Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Haruskah Jaksa, Haruskah Polisi

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUDUL diskusinya bisa membuat alis panitia seleksi pimpinan KPK berkerenyit: "Haruskah Jaksa dan Polisi Menjadi Bagian Tak Terpisahkan dari Unsur Pimpinan KPK?"

Digagas Koalisi Pemantau Peradilan, diskusi yang digelar di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu, memang menyoroti masuknya jaksa dan polisi dalam jajaran anggota KPK. Dari 10 nama yang dikirim Panitia Seleksi ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat pekan lalu, tiga di antaranya muncul dari unsur yang digugat dalam diskusi tersebut, yakni Marwan Effendy (Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung), Antasari Azhar (Direktur Penuntutan Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung), dan Inspektur Jenderal (Purn.) Bibit Samad Rianto (bekas Kepala Polisi Daerah Kalimantan Timur dan Koordinator Staf Ahli Kapolri).

Pakar hukum pidana yang juga bekas Ketua Panitia Seleksi Anggota KPK, Romli Atmasasmita, menyatakan Pasal 29 Undang-Undang KPK, UU Nomor 30/2002, sama sekali tidak menyebutkan keharusan representasi anggota KPK dari kepolisian dan kejaksaan.

Berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, kata Romli, masuknya polisi dan jaksa sebagai pimpinan KPK justru membuat lembaga ini letoi memainkan perannya sebagai supervisi atas kasus-kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan seperti yang diperintahkan Undang-Undang KPK. Bahkan terasa kesan KPK tidak berani mengambil kasus-kasus yang ditangani dua instansi itu. "Ada hambatan psikologis di situ," kata Romli.

Dari lima pimpinan KPK periode sekarang, dua di antaranya memang berasal dari kalangan polisi dan jaksa, yakni Inspektur Jenderal (Purn.) Taufiequrachman Ruki (bekas Kepala Kepolisian Wilayah Malang yang kini Ketua KPK) dan Tumpak Hatorangan Panggabean (mantan Kepala Subdirektorat Pengamanan Ideologi dan Politik Kejaksaan Agung). Menurut Romli, jaksa dan polisi "cukup" menempati posisi di bawah pimpinan KPK, misalnya menjadi deputi penuntutan dan penyidikan.

Anggota Komisi Hukum DPR Benny K. Harman juga tak setuju ada jaksa atau polisi di jajaran pimpinan KPK. Menurut Benny, keberadaan mereka berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan loyalitas terhadap lembaga lama. "Mereka bisa jadi akan lebih loyal kepada birokrat. Padahal, pada level itulah yang paling banyak melakukan korupsi," ujar Benny. "Harusnya panitia mengeliminasi orang-orang seperti itu."

Sumber Tempo di Panitia Seleksi membantah jika tidak ada "hitam di atas putih" yang menyebut unsur kejaksaan dan polisi wajib menjadi pimpinan KPK. Sumber itu menunjuk penjelasan Undang-Undang KPK. "Di sana disebutkan pimpinan berasal dari unsur penyidik dan penuntut," ujarnya. Dan itu artinya, menurut sumber Tempo, ya, jaksa atau polisi.

LRB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus