Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANYA sehari setelah putusan kasasi dibacakan, E.C.W Neloe dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Jumat malam pekan lalu, ia digiring sejumlah aparat Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menuju sel khusus para koruptor.
Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Neloe. Ia hanya menggelengkan kepala menyilangkan telunjuk di bibirnya yang terkatup rapat ketika sejumlah wartawan mencoba mencegatnya. Farida Sulistyani, pengacara Neloe, juga membisu.
Sehari sebelumnya, majelis hakim kasasi yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dan empat hakim agung, Iskandar Kamil, Joko Sarwoko, Harifin A Tumpa, dan Rehngena Purba, memvonis dia 10 tahun penjara karena terbukti korupsi.
Neloe sempat bebas selama 17 bulan setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dia tak terbukti melakukan korupsi. Saat itu Neloe menghadapi dakwaan berat. Ia didakwa meloloskan kredit PT Cipta Graha Nusantara senilai US$ 18,5 juta (sekitar Rp 160 miliar) pada 23 Oktober 2003. Menurut jaksa, hanya dalam tempo sehari Neloe menyetujui pemberian fasilitas pinjaman perusahaan tersebut. Belakangan, kredit itu ternyata macet.
Menurut jaksa penuntut umum Baringin Sianturi, proses pemberian kredit tidak mengedepankan prinsip kehati-hatian. Mestinya, kata Baringin, dalam pembuatan nota analisis terhadap pengajuan kredit, bank membutuhkan waktu seminggu hingga sebulan.
Fakta itu dimentahkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Gatot Suhartono. Majelis beralasan Neloe tidak terbukti korupsi. Kebijakannya memberi kredit senilai Rp 160 miliar, menurut sang hakim, tidak melanggar Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Putusan bebas tersebut berimbas pada mantan Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri, I Wayan Pugeg, dan Direktur Corporate Banking, M. Sholeh Tasripan. Mereka semua juga bebas. Begitu pula Komisaris Utama PT Cipta Graha Nusantara, Saiful Anwar, Direktur Utama Edyson, serta Direktur Keuangan Diman Ponijan.
Baringin lalu mengajukan kasasi. ”Perbuatan Neloe telah memperkaya orang lain dan melawan hukum,” ujarnya. Dasar hukum yang dipakai hakim memang tak sejalan dengan jaksa. Hakim melihat kasus Neloe ini dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, bukan UU Antikorupsi.
Inilah yang membuat Baringin geleng-geleng kepala. Menurut dia, kasus Neloe terjadi pada 2002, sementara UU yang dipakai hakim keluar 2004. ”Tak ada undang-undang berlaku surut,” kata Baringin. Majelis hakim kasasi rupanya sependapat dengan Baringin. Joko Sarwoko, misalnya, menyatakan, ketiga terpidana jelas terbukti memperkaya orang lain, korporasi, dan melawan hukum. ”Perkara ini bukan lingkup perdata, tapi pidana korupsi,” ujarnya kepada Tempo.
Hanya, dalam putusan kasasi majelis hakim tidak mewajibkan Neloe, Pugeg, dan Tasripan membayar uang pengganti. Masing-masing ”hanya” dihukum membayar uang denda Rp 500 juta. Jika tak sanggup membayar, mereka akan mendapat tambahan ”bonus” penjara enam bulan.
Putusan Mahkamah Agung tampaknya bakal merembet ke masalah lain. ”Peluang untuk mengembalikan aset-asetnya di luar negeri semakin terbuka,” kata Direktur Perjanjian Politik dan Keamanan Wilayah Internasional Departemen Luar Negeri itu, Arief Havas Oegreseno.
Pemerintah Indonesia telah meminta pemerintah Swiss membekukan aset Neloe di negeri yang diduga hasil korupsi. Menurut Arief, pemerintah Swiss berjanji membantu Indonesia untuk mengembalikan aset tersebut, asal proses legislasi kasus Neloe kelar.
Di luar itu, sang bankir terlibat kasus lain, yakni pengambilalihan aset PT Kiani Kertas oleh Bank Mandiri. Kejaksaan menilai ada unsur pelanggaran hukum yang melibatkan Neloe di balik akuisisi. Menurut Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin, pihaknya kini masih terus melakukan penyidikan atas kasus tersebut. Jaksa, ujar Arifin, menemukan bukti awal bahwa Neloe melanggar prinsip kehati-hatian bank yang membuat negara rugi Rp 1, 8 triliun lantaran ”kasus Kiani”.
Drama Neloe di meja hijau tampaknya belum berakhir.
Maria Hasugian, Sandy Indra P., Muhammad Nur R., Titis Setianingtyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo