Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASASI itu akhirnya dilayangkan, menyusul keputusan hakim membebaskan Mayor Jenderal Purnawirawan Muchdi Purwoprandjono dari segala tuntutan. Bekas Deputi Penggalangan Badan Intelijen Negara itu pada 31 Desember lalu dinyatakan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tak terbukti sebagai penganjur pembunuhan Munir Said Thalib, 39 tahun, aktivis hak asasi manusia yang tewas diracun arsenik dalam perjalanan ke Belanda, 7 September 2004.
Senin pekan ini, lembaga penegak hukum itu mengajukan kasasi. ”Kami minta hakim Mahkamah Agung mengkaji apakah vonis bebas itu tepat,” kata Cirus Sinaga, ketua tim jaksa penuntut umum, kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Cirus sangat menyesalkan keputusan majelis hakim yang diketuai Suharto dan beranggotakan Achmad Yusak dan Haswandi itu. Ia menilai hakim melihat bukti secara sepotong-potong dan tidak aktif melakukan pembuktian. ”Hakim tidak boleh diam. Kalau tidak membuktikan, bagaimana bisa memutuskan?” ujar Cirus tegas.
Dalam persidangan perkara Muchdi yang berjalan sejak 21 Agustus 2008, memang terasa benar ”bukti yang sepotong-potong” itu. Ada dua saksi kunci yang menyatakan bahwa mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu punya koneksi khusus dengan Pollycarpus Budihari Priyanto. Mereka adalah Budi Santoso, bekas Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi, serta M. As’ad, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara. Pollycarpus sudah dinyatakan bersalah meracuni Munir dan divonis 20 tahun penjara melalui keputusan peninjauan kembali.
Simak saja berita acara pemeriksaan polisi yang dibacakan di persidangan. Di situ As’ad mengungkapkan bahwa konseptor surat untuk penempatan Pollycarpus sebagai aviation security adalah Deputi Penggalangan, yang saat itu dijabat Muchdi. Namun As’ad tak sekali pun muncul dalam persidangan meski, menurut Cirus, dia sudah dipanggil 12 kali lewat surat, baik ke alamat rumah maupun kantornya di Badan Intelijen Negara. Surat tersebut dibalas Kepala Badan Intelijen, Syamsir Siregar, yang menyatakan As’ad sedang bertugas. ”Ke mana dan apa tugasnya, tidak disebutkan,” kata Cirus.
Sedangkan Budi mengaku kerap menjadi penghubung Muchdi dengan Pollycarpus. Dia juga mengaku telah menyerahkan uang Rp 10 juta, Rp 3 juta, dan Rp 2 juta kepada Pollycarpus, mantan pilot Garuda Indonesia itu, atas perintah Muchdi. Budi juga menyatakan punya catatan pengeluaran keuangan tersebut dalam buku kas kuarto. Jaksa telah melayangkan surat panggilan 16 kali, antara lain ke rumah dinas di Kompleks Badan Intelijen Negara, Jakarta; rumah di Sleman, Yogyakarta; kantor Badan Intelijen dan Departemen Luar Negeri.
Namun semuanya nihil. Jawaban Syamsir atas surat panggilan untuk Budi sama dengan jawaban untuk surat As’ad, yakni Budi ”sedang bertugas”.
Surat panggilan kejaksaan juga dilayangkan ke Departemen Luar Negeri. Ini lantaran Budi resmi tercatat sebagai staf diplomat di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Islamabad, Pakistan. Dia bekerja di bawah fungsi politik—salah satu istilah struktural kedutaan. Menurut juru bicara Departemen Luar Negeri Tengku Faizasyah, dalam kedutaan di negara tertentu ada posisi diplomat seperti Budi. ”Untuk yang sifatnya intelijen memang ada kekhususan, yakni menginduk ke organisasi, Badan Intelijen Negara,” katanya.
Departemen Luar Negeri lalu meneruskan surat panggilan Budi ke Islamabad. Ini dilakukan dua kali, pada September dan Oktober 2008. Namun, ketika surat itu diterima, Budi sudah tidak ada lagi di Islamabad. Menurut Cirus, jawaban resminya ada di surat Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Imron Cotan, yang menyebut bahwa agen madya Badan Intelijen Negara itu sedang mendapat tugas ke Afganistan.
Menurut Faizasyah, Budi sendirilah yang menyerahkan surat tugas pindah ke Afganistan kepada kuasa usaha interim, Asep Ibnu Prispermana Wiradisastra. ”Karena waktu itu belum ada duta besar di Pakistan,” kata Faizasyah. Budi pun diberi ”surat jalan” kepindahan tugas dari Pakistan ke Afganistan, dua negara yang bertetangga. Dia meninggalkan Pakistan sejak September 2008.
Anehnya, Budi tidak pernah sekalipun muncul dan melapor di kantor kedutaan di Kabul sejak dia minta ”surat jalan” tersebut. Padahal penerbangan dari Islamabad ke Kabul hanya sekitar 40 menit. Duta besar di Afganistan, Erman Hidayat, mengakui pihaknya memang pernah mendapat pemberitahuan pemanggilan Budi oleh kejaksaan, melalui radiogram dari Kedutaan RI di Pakistan, pada Oktober 2008. ”Isinya menanyakan apakah Budi pernah datang ke Afganistan, lalu kami balas tidak pernah,” kata Erman, yang dihubungi melalui saluran telepon, Kamis pekan lalu.
Satu-satunya kemunculan Budi di Kabul yang diketahui Erman adalah pada Oktober 2006 untuk tugas dua atau tiga hari. Ini jauh sebelum Budi memberikan keterangan ke penyidik untuk kasus Munir, yaitu pada 3 Oktober 2007, 8 Oktober 2007, 27 Maret 2008, dan 7 Mei 2008. ”Hingga saat ini pun dia masih resmi warga Kedutaan Besar RI di Pakistan, bukan Afganistan,” ujar Erman.
Lalu di manakah Budi? Pihak Departemen Luar Negeri menyatakan tidak tahu. ”Keluarganya pun sudah tidak ada di Islamabad,” kata Faizasyah. Sedangkan surat panggilan ke alamat di Jakarta, menurut Cirus, hanya dibalas ketua RT setempat dengan keterangan bahwa Budi tak lagi tinggal di situ. ”Rumah yang di Yogyakarta pun cuma ditinggali pembantu,” ujarnya.
Tempo lalu mendatangi rumah Budi di Jalan Sidomulyo 20, Pojok Condongcatur, Yogyakarta. Rumah itu tampak sangat tidak terawat. Cat tembok pagar sudah banyak terkelupas. Pohon-pohon di halaman depan dibiarkan rimbun hingga menutupi teras rumah. Tak ada sedikit pun tanda-tanda rumah itu berpenghuni. ”Nggak ada orangnya,” ucap seorang pemuda yang tiba-tiba muncul di dekat rumah.
Sejak 14 tahun silam, rumah itu tercatat sebagai milik Budi. Tapi, menurut Heri Purwanto, lelaki yang tinggal di lingkungan itu, Budi tak pernah kelihatan, apalagi bergaul dengan tetangga. ”Kami cuma tahu, dia itu tentara,” ucap Heri. Sedangkan rumah dinas Budi di kompleks perumahan Badan Intelijen Negara, Jalan Seno II Nomor B 29, Pejaten Timur, Jakarta Selatan, sudah ditempati keluarga lain.
Budi masih meninggalkan misteri. Tidak hanya berkaitan dengan keberadaannya, tapi juga tentang surat pencabutan berita acara pemeriksaannya. Budi mengirimkan surat pencabutan di atas kertas dengan kop garuda berwarna emas dengan alamat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Pakistan tertanggal 13 September 2008. Surat yang mencabut semua keterangan Budi tersebut ditujukan kepada majelis hakim dan ditembuskan ke penasihat hukum Muchdi. Jaksa mengaku tidak tahu-menahu soal ini.
Tim jaksa sudah mempertanyakan keabsahan surat tersebut. Apalagi berdasar peraturan, pencabutan harus dilakukan dengan cara hadir di persidangan atau minimal dengan teleconference. Tindakan Budi itu juga harus sepengetahuan jaksa.
Pihak Departemen Luar Negeri memperkuat kejanggalan tersebut. Menurut Faizasyah, yang berhak menggunakan surat berkop garuda hanyalah pejabat setingkat menteri. Selain itu, surat-surat resmi hanya boleh menggunakan kop departemen.
Menurut Choirul Anam dari Tim Legal Komite Solidaritas untuk Munir, tata letak alamat, nomor surat, jenis kertas, dan bentuk tulisan yang digunakan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam peraturan tentang tata naskah dinas Departemen Luar Negeri dan Perwakilan RI. Nomor surat harus dicantumkan dalam buku induk kedutaan. ”Tapi surat Budi tidak tercantum dalam buku tersebut,” kata Faizasyah. ”Jadi, saya tak dapat merespons keabsahan surat itu.”
Harapan terkuaknya perkara pembunuhan terencana ini hanya bisa dilakukan dalam sidang kasasi. Di sana, para hakim agung punya hak menghidupkan kesaksian Budi, juga As’ad, bahkan memanggilnya ke sidang. Tentu saja agar diketahui, siapakah aktor penting di balik terbunuhnya Munir. Bukankah Pollycarpus dan bekas Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan—yang kini bebas setelah sempat dihukum setahun—tidak terbukti sebagai dalangnya?
Anne L. Handayani, Rini Kustiani, Cornila Desyana, M. Syaifullah (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo