Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BIBIT Samat Rianto mengaku terkaget-kaget mendengar vonis hakim yang berkaitan dengan skandal suap dana Bank Indonesia. Dua terdakwa perkara korupsi itu, Hamka Yandhu dan Antony Zeidra Abidin, masing-masing dihukum tiga tahun dan empat setengah tahun penjara. Hamka diganjar setahun lebih rendah dari tuntutan jaksa dan Antony dihukum satu setengah tahun lebih ringan. Keputusan ini diketuk majelis hakim tindak pidana korupsi di Jakarta, Rabu pekan lalu.
Bibit, Wakil Ketua Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi, tak menduga hakim menolak dakwaan primer dan subsider perkara yang melibatkan bekas anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat itu. Keduanya menjadi terdakwa kasus korupsi Rp 100 miliar dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia pada 2003. Sepertiga dana itu, atau Rp 31,5 miliar, telah digerujukkan Bank Indonesia kepada 52 anggota komisi yang terkenal basah itu.
Karena itulah pensiunan polisi ini langsung bertindak. Sore hari setelah putusan itu, masalah ini dia bahas bersama Direktur Penuntutan Feri Wibisono. Kesimpulannya: wajib banding. Langkah yang sama juga dilakukan tim jaksa penuntut.
Baik tim Bibit maupun jaksa menilai aneh jika hakim menolak dakwaan primer dan subsider, yaitu pasal 12 (a) dan pasal 5 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Isi pasal itu: menjerat orang yang menerima hadiah, dan dia melakukan (atau tidak melakukan) tindakan tertentu untuk memenuhi tujuan atau keinginan si pemberi hadiah. Dua pasal tersebut sangat menitikberatkan ihwal motif si penerima hadiah.
Namun hakim hanya menghukum keduanya berdasar dakwaan yang lebih subsider, yaitu pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Pasal itu bisa menjerat terdakwa hanya karena dia dianggap menerima hadiah yang terkait dengan kekuasaan atau kewenangan jabatannya. Apa yang dilakukan sebagai syarat di balik penerimaan uang—yakni motifnya—tidak dipersoalkan dalam pasal ini.
Padahal, bila dilihat dari urutan peristiwanya, jaksa menilai motif kedua terdakwa sudah jelas: membantu mengegolkan misi Bank Indonesia. Sejak 2000, bank sentral terlilit masalah besar, yaitu digelontorkannya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Rp 144,5 triliun. Selain itu, para petingginya berkepentingan agar amendemen Undang-Undang Bank Indonesia mampu menjamin fungsi pengawasan tetap bisa mereka lakukan.
Burhanuddin Abdullah, sebelum maju dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia, berjanji menyelesaikan dua masalah yang membuat neraca keuangan bank sentral selalu merah itu. Hanya sebulan setelah dilantik, awal Juli 2003, beban pembayaran Bantuan Likuiditas disetujui Dewan untuk dipindahkan ke Departemen Keuangan. Artinya, misi terlaksana.
Pada Desember tahun itu juga, amendemen yang diketuk Dewan tetap mengukuhkan Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas perbankan. Dalam pembahasan dua masalah tersebut, suara Dewan berpihak pada Bank Indonesia. ”Harusnya hakim mempertimbangkan ini,” kata Rudi Margono, salah satu tim jaksa. ”Dugaan korupsi miliaran rupiah, kok, hukumannya seperti maling pitik (ayam),” katanya.
Bibit menilai pertimbangan majelis ini berbeda dengan majelis dalam perkara yang berkaitan. Perkara yang dimaksud adalah Rusli Simanjuntak, mantan Kepala Biro Gubernur Bank Indonesia, dan Oey Hoey Tiong, bekas Deputi Direktur Direktorat Hukum Bank Indonesia. Mereka diadili karena berperan sebagai juru bayar suap kepada anggota Dewan. Padahal argumentasi yang digunakan jaksa sama saja. Tapi dalam putusan kali ini ditolak. ”Mungkin alasan jaksa harus lebih lugas,” katanya
Padahal perkara Hamka dan Antony bisa dijadikan amunisi bagi perkara lain yang kuat kaitannya dengan skandal ini. Penting diungkap bahwa sejumlah anggota Dewan telah menerima hadiah sebagai bayaran melakukan sesuatu seperti yang diharapkan si pemberi uang, yakni Bank Indonesia. ”Di sini memang ada kepentingan hukum yang harus diperjuangkan,” begitu alasan Bibit.
Ada lagi kepentingan lain. ”Targetnya adalah mencari siapa yang perannya lebih menonjol,” kata Bibit. Siapakah dia? Bibit enggan menyebut nama. ”Tunggu saja,” katanya diplomatis. Penyelidikan sedang berjalan. Dalam kasus ini, ada 52 orang yang disebut-sebut turut menikmati uang pembagian itu. Semuanya anggota Komisi IX—yang menangani bidang keuangan dan perbankan—periode 1999-2004.
Bak penyelidik dalam serial CSI—Crime Scene Investigation, Bibit lalu menjelaskan bahwa dalam kasus aliran dana ke Dewan ini, ada tiga golongan pelaku: sebagai idea maker, operator, dan penerima. ”Hamka dan Antony mungkin hanya operator. Lalu siapa di atasnya, itu yang sedang kita garap.”
Hamka sebenarnya sudah ”bernyanyi” lantang di persidangan dan dalam berita acara pemeriksaan. Dia menyebut Paskah Suzetta, kini Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, sebagai figur sentral dalam skandal ini. Dialah yang mengatur untuk fraksi mana saja duit dibagikan, dan berapa pula jumlahnya. Menurut Hamka, Paskah sebagai pimpinan Fraksi Golkar waktu itu mengantongi Rp 1 miliar. ”Saya sering melaporkan kegiatan kepada Paskah,” ujar Hamka dalam persidangan 28 Oktober 2008.
Tindakan Hamka menerima dana dari Bank Indonesia, melalui Rusli dan Asnar Ashari, juga atas seizin Paskah. Demikian juga perannya membagikan uang kepada 52 orang anggota Komisi IX. Namun, dalam kesaksiannya di persidangan, Paskah membantah keterkaitannya dengan aliran dana Bank Indonesia itu. ”Saya baru tahu ada aliran dana setelah diberi informasi oleh staf Bank Indonesia, Lucki Fathul dan Lukman Bunyamin,” ujar Paskah.
Adapun kesaksian lain yang meringankan Paskah datang dari mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aulia Pohan. Ketika diperiksa Komisi pada awal Februari 2008, Aulia pernah mengaku bahwa inisiatif pemberian uang berasal dari Paskah. Namun keterangan itu dia cabut ketika bersaksi di pengadilan, lima bulan berikutnya. Aulia adalah koordinator ”Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan”, yang bertugas membagikan uang ke anggota Dewan. Besan Presiden Yudhoyono ini menjadi tersangka pada akhir Oktober lalu, dan kini meringkuk di sel tahanan markas Brigade Mobil di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Tak mudah membongkar skandal aliran dana ini. Apalagi, menurut Hamka, semua transaksi anggota Komisi IX itu dilakukan tanpa tanda terima. Sebagian juga diberikan langsung oleh Hamka atau Antony. Karena itulah, upaya pembuktian ini menuntut kepandaian penyidik. ”Penyidik tidak bisa hanya mengandalkan pengakuan. Mereka harus mencari alat bukti lain dan saksi baru,” kata Bibit. Toh, dari 52 orang yang disebut-sebut Hamka ikut kecipratan, ada belasan yang diam-diam mengembalikan uang itu. Dari mereka inilah agaknya harapan itu masih tersisa.
Ramidi, Munawaroh, Famega
Beda Nasib, Beda Penanggungan
10 April 2008
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yandhu sebagai tersangka suap dana Bank Indonesia. Keduanya masing-masing pernah menempati pos Subkomisi Keuangan dan Subkomisi Perbankan pada Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (periode 1999-2004).
17 April 2008
Antony ditahan di Kepolisian Resor Jakarta Barat. Hamka ditahan di Kepolisian Resor Jakarta Timur.
28 April 2008
Hamka membeberkan peran Paskah Suzetta di depan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Paskah, saat itu menjabat Wakil Ketua Komisi IX DPR, dituduh menerima Rp 1 miliar. Hamka mengaku menyerahkan pula uang Rp 300 juta kepada perwakilan Fraksi Bulan Bintang—Malem Sambat Kaban.
9 Juni 2008
Komisi Pemberantasan Korupsi meminta M.S. Kaban, kini Menteri Kehutanan, memberikan keterangan sebagai saksi. ”Saya merasa tidak pernah menerima,” katanya. Dia mengatakan tidak pernah masuk tim pembahasan revisi undang-undang saat menjadi anggota Dewan.
10 Juni 2008
Paskah, kini Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, memberikan keterangan sebagai saksi aliran dana Bank Indonesia ke Dewan di depan Komisi.
28 Juli 2008
Dalam persidangan mantan Kepala Biro Gubernur Bank Indonesia Rusli Simanjuntak dan Direktur Hukum Bank Indonesia Oey Hoey Tiong, Hamka mengatakan ada 52 anggota Komisi Keuangan Dewan periode 1999-2004 yang kecipratan dana Bank Indonesia, termasuk Paskah dan M.S. Kaban.
6 Agustus 2008
Deputi Direktur Pengedaran Uang Bank Indonesia Luki Fatul Azis Hadibrata mengatakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bahwa Paskah hadir di Hotel Le Meridien bersama Hamka Yandhu pada Agustus 2005 untuk bertemu dengan Rusli Simanjuntak. Menurut dia, saat itu Paskah menyarankan dana Rp 31,5 miliar segera dikembalikan ke Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia sebelum Badan Pemeriksa Keuangan melaporkannya ke Komisi Antikorupsi.
7 Agustus 2008
Paskah diperiksa enam jam oleh Komisi. Dia membantah skenario menutup skandal jejak suap Bank Indonesia ke Dewan.
28 Oktober 2008
Paskah bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ia membantah menerima aliran dana Bank Indonesia. ”Saya tidak tahu-menahu mengenai adanya aliran dana dari BI ke DPR,” katanya.
28 November 2008
Komisi meminta keterangan Paskah tentang keterlibatannya dalam rapat anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia. ”Saya menjelaskan Undang-Undang BI pertama kali diusulkan pada tahun 2000,” katanya.
4 Desember 2008
Hamka Yandhu mengatakan di depan hakim, Paskah mengetahui adanya pemberian dana dari Bank Indonesia. Bahkan Paskah, menurut Hamka, menerima dana Rp 1 miliar dan memerintahkan Hamka menyerahkan Rp 500 juta kepada Chandra Wijaya, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
7 Januari 2009
Majelis hakim pengadilan korupsi memvonis 3 tahun bagi Hamka Yandhu dan 4 tahun 6 bulan bagi Antony. Mereka diwajibkan membayar uang pengganti masing-masing Rp 300 juta. Dan diperintahkan untuk tetap ditahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo