Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menimbang Sandiwara Para Kadi

Komisi Yudisial menganggap majelis hakim perkara Adelin Lis di Medan terlalu pasif. Tim penguji berangkat lagi ke Medan.

3 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU per satu anggota Komisi Yudisial keluar dari ruang rapat, Kamis pekan lalu. Tak ada ucapan terlontar dari mulut mereka. Selama dua hari, komisi ini menggelar rapat pleno membahas putusan hakim Pengadilan Negeri Medan dalam perkara Adelin Lis, terdakwa pembalak hutan yang divonis bebas pada 5 November lalu.

Rapat belum menghasilkan keputusan penting kecuali mengirim kembali tim penguji ke Medan, Sumatera Utara. ”Kami sudah selesai mengkaji, namun masih ada data yang kurang,” kata Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas. Tim eksaminasi itu terdiri atas Zainal Arifin dan Soekotjo Soeparto. Keduanya bertugas mempertajam temuan sementara Komisi.

Mereka tak ingin pengalaman buruk kasus tanah Meruya Selatan, Agustus lalu, terulang. Saat itu, sempat terjadi ”pertengkaran” antara Komisi dan Mahkamah Agung menyangkut gugatan PT Porta Nigra versus warga. Perkara itu dinyatakan melanggar Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 dan obyek perkaranya tidak jelas.

”Porta Nigra bukan pemilik tanah karena bukan subyek hukum,” kata komisioner Zainal Arifin, ketua tim kasus Meruya. Dengan demikian, perjanjian jual-beli antara warga dan Porta Nigra batal demi hukum. Komisi menyerukan badan-badan peradilan tak ngotot melaksanakan vonis Mahkamah Agung. ”Putusan itu tidak bisa dieksekusi,” ujar Zainal.

Kesimpulan ini membuat Mahkamah Agung marah. ”Komisi Yudisial merusak sistem hukum,” ujar Hakim Agung Djoko Sarwoko, juru bicara Mahkamah Agung. Djoko menilai sikap Komisi Yudisial merupakan intervensi terhadap dunia peradilan.

”Pendapat Komisi dijadikan bukti hukum oleh warga untuk PK (peninjauan kembali). Ini berbahaya sekali,” kata Djoko. Seharusnya Komisi cuma mengawasi etika dan perilaku hakim. ”Komisi jangan mengulangi lagi kesalahannya,” Djoko memberi peringatan.

Itu pelajaran dari Meruya. Kini, dalam kasus Adelin, Komisi bukan tak menemukan kelemahan dalam putusan hakim. Kerusakan hutan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, serta kerugian negara Rp 119 miliar dan US$ 2,9 juta, misalnya, tak menjadi pertimbangan hakim sebagai sebuah malapetaka. Hakim menyatakan kesalahan Adelin Lis tak terbukti.

Kerugian fantastis Rp 202 triliun pernah diungkap Markas Besar Kepolisian RI sewaktu menyelidiki kegiatan usaha Adelin Lis. Angka tersebut berasal dari taksiran kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup, yang meliputi rusaknya ekosistem hutan dan ongkos untuk memulihkan kembali habitat hutan.

Tim eksaminasi Pengadilan Tinggi Sumatera Utara menyimpulkan para kadi yang terdiri atas Jarasmen Purba, Dolman Sinaga, Ahmad Syema, Arwan Byrin, dan Robinson Tarigan tidak bersalah. Kesimpulan tim yang dipimpin hakim Elsa Mutiara Napitupulu itu dikuatkan pernyataan Mahkamah Agung bahwa lima hakim tersebut tak melanggar prosedur.

”Hasil pemeriksaan aspek nonteknis atau prosedur sebelum vonis dibacakan sudah tepat,” ujar hakim tinggi Aspar Siagian, anggota tim eksaminasi. Ia mencontohkan, mereka sudah cermat dan membaca berulang-ulang dakwaan dan tuntutan jaksa. Keputusan bebas Adelin Lis diambil secara bulat oleh kelima hakim. ”Pemeriksaan saksi juga dilakukan sesuai prosedur,” kata Aspar.

Para hakim memberikan pengakuan serupa kepada tim eksaminasi Komisi Yudisial yang datang ke Medan pascaputusan Adelin. Tim ini dipimpin Koordinator Bidang Pelayanan Masyarakat Komisi Yudisial Zainal Arifin. Ia mewawancarai dua dari lima anggota majelis hakim, yakni Dolman Sinaga dan Robinson Tarigan, yang juga Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan. Tak ada sandiwara politis ataupun sogokan uang. ”Putusan itu kesepakatan bersama sesuai fakta persidangan,” kata Zainal.

Kerja Komisi tak berhenti di sini. Mereka masih menelisik putusan hakim. Hasilnya akan digabungkan dengan pantauan sepanjang persidangan Adelin Lis. Komisi telah memantau proses sidang itu sebelum vonis Adelin dijatuhkan. Pengamatan terhenti lantaran salah satu anggota Komisi, Irawady Joenoes, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap pembelian tanah Rp 900 juta, September lalu.

Rupanya, kesimpulan Komisi bertentangan dengan kesimpulan tim eksaminasi bentukan Mahkamah Agung. Komisi menemukan sejumlah kesalahan dalam putusan Adelin. Misalnya, dalam naskah putusan, hakim keliru menyebut status Adelin, yang dikatakan pernah dibantarkan. ”Alasannya sih salah ketik. Mereka menyalin naskah putusan orang lain,” kata seorang sumber di Komisi Yudisial.

Sejumlah prosedur acara persidangan juga ditabrak. Zainal menyatakan hakim keliru tidak melakukan sidang lapangan. ”Seharusnya mereka turun ke lapangan untuk memeriksa kerusakan hutan. Jangan percaya saksi begitu saja,” kata Zainal. Menurut Zainal, kesalahan hakim pemeriksa Adelin Lis begitu mencolok. ”Pokoknya, ada ledakan nanti,” katanya menyebut temuan timnya.

Sumber lain di Komisi mengatakan kesalahan lain para hakim adalah tidak memeriksa penyidik (verbalisan) terkait dengan pencabutan kesaksian dari 20 orang saksi, yang sebagian besar dari Dinas Kehutanan Sumatera Utara dan karyawan perusahaan Adelin. Mantan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara Budi Ismoyo, misalnya, mengaku mengalami stres sehingga terpaksa meneken berkas pemeriksaan polisi.

Agustinus Sihombing, salah satu karyawan PT Keang Nam Development Indonesia, perusahaan Adelin Lis, juga mencabut kesaksiannya. Alasannya, ia tak paham masalah penebangan kayu (timber cruising) tapi terpaksa mengaku karena selama sembilan hari tidak diizinkan pulang oleh polisi. Padahal status Agustinus ketika itu tidak ditahan. ”Seharusnya majelis memanggil penyidiknya. Apalagi banyak saksi yang juga mencabut keterangannya di berkas,” ujar sumber Tempo pekan lalu.

Selama persidangan, majelis pemeriksa Adelin juga dianggap pasif. Mereka tidak berusaha mencari tahu untuk menemukan kebenaran. Ada lagi yang tak lazim dalam komposisi majelis hakim. Arwan Byrin, Ketua Pengadilan Negeri Medan, duduk dalam satu majelis dengan wakilnya, Robinson Tarigan,

Hakim juga dinilai tak membaca mata rantai saksi yang hilang, seperti saksi ahli dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup, yang memberikan dasar perhitungan kerugian akibat ulah Adelin Lis. Dakwaan pelanggaran Undang-Undang Lingkungan Hidup ini hilang dalam berkas jaksa. ”Jika hakim punya inisiatif, mestinya bisa menanyakan kepada jaksa,” kata sumber tersebut.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup sendiri mengaku tidak diberi tahu soal perubahan dakwaan atas diri Adelin. ”Kami tidak tahu alasannya. Seharusnya ditanyakan ke penyidiknya,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar kepada Tempo.

Jaksa memilih mengajukan saksi lain dalam persidangan, yang kini diajukan kembali dalam permohonan kasasinya. Alasannya, majelis hakim tidak lengkap dalam menilai keterangan para saksi. ”Hakim hanya menerapkan hukum pada tataran formal,” ujar jaksa Harli Siregar pekan lalu. Ia menambahkan, selain rekonstruksi lapangan ditolak, ada saksi yang tidak dipertimbangkan.

Saksi ahli itu Darmawi Bulkis, dari lembaga penilaian independen PT Focus Consulting Group. Permintaan jaksa agar majelis hakim melakukan rekonstruksi perambahan hutan dan kerusakan lingkungan hidup di area hak pengusahaan hutan PT Keang Nam, menurut Harli, juga tidak ditanggapi hakim. ”Penyidik merekonstruksi kerusakan hutan, masak hakim tidak mau turun ke lapangan,” kata Harli.

Ihwal PT Focus, Harli memastikan lembaga ini lembaga resmi yang diminta Departemen Kehutanan. Focus melaporkan bahwa kinerja PT Keang Nam Development buruk dari aspek produksi hingga ekologis. Anehnya, hakim malah mencomot keterangan saksi ahli Basuki Wasis dari Institut Pertanian Bogor, yang bukan penilai resmi Departemen Kehutanan.

Ketua Pengadilan Negeri Medan Arwan Byrin menolak menanggapi penilaian miring ini. ”Perkaranya masuk kasasi. Saya tidak berkomentar,” katanya pendek. Adapun soal masuknya Robinson Tarigan—yang kini ditunjuk sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur—dalam satu majelis dengan dirinya, ”Itu boleh. Enggak apa-apa,” ujar Arwan.

Menurut Jarasmen Purba, anggota majelis hakim, masuknya ketua dan wakil ketua dalam satu majelis diperlukan dalam kasus sepenting Adelin Lis. ”Ini bukan perkara sembarangan. Sudah selayaknya ketua dan wakil ketua pengadilan duduk bersama memecahkan persoalan,” ujar Jarasmen, yang merangkap sebagai juru bicara Pengadilan Negeri Medan.

ARK, Rini Kustiani, Sahat S. (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus