cetak biru bank sentral terbukti, pangsa pasar syariah tahun depan menembus angka 5 persen. Artinya, tahun depan, periuk bisnis yang direbut sudah sekitar Rp 56 triliun. Perkembangan pesat inilah yang mengundang lahirnya begitu banyak bank syariah. Bank-bank besar ikut latah membuka unit syariah.
Selama banyak muslim yang menghindari transaksi dengan perbankan konvensional dengan alasan takut riba, selama itu juga bank syariah berkembang. Namun pada masa mendatang, di luar konsumen yang hijrah karena sentimen agama itu, bank syariah perlu mengembangkan tawaran imbalan bisnis menggiurkan. Produk-produk syariah yang menguntungkan harus dirancang dan dipasarkan untuk memikat konsumen. Secara bisnis, sistem syariah ini harus lebih menguntungan ketimbang sistem yang lain. Itulah kunci menggiring umat Islam yang jumlahnya besar ke counter bank syariah.
Ternyata, sangat disayangkan, justru pengembangan bisnis inilah hambatan utama bank syariah. Banyak bank syariah sengaja mengerem menerima nasabah kakap yang menyimpan dana dalam jumlah besar. Soalnya, ini juga perlu segera dibereskan, sejumlah bank syariah tak punya banyak tenaga profesional untuk memutar dana besar ke sektor industri raksasa seperti pertambangan dan pembangkit listrik. Paling banter bank syariah berkutat di sektor jasa, perdagangan, restoran, dan hotel. Itulah sebabnya tahun-tahun belakangan laju pendirian bank syariah merosot dari 60 persen menjadi 40 persen.
Yang terungkap di balik dapur bank syariah juga mencemaskan. Dalam praktek, bank syariah masih bersandar—sedikitnya susah untuk lepas—pada sistem konvensional. Ini bukan monopoli Indonesia. Bank syariah di mana pun masih merujuk pasar uang internasional. Bahkan Islamic Development Bank, misalnya, menggunakan London Inter-Bank Offered Rate (LIBOR) sebagai rujukan cost of fund dari dana yang diberikan kepada nasabah. Padahal rujukan ini tentulah didapat dari tingkat bunga, turunan dari sistem konvensional yang dianggap ”ribawi”. Konon, bank-bank syariah tengah menanti rujukan baru, sebagai pengganti pasar uang antarbank yang menetapkan bunga.
Asumsi penting yang perlu ditanamkan di benak pengelola bisnis syariah, faktor kunci sukses bersaing bukan menggarap sisi keyakinan umat, melainkan bersaing sehat meraih pasar yang masih sangat luas. Tak usahlah menggerus-gerus sentimen keimanan, ideologi, dan emosi umat—dengan iklan yang mencolok dibentangkan, contohnya. Itu buang waktu dan, maaf saja, tidak profesional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo