Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=verdana size=1><B>Kasus Jaksa Papua</B></font><br />Masuk Kotak karena Chinta

Tujuh jaksa di Papua dicopot karena menuntut ringan dua terdakwa kasus pencurian ikan. Ada dugaan mereka disuap.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI sudah gelap ketika kapal motor Chinta 12 bergerak dari Pelabuhan Porasko, Jayapura, Rabu dua pekan lalu. Awalnya kapal berlayar ke arah perairan Papua Nugini. Namun, belum sampai di kawasan negara tetangga itu, kapal patroli Tanjung Youtefa-301 milik Kepolisian Daerah Papua keburu menyergap.

Anggota satuan Direktorat Polisi Air memeriksa isi kapal. Dugaan polisi tak meleset, kapal Chinta melanggar aturan. ”Mereka tidak punya surat izin berlayar dan sertifikat kapal,” ujar komandan kapal patroli, Ajun Komisaris A.R. Sirwutubun. Tak bisa ditawar, setelah 5 mil berlayar, kapal dipaksa putar arah dan digiring balik ke Jayapura. Kapal Chinta akhirnya berlabuh di dermaga Kepolisian Air Polda Papua.

Ini penangkapan kedua kalinya. Pada 22 Februari lalu, kapal asal Filipina yang punya nama lain Buene Suerete Jemenes itu pernah dicokok ketika membawa 1 ton ikan cakalang. Saat itu kapal Chinta 12 membawa kapal kecil, Chinta 22. Kapal ini ditangkap 100 mil dari Jayapura atau 340 derajat dari Tanjung Kayu Batu, masuk zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Kepala Seksi Pengendalian Operasional Direktorat Polisi Air Polda Papua, Ajun Komisaris Yudi Herwanto, mengatakan bahwa saat itu kapal Chinta 12 yang dinakhodai Sumintro Mendome dan mualim Jojit Mandela menerobos batas wilayah. Bendera negara asal mereka juga tidak dikibarkan. ”Ini melanggar Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang pelayaran,” kata Yudi.

Dokumen kapal yang memiliki panjang 24,71 meter serta lebar 5,62 meter itu juga palsu. Nomor mesin disebut S-4229 dan kapal terbuat dari kayu. Nyatanya, nomor mesin berbeda. Bahan pembuat juga bukan kayu, melainkan besi. ”Ditangkapnya kapal ini atas laporan masyarakat, karena mereka sering mencuri ikan di perairan Jayapura,” ujar Yudi lagi.

Dalam pemeriksaan polisi, nakhoda dan mualim terbukti bersalah. Kasus pun bergulir di Pengadilan Negeri Klas I A Jayapura. Setelah dua bulan bersidang, pada 27 Agustus lalu, majelis hakim pimpinan Lodewyk Tiwery mengetukkan palu. Kedua terdakwa, Mendome dan Mandela, ”hanya” dihukum denda masing-masing Rp 500 juta subsider enam bulan penjara.

Menurut Lodewyk yang juga ketua pengadilan negeri itu, putusan sudah maksimal. Malah seharusnya kedua terdakwa didenda Rp 500 juta saja. ”Tapi kami denda masing-masing Rp 500 juta, jadi Rp 1 miliar,” katanya.

Putusan ini persis dengan tuntutan jaksa. Kedua terdakwa pun memilih bayar denda. Alhasil, setelah setor Rp 1 miliar, keduanya bebas.

Kasus selesai? Tidak. Tuntutan jaksa untuk dua terdakwa rupanya berbuntut masalah. Pengunjung sidang pada saat itu tak puas karena tuntutan dianggap terlalu ringan. Bahkan ada dugaan jaksa telah disuap terdakwa. Masalah ini diadukan ke Jaksa Agung Hendarman Supandji. Hendarman tanggap. Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, M.S. Rahardjo, diperintah mengirim tim ke Papua.

Di Papua, tim menemukan penyimpangan: sejumlah jaksa mbalelo dari rencana tuntutan yang diarahkan sebelumnya oleh Kejaksaan Agung dalam kasus pencurian ikan itu. Buntutnya, tujuh pejabat di lingkungan Kejaksaan Tinggi Papua dan Kejaksaan Negeri Jayapura dicopot dari jabatannya, akhir bulan lalu.

Selain Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Lorens Serworwora dan wakilnya, Domu P. Sihite, empat pejabat di lingkungan kejaksaan tinggi juga dicopot. Mereka mantan pelaksana tugas asisten pidana khusus Jefry Angker; kepala seksi penyidikan pidana khusus Putu Suarjana; kepala seksi sosial politik pada asisten intelijen I Nyoman Sumartawan; dan kepala seksi tata usaha negara Mananda J. Manulang. Selain mereka, Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura Poltak Radjagukguk juga dilengserkan.

Kepada Tempo di kantornya, Rabu pekan lalu, M.S. Rahardjo mengatakan bahwa para jaksa itu telah melakukan perbuatan tercela dalam penanganan kasus. Di persidangan, jaksa penuntut bukannya membacakan tuntutan yang diarahkan Kejaksaan Agung, malah tuntutan yang disarankan kejaksaan tinggi. ”Instruksi Kejaksaan Agung diabaikan,” ujarnya.

Menurut instruksi pusat itu, kedua terdakwa harus dijerat pasal 93 ayat 2 junto pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, junto pasal 55 ayat 1 KUHP. Hukumannya, penjara empat tahun dan perintah kedua terdakwa ditahan. Keduanya juga didenda masing-masing Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Pasal ”sesuai perintah” Kejaksaan Agung ini bahkan menyebut ancaman penjara maksimal 6 tahun dan denda Rp 20 miliar.

Namun, jangankan dipenjara. Selama proses sidang, kedua terdakwa tidak ditahan. Ini karena tim jaksa menjerat dengan pasal berbeda, pasal 97 Undang-Undang Perikanan, yang hanya mengenakan denda masing-masing Rp 500 juta, subsider enam bulan kurungan. ”Tuntutan jaksa di Papua ini jauh lebih rendah,” kata Rahardjo. Tujuh jaksa ini dinilai melanggar disiplin tingkat berat. Sesuai dengan pasal 6 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri, ”Mereka dicopot dari jabatannya.”

Apakah dugaan suap yang diterima jaksa itu bisa dibuktikan? Ini yang repot. Hendarman mengatakan, ketujuh jaksa itu memang menyimpang dari instruksi pada saat menuntut. ”Tapi apakah hal itu dilatarbelakangi adanya tindak pidana, ini yang masih belum diketahui,” kata dia ketika dihubungi Tempo pekan lalu.

Menurut Hendarman, dirinya telah melayangkan disposisi ke Jaksa Agung Muda Pengawasan M.S. Rahardjo untuk menindaklanjuti dugaan suap ini. ”Sejauh ini sudah ditindaklanjuti,” katanya. Namun, untuk membuktikan adanya suap, minimal harus ada bukti pengakuan dari pihak penyogok. ”Sekarang yang menyuap mau mengaku tidak? Kalau sudah dihukum ringan, bagaimana mau mengaku?” ujarnya.

Rahardjo sendiri mengatakan belum mendapat bukti adanya suap yang mewarnai sidang kasus pencurian ikan itu. Sejauh ini pihaknya baru memberikan sanksi hukuman disiplin. Untuk itu, tidak perlu menunggu bukti mereka menerima suap atau tidak. ”Karena, kalau menunggu, dirasa tidak responsif dan tidak cepat,” katanya.

Para jaksa yang melanggar disiplin tingkat berat ini akan sulit diberi tugas penanganan perkara lagi. Itu tergantung atasannya. Biasanya, mereka yang sudah kena sanksi ini tidak lagi diberi tugas strategis. ”Bagaimana mungkin atasan bisa percaya, manakala dia sudah cacat,” ujar Rahardjo.

Dari segi administratif, para jaksa ini masih mungkin mendapat jabatan, meskipun sulit. Untuk promosi jabatan, pasti ada kandidat lebih baik. Artinya, apakah para jaksa ini masuk kotak? ”Boleh dibilang begitu,” kata Rahardjo.

Pencopotan jabatan itu dirasa belum cukup. Koordinator Bidang Pemantauan Peradilan Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, mengatakan bahwa seharusnya ada proses pengusutan tindak pidana untuk membuktikan ada-tidaknya dugaan suap. ”Bagaimana mungkin ada dugaan suap, lalu hanya dikenai sanksi administratif?” katanya.

Menurut Emerson, sanksi itu tidak menyelesaikan masalah. Pandangan masyarakat terhadap kejaksaan juga jadi buruk karena terkesan institusi ini menutupi kasus yang melibatkan anggotanya. Ia berharap kasus ini bisa terungkap tuntas. Jika Kejaksaan Agung tak bisa menuntaskannya, kasus ini bisa diambil alih Komisi Pemberantasan Korupsi. ”KPK berwenang mengusut kasus yang melibatkan aparat penegak hukum,” kata Emerson.

Sejak dicopot, para jaksa itu sulit ditemui. Lorens Serworwora, misalnya, menolak ketika Tempo hendak menemuinya di kantor yang akan ditinggalkan itu. Jabatan Lorens akan diisi Machfud Manan, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, yang dilantik pekan ini. Domu Sihite juga tidak berada di tempat. Adapun Poltak Radjagukguk menolak ditemui. ”Beliau tak bisa diganggu,” ujar Samuel Berhitu, ajudannya.

Selain menghadapi dugaan suap, bekas pejabat Kejaksaan Tinggi Papua itu juga menghadapi masalah lain: dugaan pemerasan terhadap terdakwa kasus pengadaan alat evaporasi Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura. Pieter Ell, pengacara terdakwa Muhamad Irwan dan Rudolf Reyaan dalam kasus ini, ”bernyanyi” bahwa oknum pejabat jaksa di sana telah memeras kliennya. ”Jumlahnya sampai ratusan juta rupiah,” kata Pieter. Nah.

Dimas Adityo, Sandy Indra Pratama, dan Cunding Levi (Jayapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus